Sabtu, 05 Januari 2013

Blusukan


Blusukan
Budiarto Shambazy ;  Wartawan Senior Kompas
KOMPAS,  05 Januari 2013



Seperti ditulis judul utama harian ini edisi 2 Januari 2013, masyarakat puas dengan ”malam tanpa kendaraan” di sepanjang Jalan MH Thamrin dan Jalan Sudirman. Rasa puas ini layak dijaga kesinambungannya bagi kita warga Jakarta yang sudah lama rindu kebersamaan.

Sudah pasti acara yang lebih layak disebut sebagai ”pesta rakyat” itu dinobatkan jadi acara tahunan. Selain itu, acara serupa, misalnya ”malam muda- mudi”, yang digelar dalam rangka hari ulang tahun Jakarta setiap Juni, juga akan menjadi pesta rakyat.
Puluhan tahun lalu kita merasakan kebersamaan itu setiap malam menjelang hari-hari besar. Jakarta ramai tidak hanya pada malam tahun baru, tetapi juga malam takbiran Idul Fitri, malam takbiran Idul Adha, dan malam muda-mudi.

Malam-malam itu meriah karena pada paruh kedua tahun 1960-an Jakarta dilanda euforia berakhirnya Orde Lama. Oleh sebab itu, malam-malam pesta itu kadang kala diwarnai ”kebebasan” seperti perkelahian antargeng atau kebut-kebutan.

Apa pun, Bang Ali Sadikin selaku gubernur pandai mengemas acara-acara di luar ruang. Salah satunya, anak-anak muda berjalan atau bermobil lalu-lalang di sepanjang Thamrin-Sudirman dengan kostum dan tata wajah warna-warni serta unik.
Panggung bertebaran di mana-mana dan sebagian menyuguhkan band-band lokal top, seperti Koes Plus atau Panbers. Jumlah mobil yang terbilang sedikit saat itu tidak memerlukan pemberlakuan ”tanpa kendaraan” seperti sekarang. 

Namun, tradisi pesta seperti yang dilakukan di kota-kota besar lain di dunia itu terhenti setelah Bang Ali tak lagi menjadi Gubernur DKI tahun 1977. Popularitas Bang Ali yang meroket menimbulkan rasa cemburu elite penguasa saat itu.

Kini terbuka lagi peluang untuk merekatkan kembali persaudaraan antarwarga Ibu Kota berkat pesta rakyat 31 Desember lalu. Jakarta memerlukan emotional and physical gathering tanpa memandang kelas, kelamin, kulit, atau usia warga.

Banyak pelajaran dapat dipetik dari ”pesta rakyat” sejak sore 31 Desember 2012 sampai dini hari 1 Januari 2013. Kedatangan dan kepergian ribuan massa yang lalu-lalang dalam beberapa jam di wilayah tertentu adalah peristiwa tak main-main.

Entah berapa ribu orang yang tumplak di Thamrin-Sudirman. Namun, bagi wartawan yang terbiasa meliput pertandingan sepak bola, jumlah itu mencapai hitungan ”puluhan ribu”.

Terasa sekali kurangnya kehadiran aparat keamanan, terutama di tengah-tengah kerumunan yang kelewat berbahaya sampai sukar menggerakkan badan dan menyesakkan napas. Aparat keamanan kita mungkin masih awam dalam soal pengendalian massa berskala raksasa yang penuh ancaman.

Sebaiknya aparat keamanan lebih konsentrasi ke pengaturan lalu lintas manusia, baik yang menetap di tempat tertentu maupun yang lalu-lalang. Di beberapa titik terjadi kemacetan manusia yang cukup menyeramkan dan membahayakan nyawa.
Bisa dibayangkan, apa yang terjadi andaikan tiba- tiba muncul rasa panik di kerumunan padat tersebut? Tak urung banyak korban yang mungkin jatuh terinjak-injak lautan manusia.

Ngeri menyaksikan mereka yang berteduh di jembatan-jembatan penyeberangan ataupun halte- halte bus transjakarta. Pertanyaannya, seberapa kuatkah struktur jembatan dan halte untuk menahan beban berat manusia yang amat berjubel?
Jangankan ”rak sepeda” (semacam pagar besi) yang memagari dan mengatur alur massa, patroli pun nyaris tak terlihat. Akhirnya yang terjadi bisa ditebak: sebagian massa bertindak ”semau gue”.

Saking padatnya area di sekitar Bundaran Hotel Indonesia, Anda mustahil menembus kerumunan ke jalan-jalan di sekitar itu, seperti Jalan Sutan Syahrir. Sebaiknya Bundaran HI itu (bibir bundar kolam air mancur) harus bersih dari manusia.
Sebab, di situlah sentra kegiatan yang menjadi klimaks dari rentetan acara sejak karnaval sore sampai pesta kembang api. Andai area itu bersih, semua pengunjung merasa aman dan nyaman menyaksikan pesta kembang api.

Pengelolaan panggung (semuanya ada 16 panggung) juga kurang memadai. Di beberapa titik ada panggung yang berhadapan sehingga membuat kerumunan tidak terkontrol dan taman median jalan pun rusak parah terinjak kaki.

Sejak petang terlihat juga kekeliruan penutupan jalan yang cuma berlaku di Thamrin-Sudirman. Mungkin pada masa mendatang perlu juga penutupan diperluas ke jalan-jalan di sekitar Thamrin-Sudirman.

Saya pernah meliput pelantikan Presiden Amerika Serikat Barack Obama di halaman Kongres, Washington DC, tahun 2009. Pelantikan disesaki sekitar 1,1 juta manusia dan dikawal ”hanya” 10.000 polisi plus ribuan rak sepeda yang bekerja efektif.
Kunci sukses acara, jalan-jalan dalam radius 3-5 kilometer sekeliling tempat acara ditutup dari kendaraan sejak subuh sampai malam. Itu pun sempat ada insiden, massa nyaris terinjak-injak di sebuah terowongan karena mendadak panik.

Sistem pengamanan wajib tentu perlu kajian serius dan berkali-kali untuk menghindari jatuhnya korban pada masa mendatang. Manajemen panggung pasti akan jauh lebih baik jika pesta rakyat ini melibatkan lebih banyak kalangan profesional.

Puas rasanya berada di antara warga Jakarta dan juga dari luar kota untuk melepas tahun yang lama sekaligus menyambut tahun yang baru. Terharu rasanya melihat antusiasme warga, misalnya keluarga-keluarga yang bertenda di trotoar.

Setiap warga kota besar/ibu kota perlu gairah dan salah satu kanal menambah kegairahan itu berkumpul menikmati pesta rakyat, mulai dari karnaval sampai atraksi kembang api. Pesta rakyat yang lalu bukan sekadar sukses gubernur atau kepala polda, melainkan juga sukses kita warga Ibu Kota.

Justru karena ini sukses bersama, sia-sia rasanya menganggap ”fenomena Jokowi” sebagai pengulangan Bang Ali. Terima saja faktanya: kepemimpinan mereka memang populer.

Kita warga Jakarta jangan mau kalah sama Bang Jo. Kalau dia sering blusukan, kita juga perlu blusukan ke Thamrin-Sudirman pada saat pesta-pesta rakyat mendatang. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar