Selasa, 08 Januari 2013

Koruptor Sukamiskin


Koruptor Sukamiskin
Deny Indrayana ;  Wakil Menteri Hukum dan HAM,
Guru Besar Hukum Tata Negara UGM
SINDO,  08 Januari 2013



Kebijakan untuk mengumpulkan narapidana kasus tindak pidana korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Jawa Barat, mendapatkan tanggapan beragam. Ada yang mendukung, tidak sedikit pula yang menolaknya. 

Ini negeri demokratis, perbedaan pendapat bukanlah barang haram, bahkan sudah menjadi keniscayaan. Dalam situasi demikian, pengambil kebijakan tidak punya pilihan lain kecuali mengeluarkan keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan, dan tanpa henti menjelaskan maksud dan tujuannya kepada seluruh masyarakat. Lapas Sukamiskin bukanlah surga bagi narapidana kasus korupsi. Benar bahwa setiap napi akan menempati satu sel, tetapi itu bukanlah perlakuan istimewa. 

Dalam praktiknya, saat ini pun mayoritas napi korupsi tinggal sendirian di selnya masing-masing. Kalaupun ada yang tinggal bersamaan dengan napi lain,maka jamaknya napi kasus lain itu difungsikan sebagai pembantu, dan dibayar. Pemikiran bahwa napi korupsi akan lebih jera kalau dikumpulkan satu sel dengan napi tindak pidana umum lainnya hanya ada dalam teori, praktiknya tidaklah demikian.

Bahkan ada bekas napi yang mengatakan, justru tinggal sendirian di dalam sel, tanpa teman berbincang sama sekali merupakan siksaan lebih baginya dan kebanyakan napi lain yang tersiksa dengan kesendirian. Apalagi, secara konseptual pembinaan napi mengelompokkan warga binaan tidak hanya berdasarkan umur, jenis kelamin, lama pidana yang dijatuhkan, tetapi juga berdasarkan jenis kejahatan (Lihat Pasal 12 UU Pemasyarakatan). 

Karena itu, ada lapas khusus wanita, lembaga pembinaan khusus anak, dan lapas narkotika. Maka, ide untuk membuat lapas khusus korupsi, bukanlah ide baru, serta tidak pula bertentangan dengan konsep pemasyarakatan. Justru, lapas khusus korupsi tersebut, memudahkan pengawasan. Tidak dapat dibantah bahwa penyimpangan yang sering terjadi, dan muncul di banyak pemberitaan, mayoritas terkait dengan napi korupsi. 

Karenanya, memusatkan napi korupsi di Lapas Sukamiskin, adalah salah satu bentuk strategi pengawasan. Tujuannya, tidak hanya pengawasan kepada napi korupsi lebih efektif, lebih jauh, pengawasan kepada napi lain juga akan lebih mudah. Tentu saja metode pengawasan akan diperbaiki secara mendasar. Saat ini pengawasan di Lapas Sukamiskin sudah relatif lebih baik. Satu dan lain hal karena kapasitasnya yang masih tidak over. 

Dari kapasitas 547 sel,yang terisi kurang dari 350. Dalam kondisi demikian, Lapas Sukamiskin dapat menjadi model percontohan bagaimana model pembinaan dan pengawasan yang tepat. Terlebih dalam enam bulan lalu, jajaran Kemenkumham— khususnya Ditjen Pemasyarakatan— tengah sangat serius melakukan pengkajian ulang seluruh standar pelaksanaan tugas pemasyarakatan. 

Ada juga yang mengkritik sekaligus menyarankan bahwa lebih tepat lapas khusus napi korupsi ada di Nusa Kambangan. Usulan demikian menunjukkan bahwa ide lapas khusus korupsi tidak ditolak, namun tempat yang dianggap lebih efektif adalah Nusa Kambangan. Mudah dipahami bahwa Nusa Kambangan memang sudah menjadi legenda,sebagai lapas yang paling memberikan efek jera. 

Namun, pada saat memutuskan Sukamiskin, kami pun sebenarnya tidak hanya menghitung soal efek jera semata, namun juga kemudahan pengawasan. Dengan lokasi di Bandung, kami dapat setiap saat melakukan monitoring dan sidak jika diperlukan. Jangkauan yang relatif dekat dari Jakarta juga penting jika terjadi hal-hal yang memerlukan reaksi cepat dari Kemenkumham. 

Apalagi, Nusa Kambangan pada dasarnya tetap tidak merupakan jaminan akan lepas dari penyimpangan. Terungkapnya fakta bandar narkoba yang beroperasi dan tertangkap mengendalikan bisnisnya dari lapas di sana menunjukkan dengan terang bahwa,jarak yang jauh justru berdampak pada pengawasan yang tidak efektif. Apalagi jika ada oknum pemasyarakatan sendiri yang terlibat, maka posisi Nusa Kambangan yang lebih jauh dari Jakarta justru menjadi faktor negatif.

Intinya, di wilayah manapun, sistem pengawasan harus diperbaiki agar berjalan efektif. Maka, sistem dan regulasi telah disiapkan, bersamaan dengan penetapan Lapas Sukamiskin sebagai lapas khusus korupsi. Secara internal, Menkumham telah menandatangani peraturan yang melindungi pengaduan jika ditemukan pelanggaran etika ataupun tindakan pidana di lingkungan Kemenkumham. 

Permenkumham tentang proteksi bagi whistle blower tersebut membuka ruang bagi pegawai kementerian ataupun masyarakat—termasuk petugas lapas ataupun warga binaan—untuk mengadukan dugaan penyimpangan. Kepada pelapor di samping diberikan perlindungan, juga diberikan penghargaan jika laporannya terbukti benar— bukan fitnah. Khusus untuk pegawai Kemenkumham, jika mengetahui ada penyimpangan, tetapi tidak melaporkan, justru akan dijatuhi sanksi. 

Kalaupun khawatir pengaduan akan berdampak negatif bagi dirinya, pelapor dapat mengadukan secara anonim. Unit layanan penerima pengaduan harus tetap mengkaji laporan tanpa nama tersebut. Karena prinsipnya yang perlu dicari adalah apakah isi pengaduan benar? Tetapi, bukan siapakah yang memberikan pengaduan. Meskipun, kalau pengaduan yang disampaikan adalah fitnah, maka pelapor tentu harus bertanggung jawab dan juga menerima sanksi. 

Dengan penjelasan demikian, dapat kami tegaskan,tidak benar argumen yang mengatakan Kemenkumham tengah memanjakan napi korupsi. Justru dalam praktiknya, para napi korupsi yang sekarang berada di Jakarta kebanyakan menolak pada saat direncanakan pindah ke Sukamiskin. Kalau benar argumen pemindahan adalah bentuk keistimewaan dan pemanjaan, maka pastinya para napi korupsi akan dengan sukacita dipindahkan ke Sukamiskin. 

Pada kenyataannya, tidak hanya napi korupsi yang berkeberatan, namun tidak sedikit pula oknum petugas pemasyarakatan yang tidak setuju. Mudah dipahami alasannya, karena selama ini sang oknum mendapatkan tambahan penghasilan dari menjual fasilitas di penjara kepada sang napi korupsi. Lebih jauh, alih-alih memanjakan apalagi disukai para napi korupsi, kebijakan Kemenkumham saat ini justru mengundang antipati mereka. 

Apalagi, baru-baru ini Kemenkumham berhasil menguatkan kebijakan pengetatan pemberian hak napi tindak pidana khusus, seperti korupsi, bandar narkoba, terorisme dan kejahatan terorganisir lainnya. Pada tanggal 12 November tahun lalu, Presiden SBY telah menandatangani PP Nomor 99 tahun 2012 tentang Tata Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. 

Berdasarkan PP tersebut, napi korupsi yang akan mendapatkan remisi, pembebasan bersyarat dan hak lainnya syaratnya lebih berat. Yang pasti sang napi harus menjadi pelaku yang bekerja sama (justice collaborator) serta telah membayar lunas denda dan uang pengganti. Untuk membuktikan dia adalah pelaku yang bekerja sama harus didukung oleh aparat penegak hukum seperti KPK,kejaksaan dan kepolisian. 

Syarat demikian bukanlah perkara mudah dipenuhi. Maka, tidak mengherankan banyak napi korupsi yang berkeberatan dan tidak berkenan. Sehingga kalau Kemenkumham dinyatakan memanjakan koruptor, justru sebaliknya. Yang pasti,kebijakan kami jelas, melakukan pengawasan, penjeraan dan pembinaan yang lebih efektif bagi seluruh warga binaan—terlebih terpidana kasus korupsi.

Maka kebijakan penyatuan napi korupsi di Lapas Sukamiskin serta pengetatan hak warga binaan adalah ikhtiar kami untuk menciptakan Indonesia yang lebih baik, Indonesia yang lebih antikorupsi. Keep on fighting for the better Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar