Kamis, 22 Maret 2012

Salah Kelola Sektor Energi


Salah Kelola Sektor Energi
M Kholid Syeirazi, SEKRETARIS JENDERAL PP IKATAN SARJANA NAHDLATUL ULAMA
SUMBER : KOMPAS, 22 Maret 2012



Rencana pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak makin bulat dengan dipercepatnya pengajuan RAPBN-P 2012 ke DPR. Harga BBM diusulkan naik sekitar 30 persen.

Pemerintah punya alasan kuat memilih opsi kenaikan, antara lain karena Indonesia adalah net oil importer; setiap kenaikan harga minyak dunia berdampak pada lonjakan subsidi yang berujung pada defisit APBN; subsidi energi cenderung tak tepat sasaran; subsidi energi menyempitkan ruang fiskal APBN untuk mendanai pembangunan sektor produktif; subsidi mendorong perilaku boros energi; dan subsidi menghambat program diversifikasi energi akibat murahnya harga jual energi fosil yang tak terbarui.

Salah Kelola

Alasan-alasan ini cukup meyakinkan secara ekonomi, tetapi tidak secara politis. Publik menilai rencana kenaikan harga BBM adalah akibat salah kelola di sektor energi.

Salah kelola itu bisa dilihat dari beberapa fakta. Pertama, negeri ini telah merdeka 66 tahun, tetapi 88,8 persen pertambangan migas dikuasai asing. Pertamina, BUMN yang seharusnya jadi alat negara untuk mengontrol cadangan dan produksi migas nasional, hanya menguasai 8,8 persen dari 275 wilayah kerja pertambangan migas. Pemberlakuan UU No 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi mengukuhkan Indonesia sebagai satu-satunya negara di dunia yang paling ”zalim” terhadap BUMN migas-nya.

Pertamina diposisikan sebagai operator biasa, tidak ada bedanya dengan kontraktor asing. Untuk mengelola blok-blok yang sudah habis kontrak, seperti Blok Mahakam yang akan habis kontrak tahun 2017, BUMN yang 100 persen sahamnya dikuasai pemerintah ini harus ”merengek-rengek” kepada pemerintah.

Kedua, sektor perminyakan makin runyam dengan hadirnya BP Migas sebagai pelaksana kuasa pertambangan pemerintah. BP Migas tak bisa jadi alat negara untuk mengontrol cadangan dan produksi migas karena dia bukan operator (badan usaha) yang terlibat langsung dalam kegiatan eksplorasi dan produksi migas. Ia tak punya sumur, kilang, tanker, truk pengangkut, dan SPBU, serta tidak bisa menjual minyak bagian negara sehingga tak bisa menjamin keamanan pasokan BBM/BBG dalam negeri.

Akibatnya, definisi ”menguasai” sebagaimana dimaksud oleh Pasal 33 UUD 1945 yang mencakup fungsi mengatur, mengurus, mengelola, dan mengawasi jadi nisbi dengan keberadaan BP Migas. Sejak pemberlakuan UU Migas dan terbentuknya BP Migas, pemerintah hampir tiap tahun melanggar UU karena lifting minyak sebagaimana ditetapkan UU APBN tak pernah mencapai target. Anjloknya lifting berarti lonjakan impor dan subsidi.

Ketiga, Indonesia kaya sumber-sumber energi, tetapi negeri ini terbenam dalam ketergantungan kepada energi fosil, khususnya minyak bumi. Sekitar 55 persen kebutuhan energi nasional dipasok dari minyak bumi yang membuat APBN sangat rapuh, baik ketika harga minyak dunia naik maupun turun.

Pemanfaatan sumber energi selain minyak belum optimal. Pemerintah kurang mendukung upaya peningkatan ketahanan energi karena justru diekspor, seperti gas (53,11 persen) dan batubara (67,54 persen). Pemanfaatan energi alternatif lain, seperti panas bumi, mikrohidro, biomassa, tenaga surya, dan tenaga angin sangat minim, hanya sekitar 5,7 persen. Dalam sepuluh tahun terakhir, program diversifikasi energi jalan di tempat.

Dilihat dari neraca produksi nasional, total produksi energi final RI sebenarnya surplus. Indonesia memproduksi sekitar 6 juta barrel setara minyak (BSM) per hari, terdiri dari 3 juta BSM batubara, 1,5 juta-2 juta BSM gas, dan hampir 1 juta barrel minyak. Sementara kebutuhan hanya sekitar 2,5 juta BSM per hari. Kenyataan bahwa negeri ini rentan terhadap krisis energi menandakan bahwa ada mis-alokasi dalam kebijakan supply-demand.

Dituntut Transparan

Keempat, publik menilai sektor energi rawan korupsi dan penyimpangan. Data dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan menunjukkan, selama 2000- 2008 potensi kerugian negara akibat pembebanan cost recovery sektor migas yang tak tepat mencapai Rp 345,996 triliun. Dalam 8 tahun, rata-rata potensi kerugian negara mencapai Rp 38,4 triliun per tahun atau Rp 1,7 miliar tiap hari. Pada pemeriksaan semester II-2010, BPK kembali menemukan 17 kasus ketidaktepatan pembebanan cost recovery yang berpotensi merugikan negara 66,47 juta dollar AS.

Publik menuntut transparansi, akuntabilitas, efisiensi, dan optimalisasi penerimaan negara dari sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak. Sebelum menaikkan harga BBM, pemerintah harus lebih dahulu meyakinkan rakyat bahwa tata kelola perminyakan telah bersih dari praktik penyimpangan, efisien, dan bebas dari tangan para mafia. Tanpa langkah-langkah pembenahan di sektor migas, pemerintah kehilangan basis moral untuk menaikkan harga BBM. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar