Sabtu, 04 Agustus 2012

Imperatif Swasembada Kedelai


Imperatif Swasembada Kedelai
Mohammad Jafar Hafsah ; Anggota Komisi IV DPR
SINDO, 04 Agustus 2012

Minggu lalu Jakarta dihebohkan dengan aksi unjuk rasa dan sweping penghasil tahu-tempe yang menyebabkan kelangkaan. Pemicunya adalah kenaikan harga kedelai dari Rp6.000 per kg menjadi Rp8.000 per kg.

Kenaikan ini disebabkan harga di pasar internasional mencapai USD622 per ton atau Rp8.345 per kg untuk harga paritas impornya. Harga ini jauh lebih tinggi dibandingkan harga tertinggi pada 2011 sekitar USD513 per ton. Keadaan ini akibat anomali iklim yang terjadi di Amerika Serikat dan Amerika Selatan selaku negara penghasil kedelai terbesar, yang sekaligus memengaruhi ketersediaan dan harga kedelai di pasar dunia.

Pada 2011 dari 2 juta ton total impor kedelai Indonesia, 1,85 juta ton di antaranya dari Amerika Serikat. Kenaikan harga ini berdampak nyata dan sangat terasa bagi industri tahu tempe yang menggunakan kedelai sebagai bahan baku utama, sekaligus penyerap kedelai terbesar, 87% dari kebutuhan nasional.

Permasalahan Kedelai

Sebenarnya persoalan ini tidak perlu terjadi jika Indonesia mampu keluar dari ketergantungan impor.Apalagi, kedelai termasuk komoditi pangan strategis yang ditargetkan berswasembada pada 2014 nanti.Namun mencermati tren produksi saat ini, cukup berdasar kiranya jika kita ragu jika tidak menempuh terobosan- terobosan untuk peningkatan produksi.

Permintaan kedelai terus meningkat sebesar 10% per tahun, tetapi peningkatan tersebut belum dapat diimbangi peningkatan produksi. Berdasarkan prognosis BPS produksi kedelai 2012, diperkirakan hanya sebesar 870.000 ton, sementara proyeksi kebutuhan sekitar 2,2 juta ton. Ini berarti, jika tidak ada gerakan dan terobosan baru maka 60,5% kebutuhan kedelai nasional masih harus dipenuhi melalui impor.

Potret produksi kedelai Indonesia senantiasa mengalami fluktuasi, pada periode 2000–2004 produksi kedelai mengalami penurunan tajam dengan laju rata-rata -11,25% per tahun. Masing-masing berturut- turut jumlah produksi pada 2000, 2001, 2002, 2003, dan 2004 sebesar 1,02 juta ton, 827.000 ton, 673.000 ton, 671.000 ton, dan 723.000 ton. Sementara periode 2005–2009, produksi mengalami pertumbuhan dengan laju rata-rata 6,72% per tahun, masing-masing berturut-turut pada 2005, 2006, 2007, 2008 sebesar 808.000 ton, 748.000 ton, 593.000 ton, 776.000 ton dan pada 2009 sebesar 974.500 ton.

Namun sejak 2010 kembali mengalami penurunan dengan produksi sebesar 905.000 ton, 2011 menjadi 851.000 ton,dan berdasarkan Aram II pada 2012 akan turun sebesar 8,4% menjadi 779.700 ton. Penurunan produksi periode 2000–2004 disebabkan berkurangnya luas areal panen sebesar rata-rata -4,45% per tahun, sementara kenaikan produksi periode 2005–2009 ditunjang terjadinya peningkatan luas areal panen rata-rata sebesar 5,99% per tahun.

Demikian pula dengan produktivitas rata-rata pada dua periode tersebut, masing-masing 1,25 ton/ha dan 1,30 ton/ha. Untuk periode 2010–2012, penurunan terjadi karena trade off kedelai dengan jagung. Selain itu, faktor nonteknis yang memengaruhi adalah lemahnya partisipasi petani yang disebabkan oleh: Pertama, ketersediaan modal yang minim.

Kedua,belum adanya tata niaga kedelai yang menjadi penjamin harga bagi petani, harga kedelai yang tidak stabil bahkan harga nominal di tingkat petani berfluktuasi dan cenderung jatuh pada saat panen raya. Ketiga, serbuan kedelai impor, kebijakan perdagangan yang liberal untuk produksi yang bisa dihasilkan di dalam negeri akan menurunkan semangat petani.Keempat, harga kedelai impor yang lebih murah membuat petani meninggalkan usaha tani kedelai. Kelima, lemahnya sinergisitas lintas sektoral. Keenam, kurangnya insentif ekonomi yang diperoleh petani, hubungan penerimaan, dan biaya komoditas kedelai lebih rendah dari padi dan jagung.

Menuju Swasembada

Sebagai negara yang memiliki sumber daya agraris, mewujudkan swasembada kedelai menjadi imperatif. Peningkatan produksi merupakan keniscayaan untuk mewujudkan swasembada. Untuk itu,diperlukan langkah dan terobosan baru agar target pemerintah mewujudkan swasembada kedelai pada 2014 dapat tercapai. Saat ini tersedia dana darurat ketahanan pangan dalam APBN 2012 sebesar Rp2 triliun, jika Rp500 miliar digunakan untuk gerakan terobosan peningkatan produksi kedelai maka berpeluang untuk adanya pertambahan produksi sebesar 850.000 ton.

Ini dapat dicapai dengan cara tiga langkah. Pertama, upaya perluasan tanam sebesar 500.000 ha dengan memanfaatkan beberapa jenis lahan sawah,yaitu i) lahan sawah MK II (Juli–Oktober) pertanaman ini dilakukan pada jalur pantura Jabar, Jateng, Jatim, Sulsel, Lampung,Sumut, NTB,dan Kalsel; ii) lahan tadah hujan MK I (Maret–Juni) awal musim hujan sebelum ditanami padi sawah; iii) lahan kering (tegal), kedelai ditanam pada MH I (Oktober–Januari) atau MH II (Februari– Maret).

Pertanaman kedelai ini diarahkan ke Lampung, Jambi, Sumbar, NAD, Sulut, Sulsel,NTB,Jatim, Jateng dan Jabar; iv) tumpangsari pada lahan peremajaan Perhutani, PTPN, HTR, perkebunan serta lahan pengembangan yang belum difungsikan; v) ladang dan lahan bukaan baru bekas alang-alang di beberapa daerah; dan vi) lahan pasang-surut yang telah direklamasi seperti di Kalsel dan Sumsel.

Karena umur kedelai singkat, kurang dari 60 hari, gerakan ini dapat dilaksanakan tanpa mengganggu pemanfaatan pokok lahan yang tersedia. Kedua, meningkatkan produktivitas menjadi 1,7–2 ton/ha. Hal ini sangat mungkin, dengan menggunakan varietas seperti anjasmoro, ijen, mahameru, panderman, merubetiri, dan baluran. Ketiga, menekan kehilangan hasil pada saat panen dan pascapanen.

Saya optimistis jika ini dilakukan dengan sungguh-sungguh melalui koordinasi yang intensif sebagai gerakan dalam masyarakat, maka mewujudkan swasembada kedelai pada 2014 tidak jauh panggang dari api. Sementara untuk langkah nonteknis perlu dilakukan beberapa langkah,yaitu Pertama, pemberian subsidi dan kemudahan akses modal petani. Kedua, penetapan jaminan harga dasar untuk melindungi petani.

Di negara maju sekalipun petani dan produk pertaniannya diproteksi dan diberi subsidi yang sangat besar. Ketiga, penerapan tarif impor sekurang-kurangnya 10%. Keempat, penerapan kembali sistem tata niaga. Kelima, penataan pola dan tata kerja penyuluhan. Keenam, pembangun sinergisitas lintas sektoral, agar semua sektor dukung-mendukung mewujudkan road mapswasembada pangan yang memuat kebijakan strategis jangka pendek dan jangka panjang. Langkah nonteknis ini diperlukan untuk mengakselerasi, sekaligus memastikan prestasi yang dicapai dapat berkelanjutan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar