Kamis, 15 Maret 2012

Sengkarut Pengetatan Remisi


Sengkarut Pengetatan Remisi
Donal Fariz, PENELITI HUKUM INDONESIA CORRUPTION WATCH
DIVISI HUKUM DAN MONITORING PERADILAN
SUMBER : KOMPAS, 15 Maret 2012



Koalisi tujuh terpidana korupsi memenangi gugatan pencabutan Surat Keputusan Pembebasan Bersyarat yang dikeluarkan Menteri Hukum dan HAM. Patah arangkah pemerintah untuk merealisasikan pengetatan remisi dan pembebasan bersyarat pasca-putusan ini?

Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta mengabulkan gugatan terpidana korupsi yang gagal menghirup udara bebas pasca-adanya kebijakan pengetatan yang dikeluarkan oleh Menteri Hukum dan HAM (Menkumham). Ihwal permasalahan ini bermula dari tujuh terpidana yang pada 30 Oktober 2011 telah mengantongi Surat Keputusan Pembebasan Bersyarat, tetapi kemudian Menkumham mencabutnya.

Pencabutan didasari motivasi untuk memperketat pemberian sarana yang meringankan bagi perampok uang rakyat, sebut saja remisi dan termasuk di dalam nya pembebasan bersyarat. Hengky Baramuli cs yang merasa dirugikan atas putusan ini mengajukan gugatan dengan menunjuk salah satu tersangka kasus Sisminbakum, Yusril Ihza Mahenda, sebagai kuasa hukumnya.

Setidaknya ada empat hal yang dipermasalahkan, yaitu pelanggaran prosedur, kewenangan, asas legalitas dan retroaktif, hingga asas-asas umum pemerintahan yang baik dalam SK tersebut.

Alhasil, majelis hakim akhirnya mengabulkan seluruh gugatan para penggugat, 6 Maret, sekaligus memerintahkan Menkumham mencabut obyek sengketa. Putusan ini tentu tamparan bagi pemerintah. Meski sebagian publik paham dari segi gagasan pemerintah sudah benar, cara melaksanakannya dinilai ”terpeleset”.

Bukan Halangan

Pertanyaan besar bagi publik, apakah putusan PTUN ini berarti jalan buntu bagi upaya pengetatan remisi? Jawabannya tentu tidak. Ada dua alasan untuk menjelaskan ini. Pertama, obyek gugatan merupakan penetapan tertulis pejabat tata usaha negara (beschikking) yang bersifat final, individual, dan konkret yang menimbulkan akibat hukum bagi penggugat, yakni ketujuh terpidana kasus korupsi. Konsekuensi yuridisnya, yang akan menikmati putusan ini hanya mereka bertujuh dan tak berimplikasi ke narapidana korupsi lain.

Kedua, majelis hakim mengesampingkan alat bukti surat ataupun ahli yang diajukan para pihak yang menyangkut penilaian mengenai keabsahan kebijakan pengetatan pemberian remisi dan pembebasan bersyarat. Hal ini bisa dilihat di halaman 102-103. Alasan putusan ini, kebijakan pengetatan remisi dan pembebasan bersyarat bukan kompetensi absolut PTUN untuk menilainya. Ini bermakna, putusan PTUN itu tak menganulir kebijakan pemerintah untuk merealisasikan pengetatan remisi dan pembebasan bersyarat.

Di balik itu semua, kekalahan pemerintah dalam sengketa di PTUN yang lalu bisa dimaknai sebagai uji konsistensi untuk merealisasikan pengetatan. Sebab, dipastikan gelombang hadangan dari kelompok-kelompok yang tidak menyetujui pencabutan fasilitas kemewahan bagi koruptor akan silih berganti muncul.

Salah satu hadangan terbesar dipastikan akan muncul dari Senayan. Upaya interpelasi pro-koruptor yang sedang digulirkan jelas akan jadi cobaan berat. Sebab, pemerintah akan berhadapan dengan semangat menyala-nyala para politisi yang sedang memperjuangkan nasib rekannya yang tengah dibui.

Tugas Presiden

Ihwal pengetatan pemberian remisi dan pembebasan bersyarat tidak hanya menjadi perhatian publik dalam negeri.

Dalam konteks internasional, Assessment United Kingdom dan Uzbekistan yang melakukan tinjauan terhadap penerapan Konvensi PBB Melawan Korupsi (United Nations Convention Against Corruption) di Indonesia memberikan catatan khusus atas pemberian remisi dan pembebasan bersyarat. Langkah itu dinilai menunjukkan ketidakkonsistenan negara dalam memberikan hukuman (penalti) atas kejahatan korupsi yang dilakukan oleh warga negaranya.

Suara dunia internasional tersebut sudah seharusnya menjadi catatan khusus bagi Presiden Yudhoyono. Apalagi presiden tentu paham, praktik obral remisi yang dilakukan pada masa lalu menjadi salah satu variabel penyebab stagnannya pemberantasan korupsi.

Bisa dibayangkan problematika penegakan hukum di level hulu yang penuh masalah, seperti praktik mafia hukum dan peradilan, suap di peradilan, serta maraknya vonis bebas terhadap terdakwa kasus korupsi. Kalaupun sisanya dijatuhi hukuman, angkanya sangat kompromis, hanya beberapa tahun.

Jika remisi dan pembebasan bersyarat masih dilestarikan, semakin sempurnalah kemacetan pemberantasan korupsi mulai dari hulu sampai hilir.

Persoalan ini tentu bukan tanpa solusi. Pemerintah memiliki kewenangan untuk melakukan revisi terhadap regulasi yang ada saat ini, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Hal tersebut tidak membutuhkan energi besar karena seluruh kewenangan berada di tangan Presiden. Lawan Presiden hanya satu, yakni sikap bimbang yang acapkali muncul saat kebijakan dihadang oleh lawan politik.

Revisi PP tersebut harus sesegera mungkin direalisasikan agar pembatasan tersebut memiliki payung hukum yang kuat sehingga tidak akan mudah dipatahkan oleh kelompok tertentu. Payung hukum tersebut tentunya juga akan menjadi alat kontrol pemerintah agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan dalam melaksanakan fungsinya.

Di tengah koyaknya kepercayaan publik terhadap pemberantasan korupsi era Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden masih memiliki secercah harapan untuk menjahit luka masyarakat. Luka yang timbul karena terlalu sering dibuai janji tanpa realisasi.

Pengetatan ini bukan soal pencitraan belaka, melainkan harus ditempatkan sebagai bagian utuh untuk memperkuat agenda pemberantasan korupsi. Presiden jangan sembunyi, tetapi harus tampil memainkan perannya untuk mengatasi sengkarut pengetatan remisi dan pembebasan bersyarat di negeri ini. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar