Senin, 05 Maret 2012

Serangan Umum 1 Maret 2012


Serangan Umum 1 Maret 2012
Endang Suryadinata, ALUMNUS ERASMUS UNIVERSITEIT, ROTTERDAM
SUMBER : KORAN TEMPO, 3 MARET 2012



Sejarah adalah hasil dari konstruksi atas fakta di masa lalu. Kesimpulan atau hasil konstruksi penulisan sejarah itu ibarat mengumpulkan berbagai hal yang terserak kemudian dikumpulkan. Seharusnya sejarah ditulis dengan metode ilmiah tertentu berupa heuristik (pengumpulan data) dan kritik atas data-interpretasi-historiografi. Tentu saja motif di balik penulisan itu amat menentukan, untuk apa sebenarnya sejarah itu ditulis.

Sejarah Serangan Umum 1 Maret 1949, misalnya, juga pernah ditulis dengan maksud melebih-lebihkan peran Soeharto sehingga mengundang polemik, khususnya dari para pelaku atau saksi Serangan Umum lainnya. Polemik juga terjadi antara sejarawan dan peminatnya. Yang tak kalah seru tentunya polemik antara para pemuja dan penghujat Soeharto.

Pertama-tama harus diungkapkan bahwa Serangan Umum 1 Maret 1949 yang dilakukan TNI dan didukung rakyat sungguh terjadi. Dengan kata lain, ada faktanya. Jadi, Serangan Umum 1 Maret 1949 bukan hasil rekayasa. Dalam peristiwa itu, ada beberapa pelaku sejarah, antara lain Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Pak Harto. Adapun kronologi Serangan Umum secara singkat bisa diungkapkan sebagai berikut.

Serangan umum terhadap Kota Yogyakarta (ibu kota negara) pada 1 Maret 1949, di bawah pimpinan Letnan Kolonel Soeharto, Komandan Brigade 10 daerah Wehrkreise III, itu setelah terlebih dulu mendapat persetujuan dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta. Serangan dilakukan pada kurang-lebih pukul 06.00.

Pos komando ditempatkan di Desa Muto. Pada malam hari menjelang serangan umum itu, pasukan telah merayap mendekati kota dan dalam jumlah kecil mulai disusupkan ke dalam kota. Pagi hari sekitar pukul 06.00, sewaktu sirene dibunyikan, serangan segera dilancarkan ke segala penjuru kota. Dalam penyerangan ini, Letkol Soeharto langsung memimpin pasukan dari sektor barat sampai ke batas Malioboro. Sektor barat dipimpin Ventje Sumual, sektor selatan dan timur dipimpin Mayor Sardjono, sektor utara oleh Mayor Kusno. Sedangkan untuk sektor kota sendiri ditunjuk Letnan Amir Murtono dan Letnan Masduki sebagai pemimpin. TNI berhasil menduduki Kota Yogyakarta selama 6 jam. Tepat pukul 12.00 siang, sebagaimana yang telah ditentukan semula, pasukan TNI mengundurkan diri.

Jadi, Serangan Umum 1 Maret memang punya makna besar bagi keberadaan Indonesia, negeri yang baru merdeka pada 17 Agustus 1945. Lewat Serangan Umum 1 Maret, eksistensi Indonesia bisa ditunjukkan kepada masyarakat internasional. Sebagai sebuah peristiwa sejarah, Serangan Umum merupakan sebuah titik balik pada masa Revolusi Fisik. Dan dalam hal ini, kita semua tak bisa mengelak untuk mengakui peran dan kontribusi Pak Harto. Sejarawan dan dokumen militer Belanda pun mengakui kehebatan strategi militer yang dipimpin Komandan Wehrkreise III Letkol Soeharto saat itu.

Tapi yang jadi masalah dan kemudian mengundang kontroversi adalah bahwa Pak Harto, semasa menjadi Presiden RI, tergoda untuk melebih-lebihkan peran dirinya sembari mengurangi peran saksi sejarah yang lain dalam Serangan Umum 1 Maret 1949. Soeharto menganggap dirinya sebagai penggagas awal serangan umum itu. Lewat film Janur Kuning (1979), Soeharto mencoba memperlihatkan peran dirinya. Film itu punya pesan utama bahwa dia tokoh sentral sekaligus penggagas awal serangan terhadap Yogyakarta tersebut, yang waktu itu diduduki Belanda. Film ini menjadi tontonan wajib bagi pelajar dan kemudian rutin disiarkan oleh TVRI setiap 1 Maret pada 1980-1997.

Padahal banyak sumber menyebut penggagas awal dan utama Serangan Umum 1 Maret adalah Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Soeharto justru mengurangi peran Sultan dan menyangkal fakta bahwa dia pernah bertemu dengan Sri Sultan pada 14 Februari 1949, saat Sultan membeberkan gagasan serangan umum kepada Soeharto. Padahal ada saksi mata yang melihat pertemuan Sultan dengan Pak Harto. Inilah yang jadi sumber kontroversi. Jadi, seandainya Pak Harto tidak mengklaim sebagai penggagas awal Serangan Umum, tidak pernah akan ada kontroversi atau polemik.

Dengan demikian, Pak Harto telah memanipulasi sejarah yang seharusnya ditulis dengan obyektif, jujur, dan mengutamakan kebenaran. Dengan sengaja memanipulasi, Pak Harto dan sejarawan Istana yang mendukungnya sesungguhnya telah mengabaikan adanya kearifan sejarah (wisdom of history) untuk melihat suatu peristiwa sejarah secara proporsional. Mengapa Pak Harto harus melebih-lebihkan perannya dalam Serangan Umum 1 Maret?

Para penguasa memang selalu berusaha menguasai tafsir sejarah. Sejarah selalu digunakan oleh para penguasa untuk melegitimasi kekuasaannya. Bahkan, kalau perlu, ia melakukan manipulasi atau kebohongan. Sejarah dijadikan alat propaganda untuk melayani kekuasaan dan melupakan misi sucinya sebagai sebuah ilmu obyektif yang mengungkapkan sebuah kebenaran.

Tidak mengherankan jika kemudian istilah sejarah dalam bahasa Inggris diterjemahkan dengan history (cerita-nya), bukan our story (cerita kita) atau their story (cerita mereka) dan bahkan her story (cerita-nya/perempuan).

Yang sangat disayangkan, manipulasi sejarah tidak hanya dilakukan dalam peristiwa Serangan Umum 1 Maret. Hampir semua buku sejarah yang ditulis dalam era Pak Harto berkuasa (1965-1998) ditulis tidak dengan benar. Syukurlah, setelah lengsernya Pak Harto, upaya meluruskan sejarah, khususnya dari saksi sejarah, termasuk para korban HAM di era Pak Harto, cukup marak.

Kemudian, yang memprihatinkan, dalam level pemerintahan, masih ada upaya untuk melestarikan kebohongan. Tidak mengikuti tren untuk meluruskan sejarah seperti dilakukan sebagian korban. Coba simak, meski sudah 13 tahun Reformasi, pemerintahan saat ini tampak tidak berdaya atas kasus Munir dan banyak kasus pelanggaran HAM di era Soeharto mulai 1965 hingga 1998. Banyak peristiwa pelanggaran HAM di masa lalu dibiarkan dalam misteri. Banyak pertanyaan korban atau keluarganya hingga kini tidak terjawab tuntas.

Coba tanyakan kepada Sipon, istri Wiji Thukul, atau orang tua Bimo Petrus Anugerah. Tanyakan kepada para orang tua yang anaknya hilang yang tergabung dalam IKOHI, yang belum lama ini berdemo di depan markas AD (30 Agustus). Tanyakan kepada para eksil yang kini merindukan negeri ini.

Sayang, pertanyaan-pertanyaan mereka sering membentur dinding keangkuhan penguasa negeri ini. Presiden SBY dan pemerintah sekarang memang bukan dalang semua pelanggaran HAM di masa lalu. Tetapi sebenarnya pemerintahan SBY bisa membuat gebrakan baru dengan menyingkap siapa dalang sesungguhnya semua peristiwa itu.

Sekaligus, dengan pengungkapan ini, pemerintah punya komitmen untuk meluruskan sejarah yang banyak dimanipulasi semasa Orba. Dengan demikian, kita akan bisa menghentikan semua kebohongan sejarah yang ditulis penguasa atau orang-orang kuat di masa lalu. ●

2 komentar:

  1. Jika dan raga dikorbankan oleh perjuang kemerdekaan bangsa ini.

    BalasHapus
  2. TERIMA kasih sudah membantu tugas sekolah saya

    BalasHapus