Sihir-sihir
Koruptor
Yasraf Amir Piliang, DOSEN PADA PROGRAM MAGISTER STUDI PEMBANGUNAN
INSTITUT
TEKNOLOGI BANDUNG
SUMBER : KOMPAS, 15 Maret 2012
Tak satu pun di antara kita hari ini yang
terbebas dari ”sindrom koruptor”! Para koruptor menguras energi, menguasai
persepsi, dan menyihir kesadaran kita.
Kita menulis di media, berdialog di televisi,
bergunjing di warung, berkomentar di Facebook, membuat olok-olok di kartun atau
kaus, semua tentang koruptor. Korupsi dan koruptor seperti ”sihir” yang menebar
pesona dan fetisisme.
”Sihir koruptor” bukan tentang koruptor
sebagai individu, melainkan totalitas tanda dan gejala simbolis tentang mereka
yang ”menyihir” kita di negeri korup ini. Para koruptor menjadi ”kekuatan
simbol” dan ”penanda utama” dari ”pabrik makna” media karena nilai tontonan
yang tinggi. Koruptor menjadi ”bintang” dan ”selebritas” dalam wacana
kejahatan. Ia memiliki signifikasi ganda: penanda ”kejahatan” sekaligus penanda
”lembaga” mereka (partai, departemen) yang ”kontroversial”.
Tersangka koruptor, seperti Gayus atau Dhana,
menjadi kekuatan ”sihir” karena mereka ”anak zaman” generasi korup, demi glamor
gaya hidup. Dalam pengaruh ”sihir koruptor”, ”virus korupsi” menular, menyebar,
berkembang biak, dan beranak pinak lintas generasi. Gayus sudah menjadi
”aliran”, bahkan ”trendsetter”. Ia mampu menciptakan ”tren” sehingga muncul
”Gayus jilid II”, mungkin juga ”Gayus jilid III”. Gayus tak lagi individu. Ia
adalah simbol Zeitgeist.
Penanda Besar
Telah berjuta ucapan, tulisan, dan tayangan mengisahkan
koruptor. Dalam kisah itu, tersangka korupsi, seperti Gayus atau Nazaruddin,
menjadi penanda utama, acuan, model, dan paradigma dalam wacana korupsi. Ia
menjadi ukuran, barometer, atau parameter dalam menilai tindak korupsi. Gayus
atau Nazaruddin adalah ”Penanda Besar” (Master
Signifier), yaitu ”otoritas atau sumber makna tertinggi” pada tataran
simbolis (Zizek, Violence, 2003).
Dengan demikian, wacana korupsi Dhana Widyatmika—tersangka lain kasus
penggelapan pajak—disebut ”Gayus jilid II”. Inilah ”sihir koruptor”.
”Sihir koruptor” memproduksi ”wacana” (discourse), yaitu ucapan, tulisan,
rekaman, diskusi, perdebatan, talk show, dan tontonan tentang mereka. Koruptor
jadi ”wacana akademis”: analisis, kritik, dan sintesis; ”wacana politik”:
cacian, sumpah serapah, cercaan, makian; ”wacana estetis”: olok-olok, kelucuan,
parodi. Bentuk wajah, gesture, gaya
pakaian, gaya rambut, aksesori, dan bahasa tubuh figur seperti Gayus kini jadi
domain publik, menjadi trendsetter tentang ”citra koruptor”.
”Sihir koruptor” membangun pula ”narasi”,
yaitu kisah tentang diri, kasus, nasib para koruptor yang kita nantikan dari
pagi, siang, hingga malam hari. Kita menjadi ”penikmat” kisah koruptor. Narasi
tentang koruptor seakan-akan tak habis-habisnya dikisahkan dan kita setia
menantinya. Selalu lahir ”tokoh-tokoh” baru: Gayus, Dhana, Nazaruddin, Malinda,
Nunun, dan seterusnya. Karena itu, narasi koruptor adalah ”Narasi Besar” (Grand Narrative) karena ia ”Penanda
Besar” kejahatan.
”Sihir koruptor” adalah himpunan ”kekuatan
simbol” (symbolic power), yaitu
kekuatan ”memanipulasi” realitas melalui representasi media, yang membuat orang
percaya, mengakui, dan menerimanya sebagai ”kebenaran”. Koruptor memiliki
”nilai tukar” (currency) dalam sistem
pertukaran simbol yang dikejar-kejar media dan ditunggu-tunggu publik
(Bourdieu, Language and Symbolic Power,
1991). Figur seperti Gayus menjadi simbol ”rekening gendut”, ”penggelapan
pajak”, dan ”pegawai negeri korup”.
”Sihir koruptor” juga melibatkan ”kecerdasan
semiotik” (semiotic intelligence),
yaitu kecerdasan memanipulasi dan mengonstruksi citra dan makna untuk
mendistorsi informasi dan realitas. Sebagai kekuatan ”sihir”, kekuatan semiotik
macam ini juga diperlihatkan oleh para simulacreur korupsi: Nazaruddin,
Malinda, Nunun, Angelina, mungkin juga Anas. Kecerdasan semiotik menjadi
senjata ampuh para koruptor untuk ”menyihir” dan ”memanipulasi” kesadaran kita.
Beberapa koruptor memiliki ”karisma” layaknya
Soekarno, Nasser, atau Khomeini yang dapat ”menyihir” kesadaran publik meskipun
dengan cara berbeda. Karisma dapat dikonversikan menjadi ”kekuatan” yang dapat
membuat orang tunduk pada kemauannya. Karisma figur seperti Gayus tidak
terletak pada kekuatan retorika, aura wajah, atau daya mistis, tetapi pada
kekuatan ”tanda”, kekuatan memanipulasi tanda untuk memerdaya pikiran dan
kesadaran publik—the semiotic power.
Sihir Simulasi
Telah berjuta cerita dikisahkan tentang
kecerdasan para koruptor yang lihai membuat kamuflase untuk mereduksi fakta,
mendistorsi informasi, dan memalsukan realitas: berpura-pura sakit; berobat ke
luar negeri; berkilah tak pernah menerima uang; seakan-akan lupa; seakan-akan
tak mengenal suara; memakai rambut palsu, paspor palsu; mengaku tak punya Blackberry. Beginilah cara koruptor
”menyihir” kesadaran kita—the precision
of simulacra.
Para koruptor memiliki ”kecerdasan jahat” (evil intelligence), yaitu kecerdasan
merangkai tanda, mengukir citra, membuat alibi, menciptakan kamuflase,
merekayasa simulasi, sebagai cara menyihir publik dan mengubur kejahatan. Mereka
hendak mengaburkan batas-batas kebaikan/kejahatan, moral/amoral,
keadilan/ketakadilan. Mereka pandai menciptakan ”hiper-realitas kejahatan”,
yaitu citra kejahatan yang ”melampaui” realitas kejahatan sesungguhnya
(Baudrillard, The Intelligence of Evil,
2005).
Akan tetapi, kini rahasia ”kecerdasan jahat”
para koruptor mulai terbuka. Kejahatan mereka mulai terbaca, kesaktian mereka
mulai pudar, sihir-sihir mereka mulai sirna. Tersangka seperti Gayus tengah
diadili dan mungkin akan dihukum berat, bahkan ”dimiskinkan”. Gayus boleh
dipenjara atau disengsarakan, tetapi ”sihir simbolis” yang dibawanya akan tetap
hidup karena ia adalah ”Penanda Besar”. Gayus adalah simbol ”rekening gendut”
sekaligus simbol ”orang pajak” yang sudah terpatri di kesadaran publik.
Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak)
ingin membuat ”penjarakan” dengan Gayus melalui strategi pencitraan berbasis
”oposisi biner” (binary opposition).
Di satu sisi, Gayus dicitrakan sebagai orang pajak ”menyimpang”, ”oknum”,
”ekses”; di sisi lain, Ditjen Pajak dicitrakan sebagai lembaga ”bersih”,
”jujur”, ”transparan”, dan ”tepercaya”. Maka, lembaga ini sangat percaya diri
menggunakan slogan ”Apa Kata Dunia?” untuk mengingatkan para penunggak pajak.
Ini strategi pencitraan kontraproduktif
karena citra ”Ditjen Pajak” sudah sangat identik dengan citra ”Gayus”: ”Gayus
adalah Ditjen Pajak”. Disimpulkan, Ditjen Pajak adalah sarang para ”koruptor
pajak”. Konotasi publik ini tak bisa disangkal. Karena itu, slogan ”Apa Kata
Dunia” di mata publik sudah menjadi penanda hampa yang menjadi sasaran
olok-olok: ”Hari Gini Gak Bayar Pajak, Apa Kata Gayus?”
Ditjen Pajak—dan lembaga-lembaga
lain—dihadapkan pada tugas berat ”pencitraan tandingan” untuk menghapus ”citra
Gayus” atau citra ”rekening gendut” yang melekat pada lembaga itu. Meskipun
tugas memerangi korupsi bukan sekadar persoalan citra, pencitraan tandingan itu
kini jadi keniscayaan. Sebab, yang dihadapi tak lagi Gayus sebagai individu,
tetapi sebagai kekuatan ”sihir”. Lembaga perpajakan menjadi bagian ”sindrom korupsi
pajak” yang mengancam citra dan eksistensinya di masa depan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar