TV
Digital:
Anak
Haram Undang-Undang Penyiaran
Veven Sp Wardhana, PENGHAYAT BUDAYA MASSA
SUMBER : KORAN TEMPO, 3
MARET 2012
Rencana siaran televisi digital, sangat boleh
jadi, bakal memberikan kenyamanan bagi mata pemirsa, karena gambar di layar
kaca jadi jauh lebih cemerlang, jernih, dan tajam. Selain itu, dengan teknologi
digital, satu frekuensi, yang selama ini hanya bisa diisi oleh satu stasiun
televisi sistem analog, kini bisa memuat belasan program dalam saat yang sama.
Dengan demikian, anggapan monopoli frekuensi itu jadi sedikit bisa ditepis
karena pemain (baru) lain bisa mendapat peluang untuk makin meramaikan langit
Indonesia.
Yang menjadi persoalan adalah acuan siaran
televisi digital tersebut, yakni Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika
Nomor 22 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Televisi Digital
Terestrial Penerimaan Tetap Tidak Berbayar, selain peraturan menteri yang sama
Nomor 23 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Frekuensi Radio untuk Keperluan
Televisi Siaran Digital. Dua peraturan menteri (permen) ini masing-masing
ditandatangani pada 22 dan 23 November 2011.
Rujukannya, sekali lagi: peraturan menteri!
Paling-paling ditambah keputusan menteri (kepmen) yang sama, Nomor
95/KEP/M.KOMINFO/2/2012 tentang Peluang Usaha Penyelenggaraan Penyiaran Multipleksing
pada Penyelenggaraan Penyiaran Televisi Digital Terestrial Penerimaan Tidak
Berbayar. Hanya itu. Mungkin tak soal benar.
Persoalan hukumnya, suatu
peraturan--dari permen, peraturan pemerintah, kepmen, peraturan daerah, hingga
surat keputusan--merupakan turunan dari peraturan yang lebih tinggi. Dalam hal
peraturan menteri dan keputusan Menteri Komunikasi dan Informatika ini,
induknya seharusnya adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran
(selanjutnya: UU Penyiaran). Dalam UU Penyiaran yang dimaklumatkan sejak 28
Desember 2002 itu sama sekali tidak atau belum termaktub perihal siaran
televisi digital itu.
Dalam UU Penyiaran, hanya terdapat satu kata
“digital”, itu pun terkesan sambil lalu lantaran kemungkinan keberadaannya
masih sangat jauh di depan. Sementara itu, ada 21 frasa “penyiaran swasta”
dalam undang-undang yang sama, dan atas frasa terakhir inilah yang kemudian
dilahirkan turunannya berupa Peraturan Pemerintah Nomor 50/2005 tentang
Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta. Peraturan yang
dimaklumatkan pada 16 November 2005 ini terhitung terperinci, terdiri atas 73
pasal dan 120 ayat.
Bisa dikatakan, peraturan pemerintah ini
mengatur perihal lembaga penyiaran swasta yang sesungguhnya sudah beroperasi.
Toh, tetap dibutuhkan pengawalan untuk merumuskan pasal dan ayatnya agar tidak
menyimpang dari undang-undang yang menjadi payung hukumnya. Sementara lembaga
penyiaran digital yang difantasikan masih berada jauh nun di seberang itu,
belakangan hal itu seperti mendadak dihadirkan di depan gerbang dan sama sekali
tanpa pengawalan. Itu sebabnya, dalam peraturan dan keputusan menteri tadi
ditubuhkan atau dibangun lembaga baru yang tak disebut-sebut dalam
undang-undang.
Lembaga baru yang memiliki peran penting itu
setidaknya ada dua, yakni Lembaga Penyiaran Penyelenggara Program Siaran
(LPPPS) dan Lembaga Penyiaran Penyelenggara Program Multipleksing (LPPPM),
yakni lembaga-lembaga yang secara prinsip menjadi pengelola program siaran
untuk dipancarluaskan ke khalayak--yang satu melalui slot kanal frekuensi
radio, satunya melalui perangkat multipleks dan transmisi. Padahal, dalam UU
Penyiaran, hanya dikenal terminologi lembaga penyiaran publik, lembaga
penyiaran swasta, lembaga penyiaran komunitas, dan lembaga penyiaran berlangganan--serta
beberapa varian di antaranya meliputi lembaga penyiaran lokal, penyiaran
berjaringan, penyiaran melalui satelit, kabel, dan terestrial.
Selain itu, dalam permen dan kepmen tak lagi
didapatkan sebuah institusi yang menjadi amanat undang-undang, yakni Komisi
Penyiaran Indonesia (KPI). Melalui judicial review yang diajukan
Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Mahkamah Konstitusi, Maret 2008,
memang telah mempreteli peran KPI sebagai regulator pemberi izin frekuensi
bersama pemerintah, namun peran lain sebagai pengawas dan pemberi teguran atas
isi tayangan tak ikut dicopot.
Menjadi pertanyaan: apakah dalam sistem
digital ini KPI tak difungsikan untuk televisi atau pemain baru? Atau seluruh
stasiun penyiaran tak berbayar tak lagi perlu mempertimbangkan dan
memperhitungkan keberadaan KPI? Saya rasa, pertanyaan penting ini menjadi bahan
bahasan atas UU Penyiaran yang berlangsung pada hari-hari ini.
Namun, ada kesan, peraturan dan keputusan
tersebut main kejar-kejaran dengan pembahasan untuk penyempurnaan UU Penyiaran
itu. Bahkan KPI mengaku tak diajak serta dalam proses perumusan pasal dan ayat
dalam permen, kepmen, dan peraturan pemerintah perihal siaran televisi digital
itu.
Tak jelas benar apa yang dikejar, termasuk
penetapan 6 April 2012 sebagai pembukaan tender bagi penyelenggaraan penyiaran
televisi digital, dua bulan sejak ditandatanganinya Kepmen Kominfo Nomor
95/KEP/M.KOMINFO/2/2012. Tampaknya, terlampau simplistik jika dikalkulasi bahwa
Menteri Kominfo berniat membangun monumen sebelum berakhirnya Kabinet Indonesia
Bersatu II pada 2014. Namun, saya tak hendak pula menduga-duga agar anggaran
untuk membeli sejenis antena televisi digital (disebut mux) itu--per
buahnya seharga Rp 20 miliar--harus segera cair pada tahun ini. Pasalnya,
keharusan total bersiaran dan berpenerimaan siaran televisi digital itu
dirancangkan pada awal 2018, sebuah waktu yang terhitung jauh.
Belajar dari pengalaman UU Penyiaran yang
beberapa pasal pentingnya tak bisa terimplementasikan, padahal sudah diberi
peluang waktu cukup panjang, awal April 2012--ditambah tak tergemakannya
sosialisasi perihal televisi digital itu ke khalayak maupun ke lembaga
penyiaran yang sudah bersiaran pun--jadi kian terasa ketergesa-gesaannya.
Apalagi UU Penyiaran yang seharusnya menjadi payung hukum itu masih dalam
proses pembahasan. Lain soal jika kepmen dan permen perihal penyiaran televisi
digital itu hendak menakdirkan dirinya sendiri sebagai anak haram. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar