Bantuan
Langsung Tunai
Mochtar Naim, SOSIOLOG
SUMBER : KOMPAS, 22 Maret 2012
Bantuan langsung tunai adalah rekayasa dari
pemerintahan SBY untuk menanggulangi dampak negatif dari kenaikan harga BBM
yang dimulai 1 April 2012 ini.
Dengan meningkatnya harga barang-barang di
pasaran, BLT adalah ”sagu hati” dari pemerintah kepada rakyatnya yang miskin
yang sifatnya ”sedekah konsumtif” dengan jumlah yang terbatas dan dalam jangka
waktu yang juga terbatas.
Sesudah itu, lalu apa? Sementara kemiskinan
jalan terus dan tekanan ekonomi terhadap ”rakyat berderai” bukan makin
menyusut. Sejauh ini belum terlihat ada konsep yang sistematik, sekaligus
sistemik, struktural menyeluruh, bagaimana menanggulangi kemiskinan yang
mencengkam bagian terbesar rakyat yang sudah dari zaman kolonial dulu
dirasakan.
Sistem Dualistis
Gambaran ekonomi yang kita hadapi adalah
kendati persentase pembangunan ekonomi secara makro terus meningkat dan
pendapatan per kepala juga naik terus, porsi yang didapatkan sebagian besar
rakyat makin mengecil.
Sebagai akibat sistem ekonomi nasional yang
dikembangkan sejak Orde Baru yang liberal, kapitalistis, dan pasar bebas, yang
menguasai dan mendapatkan keuntungan terbanyak para penguasa ekonomi yang
jumlahnya sangat kecil (sekitar 5 persen). Gawatnya, sebagian besar kapitalis
nonpribumi dan multinasional unsur luar menguasai sumber daya alam dan jentera
ekonomi di darat, laut, dan udara, mulai dari hulu sampai ke muara.
Lebih gawat lagi, semua ini dimungkinkan
karena dukungan birokrat penguasa politik kenegaraan, baik eksekutif,
legislatif, maupun yudikatif, bahkan militer serta polisi, baik di pusat maupun
daerah, yang hinggap bagai benalu dari sistem yang diciptakan itu.
Praktis setelah 66 tahun merdeka, rakyat
belum merasakan nikmat kemerdekaan. Kemiskinan adalah akibat sistem ekonomi
dualistis, yaitu yang sedikit (konglomerat dan kapitalis multinasional)
menguasai sebagian besar dan yang banyak (rakyat pribumi) dirundung kemiskinan
dan menguasai sebagian kecil.
Di awal Orde Baru ada sejumlah tokoh nasional
berhaluan sosialis—sebutlah Hatta, Sudjatmoko, Mochtar Lubis, Sultan Hamengku
Buwono IX, Tahi Bonar Simatupang—yang mengusulkan agar peluang sama diberikan
kepada semua lapisan masyarakat. Tugas pemerintah membantu dan membimbing
rakyat jelata di akar rumput masuk ke dalam sistem dan menggenjot pertumbuhan
ekonomi sehingga kemiskinan lenyap dari bumi Indonesia dalam waktu yang dapat
diperhitungkan.
Namun, yang didengar dan diterima Soeharto
waktu itu adalah saran kelompok ekonom liberal yang belajar ilmu ekonomi ke
negeri Paman Sam. Argumentasi mereka sederhana. Jika tujuan kita adalah
menghindarkan diri dari kehancuran total yang diakibatkan oleh kurangnya
perhatian yang diberikan oleh rezim Orde Lama, jalan pintas harus dilakukan.
Jalan pintas itu adalah berikan prioritas pertama kepada kelompok konglomerat
dan multinasional lain untuk membenahi ekonomi Indonesia yang sudah morat-marit
agar kembali normal karena merekalah orang yang pandai dan sigap dalam
memintasi kemelut ekonomi yang sedang mencengkam. Setelah 5-6 kali Repelita,
setelah situasi ekonomi membaik, baru kelompok rakyat pribumi diberi peluang.
Kita sekarang dihadapkan pada kenyataan tak
terbantahkan bahwa bagian terbesar rakyat, dan rakyat pribumi, masih hidup
seperti sediakala, seperti di zaman kolonial dahulu, hidup dari tangan ke
mulut, tidak ikut bermain, dan kalau ikut, bermain di pinggiran, di sektor
nonformal. Sekitar 90 persen dari 240 juta penduduk hanyalah penonton dan
konsumen, bukan produser dan pemain. Padahal, mereka tinggal di negeri sendiri
dan pemilik yang sah dari Republik ini.
Ciptakan BUMD
Melanjutkan konsep yang telah dicanangkan
oleh kelompok pemimpin sosialis di awal Orde Baru, kita sekarang
merealisasikannya dengan penyesuaian di sana-sini. Sementara prinsip adalah
sama, yaitu memberikan prioritas utama kepada kelompok atau lapisan rakyat
termiskin terlebih dulu untuk mengubah nasibnya, dari yang selama ini terbiasa
jadi obyek menjadi subyek dan aktor penentu yang bisa memilih yang terbaik
untuk dirinya.
Untuk itu secara sistemis mereka harus memadu
kekuatan secara kolegial dan kooperatif untuk melakukan usaha perekonomian di
bidang apa pun secara bersama, terorganisasi, dan terkoordinasi secara rasional
dengan bidikan sasaran yang selalu jelas, sama persis seperti yang diarahkan
oleh Pasal 33 UUD 1945.
Ayat (1) menyebutkan, ”Perekonomian disusun
sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.” Jelas bukan ekonomi
liberal, kapitalistis, dan pasar bebas itu yang dimaksudkan, melainkan ekonomi
kooperatif-kerakyatan.
Ayat (2): ”Cabang-cabang produksi yang
penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh
negara.” Ayat (3): ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Sementara Ayat (4): ”Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas
demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga
keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.”
Jalan merealisasikan ini tak lain adalah
melaksanakannya secara tuntas, konsekuen, dan konsisten, serta mengganti sistem
ekonomi liberal-kapitalistis-pasar bebas sekarang dengan itu. Ini berarti
penjungkirbalikan secara revolusioner. Waktunya kapan lagi kalau bukan
sekarang. Gorbachev di Rusia, Deng Xiaoping di China, Lee Kuan Yew di
Singapura, dan Mahathir Mohamad di Malaysia melakukannya. Kita mengapa tidak?
Untuk itu, pemerintah perlu melanjutkan
membentuk BUMN untuk bidang-bidang eksploratif yang mencakup kepentingan umum,
untuk negara dan semua warga negara, di tingkat nasional. Negara secara
terprogram menasionalisasi korporasi konglomerat dan multinasional yang menurut
amar Konstitusi Pasal 33 harus dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat.
Sementara pemerintah bersama rakyat di desa,
kampung, dan nagari membentuk BUMD/Nagari). BUMD adalah pengejawantahan sistem
ekonomi kerakyatan yang basisnya ada di desa/kampung/nagari. Dari BLT ke BUMD
adalah sebuah lompatan besar yang bagaimanapun harus kita lakukan jika kita
memang peduli dengan nasib dan kepentingan rakyat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar