Ulama,
Ilmuwan, dan Keadaan Negara
Moh
Mahfud MD, Guru Besar
Hukum Konstitusi
SUMBER : SINDO, 24 Maret
2012
Adalah
kebohongan atau ketidakbenaran kalau dikatakan bahwa reformasi yang kita
lakukan tak menunjukkan kemajuan sama sekali. Dengan segala kekurangannya,
makroekonomi kita dinyatakan cukup berhasil oleh lembaga-lembaga internasional
yang kredibel.
Pun
kehidupan politik pada umumnya sudah lebih demokratis dalam arti tak ada lagi
represi politik yang masif oleh rezim penguasa. Pemilihan umum sudah berjalan
lebih demokratis dan fair serta perlindungan hak asasi manusia (HAM) sudah
lebih baik. Pelanggaran HAM yang banyak terjadi sekarang lebih bersifat
horizontal, bukan oleh negara terhadap rakyat secara terencana. Memang banyak
kegaduhan politik,tetapi hal itu terjadi secara seimbang, bukan hegemoni dari
yang berkuasa terhadap rival yang lemah atau dilemahkan.
Pers dan masyarakat sudah bisa melakukan kritik dalam posisi sejajar dengan penguasa.Itulah kemajuan- kemajuan kita. Tapi bukanlah suatu kebohongan manakala kita juga mengatakan, dalam banyak hal yang lebih detail dan mikro, keadaan negara kita mengalami kemunduran. Misalnya dalam pemberantasan korupsi dan kemiskinan, penegakan hukum, dan ketertiban masyarakat.
Ada yang mengatakan, justru demokrasi sekarang sudah kebablasan sehingga sudah saatnya pula untuk segera direm agar negara tidak hancur karenanya. Kemerosotan yang membuat kita sangat galau adalah korupsi yang semakin sistemik dan terwariskan secara menggenerasi melalui lembaga-lembaga demokrasi serta masifnya money politics yang merusak mental masyarakat.
Yang mengerikan adalah munculnya gejala anarkisme dan pembangkangan (disobedience) oleh kelompok- kelompok masyarakat terhadap institusi pemerintah, utamanya terhadap aparat penegak hukum dan keamanan. Setiap hari kita selalu menyaksikan banyaknya peristiwa kekerasan baik antarkelompok masyarakat maupun antarkelompok massa dengan aparat pemerintah.
Ada sidang pengadilan yang diserang massa,ada massa yang melawan petugas hukum, ada polisi yang dikeroyok, ada jaksa yang didorong- dorong ke sudut tembok, ada pesakitan yang ditusuk di depan petugas, ada pembakaran terhadap kantor-kantor pemerintah, ada sweeping dan penyanderaan,bahkan ada perusakan terhadap mobil berpelat dinas atau mobil pengangkut bahan bakar minyak (BBM).
Alhasil banyak yang menyimpulkan (meski agak mendramatisasi), keadaan negara kita terancam kehancuran karena salah satu unsurnya yang penting, yaitu rakyat, mengalami gejala kerusakan yang parah. Mengapa rakyat mengalami gejala kerusakan seperti itu? Imam al-Ghazali mengatakan, ”Rusaknya ra’iyyah (rakyat) disebabkan rusaknya umara (pemerintah),rusaknya pemerintah disebabkan rusaknya ulama (ilmuwan), dan rusaknya ulama disebabkan kesenangan ulama itu terhadap harta dan kedudukan.
” Adakah itu yang sedang menimpa Indonesia sekarang ini? Bahwa rakyat mengalami gejala rusak berat tidaklah terbantahkan. Bahwa pejabat pemerintah dalam banyak hal tidak efektif dan korup sehingga banyak rakyat yang ikut jadi rusak dan membangkang serta anarkistis juga tak terbantahkan. Soalnya, apakah para ulama memang juga sudah rusak sehingga tak mampu mencerahkan dan menerangi nurani pemerintah agar memerintah dengan baik?
Di dalam faktanya memang banyak ulama yang terjun ke dunia politik, tetapi sejauh ini peran mereka wajar-wajar saja. Dapat dikatakan tak ada langkah-langkah ulama yang ikut berpolitik yang menyebabkan kerusakan pemerintahan, paling banter peran mereka adalah peran tak berdaya untuk meluruskan, tetapi mereka tidak ikut membengkokkan pemerintahan. Majelis Ulama Indonesia (MUI) secara umum juga cukup independen, tidak dihegemoni oleh kekuatan politik mana pun.
Bahkan saking independennya, adakalanya pandangan-pandangannya dinilai tidak umum alias konservatif. Jadi secara umum ulama dan semua kelembagaannya tidak mengalami kerusakan karena cinta harta dan kedudukan. Kalaulah ada kurangnya, mereka ini bukan merusak,melainkan tak berdaya berhadapan dengan kedigdayaan politik yang terindikasi sangat koruptif.
Pertanyaan lanjutannya, mengapa politik dan pemerintahan rusak jika ulamanya tidak rusak? Harus diingat, ulama itu sebenarnya bukan hanya ahli agama. Sebenarnya arti ulama itu adalah ilmuwan pada umumnya, ia berasal dari kata alim yang berarti ilmuwan yang kemudian dijadikan bentuk jamak dengan kata ulama yang berarti para ilmuwan atau, secara umum,orang yang banyak ilmunya.
Kalau arti ulama diproporsionalkan mencakup arti sebagai ilmuwan umum (bukan hanya ahli agama), maka memang dapat dipercaya, gejala rusaknya pemerintahan sekarang ini dikontribusi juga oleh para ilmuwan. Lihat saja, sekarang ini banyak ilmuwan yang kerjanya hanya mencari dalil-dalil ilmiah untuk membenarkan majikan politiknya. Bahkan banyak ilmuwan yang tertunduk-tunduk, seakan menyembah- nyembah, kepada majikan politiknya dengan selalu siap menyediakan penjelasan ilmiah tentang apa yang dimaui sang majikan.
Makanya jangan heran, banyak kebijakan dan permainan politik kotor yang didukung pembenaran ”seolah-olah ilmiah” oleh ilmuwan jongos ini. Bagi ilmuwan jongos, dalil untuk membenarkan atau menyalahkan sesuatu bisa dicari untuk kemudian diformat menjadi seakan- akan ilmiah.
Termasuk ilmuwan jongos yang seperti ini adalah sebagian dari ilmuwan survei yang banyak dikritik karena diduga melakukan dan mengumumkan hasil survei sesuai dengan pesanan; misalnya mengeblok nama orang atau partai politik agar teropini jelek atau mengangkatnya agar terkesan baik dan populer.
Inilah ulama atau ilmuwan yang,menurut Al-Ghazali, merusak politik dan pemerintahan untuk kemudian politik dan pemerintahan itu merusak kehidupan rakyatnya. ●
Pers dan masyarakat sudah bisa melakukan kritik dalam posisi sejajar dengan penguasa.Itulah kemajuan- kemajuan kita. Tapi bukanlah suatu kebohongan manakala kita juga mengatakan, dalam banyak hal yang lebih detail dan mikro, keadaan negara kita mengalami kemunduran. Misalnya dalam pemberantasan korupsi dan kemiskinan, penegakan hukum, dan ketertiban masyarakat.
Ada yang mengatakan, justru demokrasi sekarang sudah kebablasan sehingga sudah saatnya pula untuk segera direm agar negara tidak hancur karenanya. Kemerosotan yang membuat kita sangat galau adalah korupsi yang semakin sistemik dan terwariskan secara menggenerasi melalui lembaga-lembaga demokrasi serta masifnya money politics yang merusak mental masyarakat.
Yang mengerikan adalah munculnya gejala anarkisme dan pembangkangan (disobedience) oleh kelompok- kelompok masyarakat terhadap institusi pemerintah, utamanya terhadap aparat penegak hukum dan keamanan. Setiap hari kita selalu menyaksikan banyaknya peristiwa kekerasan baik antarkelompok masyarakat maupun antarkelompok massa dengan aparat pemerintah.
Ada sidang pengadilan yang diserang massa,ada massa yang melawan petugas hukum, ada polisi yang dikeroyok, ada jaksa yang didorong- dorong ke sudut tembok, ada pesakitan yang ditusuk di depan petugas, ada pembakaran terhadap kantor-kantor pemerintah, ada sweeping dan penyanderaan,bahkan ada perusakan terhadap mobil berpelat dinas atau mobil pengangkut bahan bakar minyak (BBM).
Alhasil banyak yang menyimpulkan (meski agak mendramatisasi), keadaan negara kita terancam kehancuran karena salah satu unsurnya yang penting, yaitu rakyat, mengalami gejala kerusakan yang parah. Mengapa rakyat mengalami gejala kerusakan seperti itu? Imam al-Ghazali mengatakan, ”Rusaknya ra’iyyah (rakyat) disebabkan rusaknya umara (pemerintah),rusaknya pemerintah disebabkan rusaknya ulama (ilmuwan), dan rusaknya ulama disebabkan kesenangan ulama itu terhadap harta dan kedudukan.
” Adakah itu yang sedang menimpa Indonesia sekarang ini? Bahwa rakyat mengalami gejala rusak berat tidaklah terbantahkan. Bahwa pejabat pemerintah dalam banyak hal tidak efektif dan korup sehingga banyak rakyat yang ikut jadi rusak dan membangkang serta anarkistis juga tak terbantahkan. Soalnya, apakah para ulama memang juga sudah rusak sehingga tak mampu mencerahkan dan menerangi nurani pemerintah agar memerintah dengan baik?
Di dalam faktanya memang banyak ulama yang terjun ke dunia politik, tetapi sejauh ini peran mereka wajar-wajar saja. Dapat dikatakan tak ada langkah-langkah ulama yang ikut berpolitik yang menyebabkan kerusakan pemerintahan, paling banter peran mereka adalah peran tak berdaya untuk meluruskan, tetapi mereka tidak ikut membengkokkan pemerintahan. Majelis Ulama Indonesia (MUI) secara umum juga cukup independen, tidak dihegemoni oleh kekuatan politik mana pun.
Bahkan saking independennya, adakalanya pandangan-pandangannya dinilai tidak umum alias konservatif. Jadi secara umum ulama dan semua kelembagaannya tidak mengalami kerusakan karena cinta harta dan kedudukan. Kalaulah ada kurangnya, mereka ini bukan merusak,melainkan tak berdaya berhadapan dengan kedigdayaan politik yang terindikasi sangat koruptif.
Pertanyaan lanjutannya, mengapa politik dan pemerintahan rusak jika ulamanya tidak rusak? Harus diingat, ulama itu sebenarnya bukan hanya ahli agama. Sebenarnya arti ulama itu adalah ilmuwan pada umumnya, ia berasal dari kata alim yang berarti ilmuwan yang kemudian dijadikan bentuk jamak dengan kata ulama yang berarti para ilmuwan atau, secara umum,orang yang banyak ilmunya.
Kalau arti ulama diproporsionalkan mencakup arti sebagai ilmuwan umum (bukan hanya ahli agama), maka memang dapat dipercaya, gejala rusaknya pemerintahan sekarang ini dikontribusi juga oleh para ilmuwan. Lihat saja, sekarang ini banyak ilmuwan yang kerjanya hanya mencari dalil-dalil ilmiah untuk membenarkan majikan politiknya. Bahkan banyak ilmuwan yang tertunduk-tunduk, seakan menyembah- nyembah, kepada majikan politiknya dengan selalu siap menyediakan penjelasan ilmiah tentang apa yang dimaui sang majikan.
Makanya jangan heran, banyak kebijakan dan permainan politik kotor yang didukung pembenaran ”seolah-olah ilmiah” oleh ilmuwan jongos ini. Bagi ilmuwan jongos, dalil untuk membenarkan atau menyalahkan sesuatu bisa dicari untuk kemudian diformat menjadi seakan- akan ilmiah.
Termasuk ilmuwan jongos yang seperti ini adalah sebagian dari ilmuwan survei yang banyak dikritik karena diduga melakukan dan mengumumkan hasil survei sesuai dengan pesanan; misalnya mengeblok nama orang atau partai politik agar teropini jelek atau mengangkatnya agar terkesan baik dan populer.
Inilah ulama atau ilmuwan yang,menurut Al-Ghazali, merusak politik dan pemerintahan untuk kemudian politik dan pemerintahan itu merusak kehidupan rakyatnya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar