Serangan
Umum 1 Maret 2012
Endang Suryadinata, ALUMNUS ERASMUS UNIVERSITEIT, ROTTERDAM
SUMBER : KORAN TEMPO, 3
MARET 2012
Sejarah adalah hasil dari konstruksi atas fakta
di masa lalu. Kesimpulan atau hasil konstruksi penulisan sejarah itu ibarat
mengumpulkan berbagai hal yang terserak kemudian dikumpulkan. Seharusnya
sejarah ditulis dengan metode ilmiah tertentu berupa heuristik (pengumpulan
data) dan kritik atas data-interpretasi-historiografi. Tentu saja motif di
balik penulisan itu amat menentukan, untuk apa sebenarnya sejarah itu ditulis.
Sejarah Serangan Umum 1 Maret 1949, misalnya,
juga pernah ditulis dengan maksud melebih-lebihkan peran Soeharto sehingga mengundang
polemik, khususnya dari para pelaku atau saksi Serangan Umum lainnya. Polemik
juga terjadi antara sejarawan dan peminatnya. Yang tak kalah seru tentunya
polemik antara para pemuja dan penghujat Soeharto.
Pertama-tama harus diungkapkan bahwa Serangan
Umum 1 Maret 1949 yang dilakukan TNI dan didukung rakyat sungguh terjadi.
Dengan kata lain, ada faktanya. Jadi, Serangan Umum 1 Maret 1949 bukan hasil
rekayasa. Dalam peristiwa itu, ada beberapa pelaku sejarah, antara lain Sri
Sultan Hamengku Buwono IX dan Pak Harto. Adapun kronologi Serangan Umum secara
singkat bisa diungkapkan sebagai berikut.
Serangan umum terhadap Kota Yogyakarta (ibu
kota negara) pada 1 Maret 1949, di bawah pimpinan Letnan Kolonel Soeharto,
Komandan Brigade 10 daerah Wehrkreise III, itu setelah terlebih dulu mendapat
persetujuan dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Kepala Daerah Istimewa
Yogyakarta. Serangan dilakukan pada kurang-lebih pukul 06.00.
Pos komando ditempatkan di Desa Muto. Pada
malam hari menjelang serangan umum itu, pasukan telah merayap mendekati kota
dan dalam jumlah kecil mulai disusupkan ke dalam kota. Pagi hari sekitar pukul
06.00, sewaktu sirene dibunyikan, serangan segera dilancarkan ke segala penjuru
kota. Dalam penyerangan ini, Letkol Soeharto langsung memimpin pasukan dari
sektor barat sampai ke batas Malioboro. Sektor barat dipimpin Ventje Sumual,
sektor selatan dan timur dipimpin Mayor Sardjono, sektor utara oleh Mayor
Kusno. Sedangkan untuk sektor kota sendiri ditunjuk Letnan Amir Murtono dan
Letnan Masduki sebagai pemimpin. TNI berhasil menduduki Kota Yogyakarta selama
6 jam. Tepat pukul 12.00 siang, sebagaimana yang telah ditentukan semula,
pasukan TNI mengundurkan diri.
Jadi, Serangan Umum 1 Maret memang punya
makna besar bagi keberadaan Indonesia, negeri yang baru merdeka pada 17 Agustus
1945. Lewat Serangan Umum 1 Maret, eksistensi Indonesia bisa ditunjukkan kepada
masyarakat internasional. Sebagai sebuah peristiwa sejarah, Serangan Umum
merupakan sebuah titik balik pada masa Revolusi Fisik. Dan dalam hal ini, kita
semua tak bisa mengelak untuk mengakui peran dan kontribusi Pak Harto.
Sejarawan dan dokumen militer Belanda pun mengakui kehebatan strategi militer
yang dipimpin Komandan Wehrkreise III Letkol Soeharto saat itu.
Tapi yang jadi masalah dan kemudian
mengundang kontroversi adalah bahwa Pak Harto, semasa menjadi Presiden RI,
tergoda untuk melebih-lebihkan peran dirinya sembari mengurangi peran saksi
sejarah yang lain dalam Serangan Umum 1 Maret 1949. Soeharto menganggap dirinya
sebagai penggagas awal serangan umum itu. Lewat film Janur Kuning
(1979), Soeharto mencoba memperlihatkan peran dirinya. Film itu punya pesan
utama bahwa dia tokoh sentral sekaligus penggagas awal serangan terhadap
Yogyakarta tersebut, yang waktu itu diduduki Belanda. Film ini menjadi tontonan
wajib bagi pelajar dan kemudian rutin disiarkan oleh TVRI setiap 1 Maret
pada 1980-1997.
Padahal banyak sumber menyebut penggagas awal
dan utama Serangan Umum 1 Maret adalah Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Soeharto
justru mengurangi peran Sultan dan menyangkal fakta bahwa dia pernah bertemu
dengan Sri Sultan pada 14 Februari 1949, saat Sultan membeberkan gagasan
serangan umum kepada Soeharto. Padahal ada saksi mata yang melihat pertemuan
Sultan dengan Pak Harto. Inilah yang jadi sumber kontroversi. Jadi, seandainya
Pak Harto tidak mengklaim sebagai penggagas awal Serangan Umum, tidak pernah
akan ada kontroversi atau polemik.
Dengan demikian, Pak Harto telah memanipulasi
sejarah yang seharusnya ditulis dengan obyektif, jujur, dan mengutamakan
kebenaran. Dengan sengaja memanipulasi, Pak Harto dan sejarawan Istana yang
mendukungnya sesungguhnya telah mengabaikan adanya kearifan sejarah (wisdom
of history) untuk melihat suatu peristiwa sejarah secara proporsional.
Mengapa Pak Harto harus melebih-lebihkan perannya dalam Serangan Umum 1 Maret?
Para penguasa memang selalu berusaha
menguasai tafsir sejarah. Sejarah selalu digunakan oleh para penguasa untuk
melegitimasi kekuasaannya. Bahkan, kalau perlu, ia melakukan manipulasi atau
kebohongan. Sejarah dijadikan alat propaganda untuk melayani kekuasaan dan
melupakan misi sucinya sebagai sebuah ilmu obyektif yang mengungkapkan sebuah
kebenaran.
Tidak mengherankan jika kemudian istilah
sejarah dalam bahasa Inggris diterjemahkan dengan history (cerita-nya),
bukan our story (cerita kita) atau their story (cerita mereka)
dan bahkan her story (cerita-nya/perempuan).
Yang sangat disayangkan, manipulasi sejarah
tidak hanya dilakukan dalam peristiwa Serangan Umum 1 Maret. Hampir semua buku
sejarah yang ditulis dalam era Pak Harto berkuasa (1965-1998) ditulis tidak
dengan benar. Syukurlah, setelah lengsernya Pak Harto, upaya meluruskan
sejarah, khususnya dari saksi sejarah, termasuk para korban HAM di era Pak
Harto, cukup marak.
Kemudian, yang memprihatinkan, dalam level
pemerintahan, masih ada upaya untuk melestarikan kebohongan. Tidak mengikuti
tren untuk meluruskan sejarah seperti dilakukan sebagian korban. Coba simak,
meski sudah 13 tahun Reformasi, pemerintahan saat ini tampak tidak berdaya atas
kasus Munir dan banyak kasus pelanggaran HAM di era Soeharto mulai 1965 hingga
1998. Banyak peristiwa pelanggaran HAM di masa lalu dibiarkan dalam misteri.
Banyak pertanyaan korban atau keluarganya hingga kini tidak terjawab tuntas.
Coba tanyakan kepada Sipon, istri Wiji
Thukul, atau orang tua Bimo Petrus Anugerah. Tanyakan kepada para orang tua
yang anaknya hilang yang tergabung dalam IKOHI, yang belum lama ini berdemo di
depan markas AD (30 Agustus). Tanyakan kepada para eksil yang kini merindukan
negeri ini.
Sayang, pertanyaan-pertanyaan mereka sering
membentur dinding keangkuhan penguasa negeri ini. Presiden SBY dan pemerintah
sekarang memang bukan dalang semua pelanggaran HAM di masa lalu. Tetapi
sebenarnya pemerintahan SBY bisa membuat gebrakan baru dengan menyingkap siapa
dalang sesungguhnya semua peristiwa itu.
Sekaligus, dengan pengungkapan ini,
pemerintah punya komitmen untuk meluruskan sejarah yang banyak dimanipulasi
semasa Orba. Dengan demikian, kita akan bisa menghentikan semua kebohongan
sejarah yang ditulis penguasa atau orang-orang kuat di masa lalu. ●
Jika dan raga dikorbankan oleh perjuang kemerdekaan bangsa ini.
BalasHapusTERIMA kasih sudah membantu tugas sekolah saya
BalasHapus