Teka-Teki
Kekhawatiran SBY
Syamsuddin
Haris,
KEPALA PUSAT PENELITIAN POLITIK
LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI)
SUMBER : SINDO, 20 Maret 2012
Untuk
kesekian kalinya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan keselamatan
dirinya terancam dan menjadi sasaran tembak lantaran hendak menaikkan harga
bahan bakar minyak (BBM).
SBY
bahkan mensinyalir ada gerakan yang hendak menjatuhkan pemerintahannya ditengah
jalan. Realistikkah kekhawatiran Presiden? Tentu saja kekhawatiran itu tidak
realistik, kalau tidak dapat dikatakan sebagai sangat berlebihan. Hampir tidak
ada satu pun gerakan politik signifikan yang bisa dijadikan indikasi
terancamnya keselamatan SBY dan kekuasaan pemerintahannya hingga 2014. Adapun
maraknya gerakan protes di balik rencana pemerintah menaikkan harga BBM tentu
wajar-wajar saja.
Di negara lain pun kenaikan harga bahan bakar hampir selalu memicu protes dan unjuk rasa. Pengalaman negara kita selama ini menunjukkan, aksi protes dan demonstrasi selalu mewarnai kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM. Memang agak aneh, jika tidak ada angin tidak ada hujan, apalagi badai politik, Presiden SBY lagi-lagi mengungkapkan kekhawatiran yang tidak perlu dan tidak ada dasarnya.Tidak satu partai politik pun yang secara terbuka menentang kebijakan pemerintah.
Dewan Perwakilan Rakyat sejak lama bahkan menunggu kepastian rencana pemerintah, apakah menaikkan harga atau memilih alternatif lain. Karena itu, wajar saja apabila kemudian muncul penilaian negatif terhadap pernyataan SBY yang tak lebih dipandang sebagai bagian dari politik pencitraan yang dianggap telah menjadi ciri kepemimpinan jenderal kelahiran Pacitan,Jawa Timur,ini sejak terpilih pada Pemilu 2004.
Simpang Siur Kebijakan
Yang justru menjadi sumber keresahan masyarakat selama ini adalah ketidaktegasan dan ketidakjelasan pilihan kebijakan pemerintah, apakah benar-benar menaikkan harga BBM sebagai pilihan terakhir atau memberlakukan pembatasan pemakaian BBM bersubsidi agar anggaran negara bisa diselamatkan. Tarik-ulur rencana kebijakan pemerintah itu benar-benar membuat masyarakat dan dunia usaha risau karena negeri ini dibiarkan dalam kondisi ketidakpastian terus-menerus.
Seandainya sejak awal pemerintah konsisten dengan apa pun pilihan kebijakan yang diambil dan dieksekusi secepatnya, barangkali persoalannya tidak seberat saat ini. Jika rencana kenaikan BBM adalah pilihan politik yang tak bisa dielakkan,semestinya keputusan atas hal itu tidak ditundatunda seperti sekarang. Jadi, kesimpangsiuran kebijakan pemerintah sebenarnya salah satu faktor pemicu kekecewaan publik sehingga akhirnya mengundang aksi protes, demonstrasi, dan unjuk rasa yang kini makin meluas di berbagai daerah.
Masyarakat kita juga mungkin heran dan bertanya-tanya, mengapa Presiden SBY harus menundanunda eksekusi atas rencana kenaikan harga BBM yang akhirnya mengundang munculnya pihakpihak yang memanfaatkan situasi dan mengail di air keruh. Kalau saja pemerintah tegas sejak awal, para penjahat penimbun BBM barangkali tidak sempat berbuat banyak, begitu pula para spekulan, dan mereka yang “pintar” memanfaatkan kelemahan dan ketidaktegasan pemerintah.
Kalaupun aksi protes dan unjuk rasa semakin meluas untuk menolak kenaikan harga BBM,hal itu harus dilihat sebagai produk dari kegagalan pemerintah dalam mendesain kebijakan energi nasional yang berpihak pada kepentingan publik.
Risiko Jadi Pemimpin
Kembali ke soal ancaman yang konon diterima Presiden SBY dan keluarganya, tentu tak elok jika hampir setiap waktu disampaikan secara terbuka kepada publik. Mengapa? Pertama, selaku kepala negara dan kepala pemerintahan, SBY memiliki jajaran intelijen negara (BIN), intelijen militer (TNI), dan intelijen kepolisian (Polri), yang tugasnya memang memantau setiap potensi ancaman terhadap Presiden dan keluarganya. Selain itu, ada jajaran Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) yang setiap saat mengawal Presiden dan keluarganya. Informasi tentang potensi ancaman semestinya disampaikan tertutup kepada instansi-instansi tersebut.
Kedua, ancaman dalam bentuk apa pun harus dipandang sebagai risiko politik bagi setiap pemimpin, apalagi pemimpin tertinggi seperti jabatan presiden. Artinya, siapa pun yang hendak menjadi presiden harus selalu siap menghadapi risiko semacam itu, kapan dan di manapun . Karena itu,kekhawatiran Presiden SBY jelas berlebihan karena semua pemimpin negara di muka bumi menghadapi berbagai ancaman serupa tanpa harus “curhat”secara publik.
Ketiga, secara objektif tak ada satu pun kekuatan politik signifikan yang berniat menggoyang, apalagi menjatuhkan, Presiden SBY di tengah jalan. Kalaupun ada, hampir pasti kekuatan politik dimaksud akan gagal, bukan hanya karena gerakan demikian bertentangan dengan konstitusi, melainkan juga karena tidak mendapat dukungan politik di DPR. Sebagian besar kekuatan politik di Senayan bahkan tergabung dalam Sekretariat Gabungan Parpol Koalisi Pendukung Pemerintah yang selama ini berkomitmen menyelamatkan pemerintahan SBY hingga Pemilu 2012.
Teka-teki
Lalu apa sesungguhnya sumber kekhawatiran Presiden SBY? Barangkali itulah teka-teki politik yang tak akan pernah terjawab hingga 2014. Soalnya sederhana saja, “curhat” secara publik tampaknya telah menjadi ciri sekaligus watak kepemimpinan Presiden SBY. Dalam kaitan ini, tidak menjadi penting apakah potensi ancaman itu cukup serius dan signifikan atau tidak.
Karena itu, yang ditunggu masyarakat dari pertemuan jajaran Partai Demokrat di Puri Cikeas, Bogor, bukanlah “curhat” yang telah berulangkali dikemukakan Presiden SBY, melainkan apa saja rincian langkah antisipatif pemerintah akibat kenaikan BBM, gejolak harga yang tidak terkendali, penurunan daya beli masyarakat, dan peningkatan jumlah penduduk miskin. Bangsa ini membutuhkan keyakinan dan optimisme akan hari esok yang lebih baik dari presidennya. ●
Di negara lain pun kenaikan harga bahan bakar hampir selalu memicu protes dan unjuk rasa. Pengalaman negara kita selama ini menunjukkan, aksi protes dan demonstrasi selalu mewarnai kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM. Memang agak aneh, jika tidak ada angin tidak ada hujan, apalagi badai politik, Presiden SBY lagi-lagi mengungkapkan kekhawatiran yang tidak perlu dan tidak ada dasarnya.Tidak satu partai politik pun yang secara terbuka menentang kebijakan pemerintah.
Dewan Perwakilan Rakyat sejak lama bahkan menunggu kepastian rencana pemerintah, apakah menaikkan harga atau memilih alternatif lain. Karena itu, wajar saja apabila kemudian muncul penilaian negatif terhadap pernyataan SBY yang tak lebih dipandang sebagai bagian dari politik pencitraan yang dianggap telah menjadi ciri kepemimpinan jenderal kelahiran Pacitan,Jawa Timur,ini sejak terpilih pada Pemilu 2004.
Simpang Siur Kebijakan
Yang justru menjadi sumber keresahan masyarakat selama ini adalah ketidaktegasan dan ketidakjelasan pilihan kebijakan pemerintah, apakah benar-benar menaikkan harga BBM sebagai pilihan terakhir atau memberlakukan pembatasan pemakaian BBM bersubsidi agar anggaran negara bisa diselamatkan. Tarik-ulur rencana kebijakan pemerintah itu benar-benar membuat masyarakat dan dunia usaha risau karena negeri ini dibiarkan dalam kondisi ketidakpastian terus-menerus.
Seandainya sejak awal pemerintah konsisten dengan apa pun pilihan kebijakan yang diambil dan dieksekusi secepatnya, barangkali persoalannya tidak seberat saat ini. Jika rencana kenaikan BBM adalah pilihan politik yang tak bisa dielakkan,semestinya keputusan atas hal itu tidak ditundatunda seperti sekarang. Jadi, kesimpangsiuran kebijakan pemerintah sebenarnya salah satu faktor pemicu kekecewaan publik sehingga akhirnya mengundang aksi protes, demonstrasi, dan unjuk rasa yang kini makin meluas di berbagai daerah.
Masyarakat kita juga mungkin heran dan bertanya-tanya, mengapa Presiden SBY harus menundanunda eksekusi atas rencana kenaikan harga BBM yang akhirnya mengundang munculnya pihakpihak yang memanfaatkan situasi dan mengail di air keruh. Kalau saja pemerintah tegas sejak awal, para penjahat penimbun BBM barangkali tidak sempat berbuat banyak, begitu pula para spekulan, dan mereka yang “pintar” memanfaatkan kelemahan dan ketidaktegasan pemerintah.
Kalaupun aksi protes dan unjuk rasa semakin meluas untuk menolak kenaikan harga BBM,hal itu harus dilihat sebagai produk dari kegagalan pemerintah dalam mendesain kebijakan energi nasional yang berpihak pada kepentingan publik.
Risiko Jadi Pemimpin
Kembali ke soal ancaman yang konon diterima Presiden SBY dan keluarganya, tentu tak elok jika hampir setiap waktu disampaikan secara terbuka kepada publik. Mengapa? Pertama, selaku kepala negara dan kepala pemerintahan, SBY memiliki jajaran intelijen negara (BIN), intelijen militer (TNI), dan intelijen kepolisian (Polri), yang tugasnya memang memantau setiap potensi ancaman terhadap Presiden dan keluarganya. Selain itu, ada jajaran Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) yang setiap saat mengawal Presiden dan keluarganya. Informasi tentang potensi ancaman semestinya disampaikan tertutup kepada instansi-instansi tersebut.
Kedua, ancaman dalam bentuk apa pun harus dipandang sebagai risiko politik bagi setiap pemimpin, apalagi pemimpin tertinggi seperti jabatan presiden. Artinya, siapa pun yang hendak menjadi presiden harus selalu siap menghadapi risiko semacam itu, kapan dan di manapun . Karena itu,kekhawatiran Presiden SBY jelas berlebihan karena semua pemimpin negara di muka bumi menghadapi berbagai ancaman serupa tanpa harus “curhat”secara publik.
Ketiga, secara objektif tak ada satu pun kekuatan politik signifikan yang berniat menggoyang, apalagi menjatuhkan, Presiden SBY di tengah jalan. Kalaupun ada, hampir pasti kekuatan politik dimaksud akan gagal, bukan hanya karena gerakan demikian bertentangan dengan konstitusi, melainkan juga karena tidak mendapat dukungan politik di DPR. Sebagian besar kekuatan politik di Senayan bahkan tergabung dalam Sekretariat Gabungan Parpol Koalisi Pendukung Pemerintah yang selama ini berkomitmen menyelamatkan pemerintahan SBY hingga Pemilu 2012.
Teka-teki
Lalu apa sesungguhnya sumber kekhawatiran Presiden SBY? Barangkali itulah teka-teki politik yang tak akan pernah terjawab hingga 2014. Soalnya sederhana saja, “curhat” secara publik tampaknya telah menjadi ciri sekaligus watak kepemimpinan Presiden SBY. Dalam kaitan ini, tidak menjadi penting apakah potensi ancaman itu cukup serius dan signifikan atau tidak.
Karena itu, yang ditunggu masyarakat dari pertemuan jajaran Partai Demokrat di Puri Cikeas, Bogor, bukanlah “curhat” yang telah berulangkali dikemukakan Presiden SBY, melainkan apa saja rincian langkah antisipatif pemerintah akibat kenaikan BBM, gejolak harga yang tidak terkendali, penurunan daya beli masyarakat, dan peningkatan jumlah penduduk miskin. Bangsa ini membutuhkan keyakinan dan optimisme akan hari esok yang lebih baik dari presidennya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar