RPP
Tembakau
dan
Ancaman Kebijakan Pro Modal Asing
Salamuddin Daeng ; Peneliti Indonesia
Berdikari
SINAR
HARAPAN, 02 Agustus 2012
Rencana pemerintahan SBY
mengesahkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pengamanan Produk
Tembakau menunjukkan adanya anomali dalam kebijakan ekonomi negara ini.
Satu sisi, pemerintah menjalankan
kebijakan antitembakau, sementara pada saat yang sama impor tembakau semakin
dibuka secara ugal-ugalan. Kebijakan ini tentu saja menegaskan sikap pemerintah
yang sepertinya terang-terangan berpihak pada modal asing, importir.
Sebelumnya pemerintah telah
membuat berbagai regulasi tembakau, seperti peraturan daerah, peraturan menteri
bersama, dan Undang-Undang Kesehatan. Pemerintah dan DPR juga berencana membuat
UU tentang pembatasan tembakau dan rokok. Kesemua regulasi di atas spiritnya
sama, yakni bagaimana membatasi produksi, perdagangan, dan konsumsi tembakau
nasional.
Regulasi Asing
Regulasi Asing
Sejauh ini pemerintah menjalankan
kebijakan antitembakau dengan mengadopsi rezim internasional Framework Convention on Tobacco Contol
(FCTC). Rezim ini merupakan perjanjian para pihak (negara) yang disepakati di
bawah World Health Organization
(WHO). Regulasi ini diadopsi oleh Majelis Kesehatan Dunia pada 21 Mei 2003 dan
mulai berlaku pada 27 Februari 2005.
Itulah sebabnya FCTC menggunakan
dalih kesehatan dalam membentuk peraturan ini. Namun kerangka peraturan dalam
FCTC tidak hanya mengatur soal kesehatan, tetapi juga masuk ke masalah tata
niaga, seperti pengurangan pasokan, pembatasan industri, standar produk, dan
pajak.
Upaya memberlakukan FCTC secara
global dilakukan dengan dua cara, yaitu pertama, semua negara didorong untuk
meratifikasi peraturan ini ke dalam hukum nasional. Proses ratifikasi di
Indonesia dilakukan lewat undang-undang.
Kedua, mendorong masuknya
prinsip-prinsip dan kaidah dalam FCTC untuk dimasukkan ke undang-undang
sektoral, seperti UU Kesehatan dan peraturan sektoral seperti peraturan
pemerintah (PP).
Proses melegalisasi FCTC ke dalam
hukum nasional melibatkan mafia-mafia internasional. Mereka bekerja melalui
lembaga resmi pemerintah, parlemen, dan lembaga penelitian dan LSM yang
dijadikan pendukung dalam rangka mengegolkan peraturan ini.
Perusahaan farmasi multinasional
melalui Yasasan Bloomberg Initiative
(BI) menggelontorkan uang triliunan rupiah untuk mengegolkan peraturan ini.
Selanjutnya perusahaan
multinasional tembakau dan rokok mengambil keuntungan dari tekanan dari rezim
FCTC kepada suatu negara. Dalam kasus Indonesia rezim FCTC telah masuk jauh ke
peraturan daerah (perda), yang membuat kebijakan mengurangi penanaman tembakau
melalui pengalihan tanaman.
Perusahaan tembakau multinasional
juga merupakan pihak yang paling siap atas peraturan standar tar, nikotin, SNI
produk tembakau, yang sulit dipenuhi petani Indonesia, dan industri nasional.
Kebijakan antitembakau tersebut
dalam pelaksanaannya telah berhasil menekan pertanian tembakau dan mengurangi
kemampuan pasokan bahan baku bagi industri tembakau nasional secara signifikan.
Beberapa daerah di Indonesia
bahkan telah secara efektif menjalankan skema pengalihan tanaman tembakau ke
tanaman lain dengan dukungan anggaran dari pemerintah. Sementara kebutuhan
nasional dan juga kebutuhan global akan bahan baku tembakau terus meningkat.
Serbuan Impor
Serbuan Impor
Sisi lain pemerintah
menandatangani berbagai perjanjian perdagangan bebas melalui World Trade
Organization (WTO), Free Trade Agreement (FTA), dan berbagai perjanjian
perdagangan bebas bilateral lainnya.
Kebijakan perdagangan bebas
menghapuskan seluruh hambatan perdagangan, hambatan impor, baik itu hambatan
tarif (tarrif barrier) maupun
hambatan nontarif (nontarrif barrier).
Melalui kebijakan perdagangan bebas maka dilakukan penurunan tarif bea masuk
impor, tembakau, dan produk tembakau, yang semakin membuka peluang impor ke
Indonesia.
Akibat perdangangan bebas
tembakau impor menguasai ekonomi dalam negeri. Tahun 2011 impor tembakau dan
produk tembakau mencapai 91.783 ton, yang terdiri dari tembakau unmanufacturing sebesar 83.107 ton;
cigar, cigarilos, cigaretes 313.665 kg, dan tembakau manufacturing lainnya sebesar 8.362 ton. Indonesia mengalami
defisit perdagangan 6.607 ton. Nilai impor mencapai US$ 474,561 juta.
(Departemen Perdagangan, 2012).
Selanjutnya dalam kerangka China
ASEAN Free Trade Agreement (CAFTA), Indonesia menyepakati bea masuk 0 persen
pada sebagian besar produk yang diperdagangkan antara Indonesia-China.
Tahun 2015 Indonesia–China
sepakat mengurangi tarif secara drastis hingga 50 persen untuk produk kategori High Sensitive Track. Kebijakan ini
tentu akan semakin mendorong masuknya impor tembakau mentah dan produk tembakau
ke Indonesia.
Tekanan FCTC terhadap pertanian
dan pasokan tembakau pada satu sisi telah menyebabkan berkurangnya akses perusahaan-perusahaan
kecil terhadap bahan baku tembakau.
Kondisi ini semakin memperlemah
industri kecil menengah tembakau, ditambah lagi dengan tekanan fiskal (cukai)
dan berbagai aturan yang memberatkan menyebabkan perusahaan kecil banyak yang
mengalami kebangkrutan.
Sementara perusahaan besar
khususnya perusahaan multinasional dapat dengan mudah mengakses sumber bahan
baku impor. Kemampuan perusahaan besar beradaptasi dengan berbagai peraturan
menghasilkan keuntungan. Peraturan yang ketat seketika menyingkirkan perusahaan
kecil yang lemah, dan pada saat yang sama perusahaan besar multinasional
mengambil alih pasar.
Kehadiran perusahaan
multinasional yang besar akan semakin kokoh dan menunjukkan supremasinya di
masa depan. Ini karena perusahaan multinasional dilindungi penuh oleh
negara-negara kuat dan hukum nasional negara-negara lemah.
Perlindungan investasi juga
ditopang oleh rezim yang lain, yaitu perjanjian internasional dalam bidang
perlindungan Investasi atau Billateral
Investment Treaty (BIT), dan perjanjian di bawah WTO, yaitu Trade Related Investment Meassures (TRIMs).
Jika pemerintah berbuat sedikit kesalahan terhadap perusahaan multinasional
tersebut maka akan memiliki konsekuensi terhadap gugatan arbitrase
internasional.
Kebijakan pemerintah mengadopsi
FCTC pada satu sisi dan rezim perdagangan lain telah menyebabkan perusahaan
asing, seperti Philip Morris, BAT, dan lainnya, semakin mendominasi investasi
dalam negeri. Hal ini seiring dengan melemahnya perusahaan nasional, dan
bangkrutnya ribuan produsen rokok skala kecil, akibat kebijakan cukai, dan
tekanan-tekanan lainnya yang dilakukan pemerintah.
Proses pembuatan regulasi yang
melibatkan permainan mafia baik asing maupun orang Indonesia telah berhasil
memasukkan FCTC ke UU Kesehatan, menyusupkan rezim internasional FCTC ke dalam
Rancangan Peraturan Tembakau. Ke depan direncanakan RUU pembatasan rokok dan
tembakau, yang ujungnya akan memusnahkan pertanian dan industri tembakau
nasional.
Di tengah investasi dan
perdagangan tembakau yang semakin meningkat, baik pada tingkat nasional maupun
tingkat global, kebijakan pemerintah Indonesia akan semakin melestarikan
dominasi asing, dalam investasi, perdagangan, dan keuangan, termasuk dalam
sektor industri tembakau dan rokok. ●
wah artikel yang sangat bermanfaat sekali buat si simak, ...
BalasHapusinfo yang bagus buat di pahami, ....
BalasHapus