Muamba,
Abidal, dan Keruh PSSI
Joni
Eko Yulianto, Periset di Fakultas Psikologi Unair,
Penikmat
Sepak Bola dan Penonton PSSI
SUMBER : JAWA POS, 24
Maret 2012
SELURUH
perhatian pencinta sepak bola sontak terarah kepada Fabrice Muamba, pemain
tengah klub Liga Premier Inggris Bolton Wanderers, yang mendadak jatuh pingsan
saat klubnya menghadapi Tottenham Hotspur. Para awak media menulis bahwa
masalah pada jantung diduga kuat menjadi penyebab kolapsnya gelandang yang oleh
game Football Manager 2012 dijuluki ''Tireless Defensive
Midfielder'' itu.
Beberapa hari sebelumnya, bek kiri internasional Prancis yang bermain di klub Barcelona, Eric Abidal, diharuskan mengikuti jejak Dahlan Iskan untuk menjalani operasi transplantasi hati. Adalah perjuangan besar bagi Abidal karena dia harus kembali ke meja operasi. Padahal, dia baru saja kembali turun merumput kira-kira dua pekan menjelang final Liga Champion tahun lalu. Saat itu, dia juga harus absen berbulan-bulan karena operasi tumor.
Jauh di belahan dunia yang lain, jauh dari perhatian panggung sepak bola kelas dunia, ada kisruh kepengurusan sepak bola sebuah bangsa yang tak berkesudahan. Yakni, Indonesia, negara yang dibabat 10 gol tanpa balas oleh Bahrain dalam lanjutan kualifikasi Pra Piala Dunia Zona Asia. Terlepas dari kontroversialnya keputusan wasit yang bertugas saat itu, penampilan Indonesia dianggap sebagai representasi karut-marutnya kepemimpinan PSSI sebagai badan tertinggi penanggung jawab pelaksanaan sepak bola nasional.
Saat PSSI sibuk mencari rasionalisasi, kegagalan tim nasional usia 21 sebagai juara dalam kompetisi di Brunei Darussalam turut memojokkan posisi mereka menjadi semakin terjepit. Terjepit karena menambah portofolio nilai buruk pasca dualisme kompetisi dan bahkan potensi sanksi dari AFC dan FIFA karena konflik yang tak kunjung berakhir.
Esensi tiga cerita sepak bola tersebut sebenarnya adalah sama. Ketiganya adalah tragedi. Tragedi yang tidak diinginkan semua pihak. Tragedi yang menimbulkan kesedihan yang mendalam bagi seluruh insan sepak bola. Tidak hanya di dataran Inggris, Spanyol, dan Indonesia, saya percaya itu juga berlaku bagi pencinta sepak bola.
Kemanusiaan yang Beradab
Uniknya, tiga tragedi tersebut ditanggapi dengan respons perilaku yang jauh berbeda. Fabrice Muamba dan Eric Abidal patut berbangga. Untuk Muamba, FA sebagai asosiasi sepak bola Inggris menghentikan partai tersebut. Bolton Wanderers bahkan berwacana mundur dari kompetisi itu sebagai bentuk duka cita mendalam dan rasa empati terhadap sang gelandangnya. Sang pelatih dan kapten tim bahkan ikut menunggu di rumah sakit. Pun demikian dengan Barcelona. Mereka memberikan perawatan medis terbaik untuk Abidal.
Dukungan untuk Muamba dan Abidal tidak berhenti sampai di sana. Sebagaimana diberitakan banyak media, pada hari selanjutnya, dalam partai-partai dalam kompetisi apa pun di Liga Inggris dan Liga Spanyol, seluruh pemain dari seluruh klub memberikan sesi berdoa bersama sebelum partai dimainkan untuk kesembuhan Muamba dan Abidal.
Para pemain Real Madrid, sebagai rival abadi Barcelona, bahkan tak sungkan memakai kaus bertulisan ''Get well soon, Abidal'' sebagai bentuk doa dan dukungannya kepada sang seteru di lapangan. Hal itu menarik mengingat Real Madrid dan Barcelona adalah klub yang disebut-sebut tak akan pernah bersatu lantaran rivalitas yang mendarah daging. Namun, mereka ternyata dapat mengesampingkan konflik ideologis klub mereka dan bersatu atas nama kemanusiaan!
Ironisnya, tragedi yang terjadi di tubuh PSSI tidak menghasilkan kesatuan hati layaknya kasus Muamba dan Abidal. Jangankan menghasilkan deklarasi persatuan, dualisme kompetisi malah dikawinkan dengan dualisme kepengurusan. Saya harap hal itu bukan indikasi awal munculnya dualisme tim nasional.
Lebih-lebih, jika berbicara kepengurusan pusat sepak bola, berarti kita sebenarnya sedang berbicara tentang harga diri, kapabilitas, dan integritas bangsa dalam memanajemen sepak bola tanah air. Namun, atas nama harkat dan martabat bangsa di hadapan masyarakat sepak bola dunia pun, rupanya, hati para pelaku konflik tak bisa tersentuh untuk bersatu!
Saat Sepak Bola Tak Penting
Dualisme kompetisi yang terjadi dalam kepengurusan pusat sepak bola Indonesia jelas bukanlah cerminan profesionalisme. Layaknya tubuh yang berjalan namun memiliki dua kepala, kemajuan sepak bola tidak akan tercapai dengan dua kepengurusan. Terlebih, harga diri sepak bola nasional bahkan telah tercoreng di mata internasional. Intervensi AFC dan FIFA tak ubahnya pengadilan yang mengintervensi problem ranjang sepasang suami-istri. Masalah bisa jadi selesai, namun aib telah terpublikasi luas. Jika itu terjadi dan siapa pun pihak yang dimenangkan FIFA, sulit bagi masyarakat untuk menyebutnya kemenangan, apalagi keberhasilan.
Tidakkah PSSI bersedia dengan rendah hati melihat aspek kemanusiaan yang lebih dalam, misalnya seribu pemain dari dua liga yang nasibnya berada di tangan mereka? Tidakkah mereka mau belajar dari manajer Bolton yang mengatakan, ''Ketika melihat Muamba tergeletak, sepak bola menjadi tidak penting lagi.''
Tidakkah PSSI bersedia belajar dari Charles Puyol yang tiba-tiba memberikan ban kaptennya saat menjelang penyerahan piala Liga Champion tahun lalu kepada Eric Abidal yang baru sembuh dari operasi hanya karena dia ingin Abidal-lah yang pertama mengangkat piala sebagai bentuk penghormatan untuk dirinya?
Terakhir, saya berharap PSSI mengingat nasihat ibunda Achmad Bustomi, gelandang tim nasional, dalam sebuah percakapan di telepon menjelang partai semifinal AFF dua tahun lalu, ''Nak, sekalipun kamu harus menang, jangan bermain kasar ya. Mereka juga sama sepertimu yang mencari nafkah untuk keluarganya.''
Kapan kalian sportif, PSSI? ●
Beberapa hari sebelumnya, bek kiri internasional Prancis yang bermain di klub Barcelona, Eric Abidal, diharuskan mengikuti jejak Dahlan Iskan untuk menjalani operasi transplantasi hati. Adalah perjuangan besar bagi Abidal karena dia harus kembali ke meja operasi. Padahal, dia baru saja kembali turun merumput kira-kira dua pekan menjelang final Liga Champion tahun lalu. Saat itu, dia juga harus absen berbulan-bulan karena operasi tumor.
Jauh di belahan dunia yang lain, jauh dari perhatian panggung sepak bola kelas dunia, ada kisruh kepengurusan sepak bola sebuah bangsa yang tak berkesudahan. Yakni, Indonesia, negara yang dibabat 10 gol tanpa balas oleh Bahrain dalam lanjutan kualifikasi Pra Piala Dunia Zona Asia. Terlepas dari kontroversialnya keputusan wasit yang bertugas saat itu, penampilan Indonesia dianggap sebagai representasi karut-marutnya kepemimpinan PSSI sebagai badan tertinggi penanggung jawab pelaksanaan sepak bola nasional.
Saat PSSI sibuk mencari rasionalisasi, kegagalan tim nasional usia 21 sebagai juara dalam kompetisi di Brunei Darussalam turut memojokkan posisi mereka menjadi semakin terjepit. Terjepit karena menambah portofolio nilai buruk pasca dualisme kompetisi dan bahkan potensi sanksi dari AFC dan FIFA karena konflik yang tak kunjung berakhir.
Esensi tiga cerita sepak bola tersebut sebenarnya adalah sama. Ketiganya adalah tragedi. Tragedi yang tidak diinginkan semua pihak. Tragedi yang menimbulkan kesedihan yang mendalam bagi seluruh insan sepak bola. Tidak hanya di dataran Inggris, Spanyol, dan Indonesia, saya percaya itu juga berlaku bagi pencinta sepak bola.
Kemanusiaan yang Beradab
Uniknya, tiga tragedi tersebut ditanggapi dengan respons perilaku yang jauh berbeda. Fabrice Muamba dan Eric Abidal patut berbangga. Untuk Muamba, FA sebagai asosiasi sepak bola Inggris menghentikan partai tersebut. Bolton Wanderers bahkan berwacana mundur dari kompetisi itu sebagai bentuk duka cita mendalam dan rasa empati terhadap sang gelandangnya. Sang pelatih dan kapten tim bahkan ikut menunggu di rumah sakit. Pun demikian dengan Barcelona. Mereka memberikan perawatan medis terbaik untuk Abidal.
Dukungan untuk Muamba dan Abidal tidak berhenti sampai di sana. Sebagaimana diberitakan banyak media, pada hari selanjutnya, dalam partai-partai dalam kompetisi apa pun di Liga Inggris dan Liga Spanyol, seluruh pemain dari seluruh klub memberikan sesi berdoa bersama sebelum partai dimainkan untuk kesembuhan Muamba dan Abidal.
Para pemain Real Madrid, sebagai rival abadi Barcelona, bahkan tak sungkan memakai kaus bertulisan ''Get well soon, Abidal'' sebagai bentuk doa dan dukungannya kepada sang seteru di lapangan. Hal itu menarik mengingat Real Madrid dan Barcelona adalah klub yang disebut-sebut tak akan pernah bersatu lantaran rivalitas yang mendarah daging. Namun, mereka ternyata dapat mengesampingkan konflik ideologis klub mereka dan bersatu atas nama kemanusiaan!
Ironisnya, tragedi yang terjadi di tubuh PSSI tidak menghasilkan kesatuan hati layaknya kasus Muamba dan Abidal. Jangankan menghasilkan deklarasi persatuan, dualisme kompetisi malah dikawinkan dengan dualisme kepengurusan. Saya harap hal itu bukan indikasi awal munculnya dualisme tim nasional.
Lebih-lebih, jika berbicara kepengurusan pusat sepak bola, berarti kita sebenarnya sedang berbicara tentang harga diri, kapabilitas, dan integritas bangsa dalam memanajemen sepak bola tanah air. Namun, atas nama harkat dan martabat bangsa di hadapan masyarakat sepak bola dunia pun, rupanya, hati para pelaku konflik tak bisa tersentuh untuk bersatu!
Saat Sepak Bola Tak Penting
Dualisme kompetisi yang terjadi dalam kepengurusan pusat sepak bola Indonesia jelas bukanlah cerminan profesionalisme. Layaknya tubuh yang berjalan namun memiliki dua kepala, kemajuan sepak bola tidak akan tercapai dengan dua kepengurusan. Terlebih, harga diri sepak bola nasional bahkan telah tercoreng di mata internasional. Intervensi AFC dan FIFA tak ubahnya pengadilan yang mengintervensi problem ranjang sepasang suami-istri. Masalah bisa jadi selesai, namun aib telah terpublikasi luas. Jika itu terjadi dan siapa pun pihak yang dimenangkan FIFA, sulit bagi masyarakat untuk menyebutnya kemenangan, apalagi keberhasilan.
Tidakkah PSSI bersedia dengan rendah hati melihat aspek kemanusiaan yang lebih dalam, misalnya seribu pemain dari dua liga yang nasibnya berada di tangan mereka? Tidakkah mereka mau belajar dari manajer Bolton yang mengatakan, ''Ketika melihat Muamba tergeletak, sepak bola menjadi tidak penting lagi.''
Tidakkah PSSI bersedia belajar dari Charles Puyol yang tiba-tiba memberikan ban kaptennya saat menjelang penyerahan piala Liga Champion tahun lalu kepada Eric Abidal yang baru sembuh dari operasi hanya karena dia ingin Abidal-lah yang pertama mengangkat piala sebagai bentuk penghormatan untuk dirinya?
Terakhir, saya berharap PSSI mengingat nasihat ibunda Achmad Bustomi, gelandang tim nasional, dalam sebuah percakapan di telepon menjelang partai semifinal AFF dua tahun lalu, ''Nak, sekalipun kamu harus menang, jangan bermain kasar ya. Mereka juga sama sepertimu yang mencari nafkah untuk keluarganya.''
Kapan kalian sportif, PSSI? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar