Menggugat
Hak atas Air
Khalisah Khalid, ANGGOTA DEWAN
NASIONAL WAHANA LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
SUMBER : KOMPAS, 22 Maret 2012
Organisasi Pangan dan Pertanian pada
peringatan Hari Air Sedunia tahun ini mengangkat tema air dan ketahanan pangan.
Tema ini ingin menunjukkan, ada relasi yang saling terhubung antara kebutuhan
air dan pangan bagi kehidupan manusia.
Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air mencatat,
Indonesia merupakan negara terkaya keempat di dunia dilihat dari total sumber
daya air yang terbarui setelah Brasil, Rusia, dan Kanada. Indonesia juga negara
agraris dengan jumlah petani pangan yang persentasenya cukup besar. Idealnya,
rakyat Indonesia dan petani tidak perlu khawatir karena ketersediaan air yang
begitu melimpah ruah.
Faktanya, situasi kelangkaan air jadi
kenyataan yang harus dihadapi Indonesia, khususnya kaum tani yang mengandalkan
produksi pertanian dari air. FAO juga menyebutkan, sektor pertanian butuh 70
persen air. Artinya petani tak mungkin bisa berproduksi tanpa air.
Kapitalisme yang rakus
Berbagai kepentingan masuk dan memperebutkan
sumber daya air yang tersedia di bumi Indonesia ini. Petani yang hidupnya sudah
sulit harus berhadapan dengan berbagai kekuasaan, baik kekuasaan ekonomi maupun
politik, yang masuk dan menguasai sumber-sumber air di Indonesia, terutama
industri ekstraktif yang kini menjadi andalan sektor ekonomi pemerintah,
seperti industri tambang dan perkebunan sawit yang rakus air.
Rakus air tidak hanya dilihat dari industri
ini butuh air sangat banyak untuk melanggengkan produksinya, tetapi juga
menghabiskan sumber air masyarakat di kampung-kampung. Bahkan, dengan
pencemaran dari hasil produksinya, sumber air dirusak dari hulu hingga hilir.
Negara tidak pernah hadir dalam krisis tersebut, dan rakyat dibiarkan bertarung
dengan hegemoni sistem kapitalisme yang rakus.
Kondisi ini tak lepas dari sistem
ekonomi-politik yang menempatkan air sebagai komoditas ekonomis, bukan sebagai
hak asasi. Ini bisa dilihat dari UU Sumber Daya Air yang membuka keran air
untuk kepentingan komersialisasi dan privatisasi air serta menyerahkan
penguasaannya kepada ”pasar” yang siap untuk diperjualbelikan.
UU No 7/2004 tentang Sumber Daya Air ini
merupakan jalan penguasaan asing terhadap sumber daya air di Indonesia, bahkan
melalui skema utang luar negeri. Kita tahu, agenda komersialisasi dan
privatisasi air ini didorong oleh lembaga keuangan dan perdagangan
internasional lewat desakan agar Pemerintah Indonesia membuka sebesar-besarnya
”keran” air bagi investasi masuk ke sektor pelayanan publik.
Tidak berhenti sampai di situ. Menggunakan
dalil bahwa sektor pertanian dinilai sebagai sektor yang paling ”boros” air,
lembaga internasional kembali mempromosikan solusi palsu atas situasi tersebut
melalui perdagangan virtual air bagi negara-negara yang mengalami kelangkaan
air seperti Indonesia. Jadi, mengimpor air melalui impor pangan mengasumsikan
bahwa negara yang mengalami krisis air dapat ”menghemat” penggunaan airnya.
Tampaknya Indonesia memilih jalan itu. Menurut AY Hoekstra dan Hung (2002), Indonesia
merupakan satu dari 10 besar negara importir air ”virtual” melalui impor
pangan.
Jalan Konstitusi
Sejatinya, penguasaan negara terhadap sumber
daya air mewajibkan negara dapat memastikan bahwa rakyat harus mendapatkan
akses atas sumber daya airnya. Sayangnya, sampai saat ini pemerintah hanya
mampu menyediakan 15 persen air bersih bagi rakyatnya, 85 persen selebihnya
rakyat harus berusaha sendiri untuk mendapatkannya.
Amanah konstitusi secara jelas dan tegas
menempatkan air sebagai hak rakyat dan kewajiban bagi pengelola negara untuk
memenuhinya. Karena berbasiskan pada hak rakyat, seharusnya air tak dapat
dikomersialkan. Pengelola negara wajib berperan untuk memastikan sumber daya
air bersih dapat diakses oleh rakyat.
Hak menguasai negara—dalam hal ini sebagaimana
yang termaktub dalam konstitusi Pasal 33—seharusnya ada di bawah kontrol
rakyat. Salah satunya dengan membangun kelembagaan berbasis warga, seperti
petani dan masyarakat sungai, untuk memastikan rakyat sebagai pengambil
keputusan atas pengelolaan sumber daya airnya. Selama ini, hak menguasai negara
dipelintir oleh pemerintah dengan mendelegasikan peran-perannya kepada
korporasi.
Negara juga harus mengambil peran penting
untuk memastikan jaminan perlindungan dan memastikan lingkungan hidup yang rusak
dapat dipulihkan. Dengan begitu sumber-sumber air dapat kembali dikuasai dan
dikonsumsi oleh rakyat.
Atas dasar itu, warga negara dapat kembali
menggugat hak atas air sebagai kewajiban konstitusi yang harus dijalankan oleh
pengelola negara. Sebab, air tidak hanya untuk hidup, tetapi kehidupan itu
sendiri. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar