Selasa, 08 Januari 2013

Chicken Stays, Eagle Files


Chicken Stays, Eagle Files
Rhenald Kasali ;  Ketua Program MM UI
JAWA POS,  08 Januari 2013



KISAH persahabatan antara ayam dan burung elang pernah saya bahas dalam buku Cracking Zone. Kisah persahabatan keduanya selalu menarik perhatian, termasuk penerima hadiah Nobel Desmond Tutu, penulis Avelynn Garcia, eksekutif Christopher Gregorowsky, dan kartunis Niki Daly. Belum lama ini, bahkan Gregorowsky menulis buku yang sangat inspiratif: Fly, Eagle, Fly: An African Tale.

Dan akhir tahun lalu, di tengah-tengah konversi manajemen mutu di Surabaya, saya juga ditanya soal yang sama. Soal itu tidak lain tentang sulitnya ''mengandangkan'' elang. Itu menjadi tantangan besar pengelola UKM pada 2013. 

Masalahnya, elang adalah satu-satunya burung yang berburu sendirian. Mereka bukan makhluk kandangan. Mereka terbang tinggi dan semakin tinggi saat badai menerjang. Kalau makhluk-makhluk lain berhenti terbang saat badai datang, elang justru menggunakan badai agar bisa terbang lebih tinggi.

Elang adalah simbol manusia produktif, intrapreneur, pekerja profesional yang melanglang buana dengan helicopter view, serta menerkam peluang secepat kilat. Larinya lincah. DNA-nya dibentuk dari mengamati, belajar, dan berbuat. Tidak cuma tengok kiri-tengok kanan. Elang adalah risk taker, pemberani, penjelajah berkaki kuat, meski ia sendirian dan sulit dikandangkan.

Dua Sahabat 

Dalam buku Wren (Wren's World), diceritakan persahabatan kedua makhluk itu. Coba renungkan siapakah Anda, ayam atau elang, dan tanyakan siapa yang Anda ''pelihara'' atau siapa yang jadi rekan-rekan kerja Anda, ayam atau elang. Sekali lagi jangan tersinggung, ini hanya metafora.

Diceritakan, kedua sahabat itu pergi beriringan (meski elang bisa menerkam si ayam, tapi keduanya bersahabat). Setiap si elang terbang, si ayam lari pontang-panting, terbang-terbang sedikit. Tapi, elang suatu ketika berhasil mengajak terbang tinggi dan si ayam buru-buru minta turun karena perutnya mual. Matanya pun dipenuhi rasa takut. Mereka lalu berhenti di sebuah kandang sapi, bertemu dengan hewan tambun yang biasa diberi makan enak.

Mereka terkejut, ternyata paman sapi baik hati dan mau berbagi jagung-jagung yang dimakannya. Mengapa begitu? ''Di sini makanan berlimpah, mudah didapat, tuan kami baik hati, setiap hari kami diberi makan,'' jawab paman sapi. 

Ayam betina memutuskan tinggal di sana dan meninggalkan sahabatnya. Ia berpikir enak tinggal di lumbung jagung, makan diberi. ''Capek cari makan sendiri,'' ujarnya.

Elang terkejut. Baginya, aneh ada makhluk yang bisa makan tanpa melakukan apa-apa. Diberi rumah dan makan cuma-cuma. Persahabatan mereka berakhir. Elang memilih terbang bebas, ayam memilih tinggal di kandang sapi, makan sepuas hati. Ia tak pernah bekerja keras. 

Sampai suatu pagi, ia mendengar ibu petani mengatakan ingin makan ayam goreng. Si ayam gelisah. Ia memutuskan kabur secepatnya. Ingin kembali terbang, tapi badannya telah kegemukan. Sayap-sayapnya tak mampu membawanya terbang jauh. Ia hanya bisa mengepak-ngepakkan sayapnya. 

Esoknya, hidup si ayam selesai di meja makan, menjadi santapan pemberi makan

Paradigma Turnover 

Moral story dari kisah itu tentu tak jauh dari prinsip driver-passenger yang sering saya ulas. Manusia punya pilihan: bekerja keras menjadi elang, terbang merantau, melatih kaki yang kuat-mata yang tajam -setajam para bikers di kota New York yang bertugas mengantar surat dalam hitungan detik (lihat film Premium Rush)-, atau menjadi ''penumpang'' yang hidup enak tanpa tuntutan, tanpa keterampilan hidup. Menjadi ''ayam'' adalah sama dengan bekerja di perusahaan yang membiarkan Anda bekerja atau tidak. Tidak ada evaluasi, target, atau genjotan-genjotan. 

Itu tentu berkaitan dengan cara berpikir para manajer SDM dan para pemberi kerja. Paradigma lama dalam administrative people management menekankan pentingnya menjaga agar turnover SDM diupayakan tidak tinggi. Itu tentu bagus bagi perusahaan-perusahaan besar, yang di situ karir bisa dibangun berlapis-lapis.

Namun, pada era Cracking Zone, sebuah fakta baru perlu diperhatikan, turnover                                    yang rendah (normalnya di bawah 2 persen) justru bisa menimbulkan efek ''Chicken Stays''. Ya, seperti yang kita rasakan di dunia pelayanan publik. Chicken-nya kurus-kurus. Meski makannya banyak, matanya redup dan daya juangnya rendah. Chicken adalah simbol pegawai yang sangat mungkin penakut dan pemalas, bukan pejuang.

Lantas, apa yang harus dilakukan? Saya kira tak ada cara lain, metode rekrutmen mesti diubah, dari rekrutmen setahun sekali menjadi rekrutmen sepanjang waktu. Dari rekrutmen berdasar signalijazah menjadi tata nilai. Dari mental passenger menjadi driver. Letih tapi membuat hidup lebih mudah pada hari tua. 

Itulah yang saya ulas dalam buku Cracking Values yang menunjukkan pentingnya nilai-nilai dalam mempertahankan keunggulan pada abad ke-21. Jangan merasa susah ketika dibuat susah perusahaan atau negara. Sebaliknya, jangan bersenang-senang ketika dimanjakan keadaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar