Puasa
dan Kesalehan Publik
Masdar Hilmy ; Pengajar pada Program Pascasarjana IAIN Sunan
Ampel
KOMPAS,
04 Agustus 2012
Terdapatnya kesenjangan, diskrepansi, dan
deviasi antara norma ajaran agama dan praksis moralitas publik lebih banyak
disebabkan absennya narasi kesalehan ”lain” sebagai pilar atau pembentuk
keadaban publik, yakni kesalehan publik-diagonal.
Selama ini terminologi agama hanya mengenal
dua jenis kesalehan: kesalehan individual-vertikal dan kesalehan sosial-
horizontal. Sebenarnya bisa saja orang berkilah bahwa jenis kesalehan
publik-dia- gonal merupakan subordinat atau turunan dari bentuk kesalehan
sosial-horizontal.
Pada kenyataannya tipologi kesalehan
sosial-horizontal lebih banyak mengaksentuasi amal-amal filantropis sebagai
wujud kepedulian kita atas nasib sesama, terutama mereka yang mengalami depri-
vasi sosial-ekonomi-politik akibat penerapan sistem yang timpang menindas.
Pada prinsipnya konsep kesalehan publik
mengatur pola relasi antara warga masyarakat dan struktur negara. Disebut
diagonal karena bersifat menyamping, meniscayakan hubungan timbal balik antara
warga negara dan struktur negara itu sendiri. Pola relasi keduanya dimediasi
oleh seperangkat peraturan perundangan yang tak secara literal diambil dari
teks suci, tetapi diinspirasi nilai-nilai substantif agama.
Tersua sekurangnya tiga pilar penyangga
kesalehan publik yang keberadaannya sebagai satu kesatuan dan saling menopang
satu sama lain. Pilar pertama adalah tertib dan keadaban publik. Pilar ini
mengatur (1) bagaimana setiap individu berti- wikrama satu sama lain di ruang
publik se- cara bertanggung jawab, santun, dan saling menghormati; (2)
bagaimana individu belajar meruangkan perbedaan (toleransi) sebagai bagian dari
sunatullah; (3) bagai- mana individu mengajak pada kebaikan melalui cara-cara
elegan tanpa kekerasan atau paksaan.
Pilar kedua, tata pemerintahan yang ba- ik
dan bersih, mengatur bagaimana struktur negara semestinya berperan sebagai agen
instrumental yang mendistribusikan kesejahteraan secara adil dan merata kepada
setiap warga negara, tanpa kecuali. Negara semestinya mengadopsi paradigma
service delivery kepada setiap warga negara bukan menghamba pada kepentingan
politik-kekuasaan yang menguntungkan segelintir orang.
Pada kenyataannya struktur negara banyak
terjebak pada nalar politik kekuasaan yang korup. Alih-alih jadi agen service
deli- very, kantor kementerian kita sering jadi ATM atau sapi perah bagi
politikus atau parpol yang menghamba pada kekuasaan. Akibatnya, pengembangan
infrastruktur publik sering tersandera oleh pengem- plangan
anggaran oleh pejabat negara.
Sementara itu, penegakan dan ketaatan hukum
menjadi pilar ketiga kesalehan publik. Penegakan hukum harus menga- nut asas
imparsial dan impersonal (baca: tanpa pandang bulu). Siapa pun pelanggar hukum
harus diadili, sebagaimana telah dicontohkan Rasulullah SAW.
Kenyataannya, hal ini berkebalikan dengan
yang terjadi sekarang: politik menja- di panglima dalam penegakan hukum.
Akibatnya, penegakan hukum terasa tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas. Selain
itu, hukum bisa diperjualbelikan sesuai dengan keinginan orang berduit.
Penerapan asas imparsialitas dan
impersonalitas penegakan hukum pada gilir- annya meningkatkan derajat
kepercayaan publik terhadap penyelenggara negara, sekaligus mendorong ketaatan
warga atas segala produk hukum. Banyaknya pe- langgaran hukum di kalangan
masyara- kat bukan semata-mata disebabkan minimnya kesadaran hukum, tetapi juga
akibat krisis keteladanan dalam penegakan hukum. Adalah kenyataan, moralitas
para penegak hukum kita payah, lembaga nega- ra dipenuhi sindikasi mafioso
penjarah uang rakyat, dan parpol dijejali para dema- gog pemburu rente
kekuasaan.
Pada intinya kesalehan publik tiada lain
pelembagaan kesalehan secara sistemik ke dalam struktur kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara simultan, konsisten, dan
konsekuen. Keberadaannya melengkapi dua jenis kesalehan lain yang telah
populer, membentuk sebuah rangkaian trilogi yang saling menyatu, terpaut, dan
menopang satu sama lain.
Ketiadaan narasi kesalehan publik-dia- gonal
bukan berarti agama tak berbicara sama sekali tentang jenis kesalehan ini. Pada
tataran embrionik, banyak diktum dalam Al Quran dan hadis yang bisa di-
derivasi sebagai cikal bakal kesalehan publik. Konsep keadilan, misalnya, merupakan
pintu masuk pertama bagi terumuskannya formulasi kesalehan publik.
Dalam konteks ini Al Quran menga- jarkan
berlaku adil kepada siapa pun, termasuk kepada orang yang tak kita sukai atau
lawan (QS 5:8). Nabi Muhammad SAW juga mengajarkan penegakan hukum secara
imparsial dan impersonal, bahkan terhadap keluarganya sendiri. Dalam sebuah
hadis disabdakan, Nabi bersumpah akan menghukum Fatimah, putrinya sendiri, jika
dia terbukti mencuri.
Al Quran juga menyediakan banyak ayat yang
bisa menginspirasi terciptanya kepercayaan dan akuntabilitas publik. Allah,
misalnya, melarang orang berkhianat atau melanggar perjanjian (QS 8:27, 58, 59,
60). Untuk menghindari kesalahpahaman bertransaksi, Al Quran mengajarkan
pentingnya pencatatan dalam setiap kegiatan transaksi demi tercipta
akuntabilitas publik (QS 2:282).
Masih banyak ajaran agama yang mengaksentuasi
moralitas atau kesalehan publik, antara lain kejujuran (QS 2:282; 8:58) dan
kemahahadiran Tuhan dalam ruang publik (QS 50:16). Meskipun demikian,
aktualisasi nilai-nilai itu dalam ruang publik sering terkendala oleh struktur
pengawasan yang kurang melembaga dan penegakan hukum yang masih lemah.
Akibatnya, implementasi kejujuran sering
berlangsung sporadik, individual, dan atomistik. Padahal, pelembagaan nilai-nilai
kesalehan publik membutuhkan struktur kelembagaan yang bersifat
koersif-afirmatif. Bukankah Ali, sahabat Nabi, pernah mengingatkan kita:
”Kebenaran tanpa struktur akan terkalahkan oleh kebatilan dengan struktur”.
Dalam konteks ini, ibadah puasa memiliki
semua syarat menciptakan kesalehan publik-diagonal. Sebagai ibadah
individual-vertikal, puasa mengajarkan ketaatan dan kepasrahan hamba kepada
Sang Khalik tanpa sikap cadangan. Sebagai ibadah sosial-horizontal, puasa
mengajarkan empati kepada kaum tak berpunya melalui amal-amal filantropis.
Sebagai manifestasi kesalehan publik-diagonal, puasa mendisiplinkan diri
menaati segala peraturan Allah meski tak diawasi siapa pun. Namun, kesadaran
akan kemahahadiran Allah mencegah kita lacur, curang, dan korup. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar