Sabtu, 12 Januari 2013

Lubang Racun di PP Tembakau


Lubang Racun di PP Tembakau
Abdul Rohim Tualeka ; Dosen Toksikologi Industri Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Unair, Penulis Disertasi Doktor tentang Batas Aman Toksin di Lingkungan Kerja 
JAWA POS, 12 Januari 2013



 MESKI banyak disambut gembira, sebenarnya ada lubang besar dalam PP Tembakau. Yang termuat dalam Peraturan Pemerintah No 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan bisa memberikan pesan keliru. Beberapa produk yang seharusnya sama sekali tidak boleh dipakai bisa dipakai karena memiliki batas aman.

Tar, misalnya, sesuai Bab I pasal 1 ayat (5) tentang ketentuan umum dijelaskan sebagai ''kondensat asap yang merupakan total residu yang dihasilkan saat rokok dibakar setelah dikurangi nikotin dan air yang bersifat karsinogenik''. Dalam pasal 10 ayat 1 disebutkan, ''Setiap orang yang memproduksi produk tembakau berupa rokok harus melakukan pengujian kandungan kadar nikotin dan tar per batang untuk setiap varian yang diproduksi''.

Secara jelas dalam PP itu disebutkan bahwa tar bersifat karsinogenik. Sebagai senyawa, tidak dikenal batas aman karsinogenik. Berapa pun kadar toksin (racun) yang bersifat karsinogenik berdampak pada kesehatan manusia, yakni menimbulkan kanker. Sesungguhnya, tar termasuk toksin yang tidak aman yang harus dienyahkan dari produk tembakau.

Berbeda halnya dari toksin yang bersifat non-karsinogen seperti karbondioksida dalam asap rokok yang memiliki batas aman. Sementara itu, senyawa karsinogen tidak mengenal ambang batas. Bila mengacu pada judul PP tersebut, seharusnya untuk melindungi para perokok aktif maupun pasif, tidak boleh ada senyawa karsinogen di kawasan tanpa rokok maupun kawasan yang membolehkan merokok karena tidak memiliki batas aman.

Di Amerika Serikat, misalnya. Adanya senyawa karsinogen dalam rokok menjadi alasan utama pelarangan industri rokok. Industri-industri lain yang juga memproduksi atau dalam proses produksinya menghasilkan limbah karsinogenik juga dilarang. Seperti halnya kacang mengandung aflatoksin dan bensin bertimbal. 

Eropa sulit menerima ekspor kacang dari negara Indonesia karena salah satu alasannya adalah mengandung aflatoksin (senyawa toksik dari fungi/jamur). Bagaimana dengan negara kita? Tidak ada pelabelan aflatoksin pada kacang yang kita konsumsi. Bensin bertimbal juga masih banyak dipakai. Padahal, bensin bertimbal bisa memicu dioksin yang bersifat karsinogenik.

Masih banyak produk karsinogenik di sekitar kita. Karena itu, sesungguhnya dibutuhkan kemauan kuat pemerintah untuk menerbitkan peraturan mengenyahkan produk-produk tersebut di pasaran, khususnya pada rokok dan asap yang dikeluarkan dari rokok. Vinil klorida adalah toksin pada batang rokok. Bila dibakar, akan dihasilkan dioksin yang merupakan senyawa karsinogenik. Benzoapirin adalah senyawa karsinogenik yang merupakan hasil pembakaran rokok.

Saat ini, jumlah kasus penyakit kanker karena senyawa karsinogenik semakin meningkat. Repotnya, pemahaman pemerintah tentang senyawa karsinogen dan penyebabnya tidak jelas, sehingga penuangan dalam peraturan pemerintah untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat juga tidak jelas. Bagaimana bisa melindungi masyarakat dari kanker yang 65 persen berasal dari makanan? Sebagaimana diketahui, banyak produk makanan karena salah produksi sehingga menghasilkan senyawa karsinogen penimbul kanker.

PP Khusus Karsinogen 

Kalau pemerintah memahami tentang toksin, seharusnya yang diatur dalam PP No 109/2012 itu adalah toksin yang memiliki batas aman, yakni toksin non-karsinogen. Untuk toksin karsinogen, harus dibuat PP khusus menyangkut semua produk maupun hasil dari proses penggunaan produk yang mengandung senyawa karsinogenik. Produk atau hasil suatu proses penggunaan produk yang mengandung senyawa karsinogen harus dienyahkan dari bumi Indonesia (zero tolerance). Pemerintah wajib melindungi masyarakat dari kanker.

Untuk toksin non-karsinogen dalam rokok maupun asap rokok, harus ditentukan batas aman konsentrasi di lingkungan atau dosis aman dalam tubuh. PP tersebut mestinya dilampiri angka-angka batas aman toksin-toksin non-karsinogenik tersebut. Sebagaimana diketahui, ada ratusan bahan kimia non-karsinogen dalam rokok maupun asap rokok yang harus ditentukan batas amannya.

Dalam penentuan batas aman toksin maupun dosis aman toksin, harus dilakukan penelitian dalam skala lab, kemudian diekstrapolasi ke manusia. Dengan demikian, akan diperoleh konsentrasi aman toksin di lingkungan maupun dosis aman toksin dalam tubuh.

Sampai saat ini, negara kita belum memiliki prosedur penentuan batas aman toksin di lingkungan kerja, apalagi paparan toksin dari rokok maupun asap rokok. Penentuan batas aman, dalam hal ini ambang batas bahan kimia di lingkungan kerja, hanya mengadopsi dari negara-negara maju seperti AS. Dalam PP, harus tertera batas aman atau dosis aman toksin rokok. Itu tidak ada. Karena itu, PP tersebut sesungguhnya tidak memberikan lingkungan yang aman bagi masyarakat. 

Dengan penentuan batas aman toksin maupun dosis toksin dalam setiap produk rokok, dapat ditentukan durasi aman para perokok agar tidak jatuh sakit. Setiap perokok akan memiliki durasi aman dalam merokok yang berbeda. Hal itu berdasar tingkat risiko perokok.

Faktor-faktor risiko yang menyertai durasi aman perokok adalah berat badan dan kebiasaan merokok. Mereka dengan berat badan besar memiliki durasi aman merokok lebih lama dibanding mereka yang berbadan kurus. Hal itu disebabkan daya serap toksin rokok untuk perokok kurus lebih tinggi dari daya serap toksin rokok untuk perokok gemuk. Dalam kondisi yang sama, perokok dengan berat badan gemuk akan cepat sakit dibanding perokok dengan berat badan kurus.

Informasi-informasi tentang batas aman toksin secara proporsional itulah yang semestinya diketahui masyarakat. Mereka wajib berupaya tetap sehat sehingga akan lebih produktif secara ekonomi dan sosial, menurut pasal 1 ayat 1 UU Kesehatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar