Risiko
Ambang Batas Nasional
Syamsuddin
Haris,
PROFESOR RISET LEMBAGA ILMU
PENGETAHUAN INDONESIA
SUMBER : KOMPAS, 16 Maret 2012
Empat masalah krusial rancangan undang-undang
pemilihan umum belum tuntas, panitia perumus sudah menambah persoalan baru:
menyeragamkan ambang batas parlemen atau parliamentary
threshold bagi DPR dan DPRD.
Perolehan suara parpol secara nasional
menjadi dasar menghitung kursi DPRD (Kompas, 13/3). Mengapa DPR tidak
menghitung risikonya?
Menjelang berakhirnya tenggat penyelesaian
RUU Pemilu, sembilan partai politik di DPR hingga saat ini belum sepakat soal
besaran persentase ambang batas DPR, besaran daerah pemilihan, sistem pemilu,
dan mekanisme penghitungan suara.
Dalam soal ambang batas DPR, Partai Golkar
dan PDI-P bertahan pada angka 5 persen, Partai Demokrat 4 persen, PKS 3-4
persen. PAN, PKB, PPP, Gerindra, dan Hanura berharap tidak naik (dari 2,5 persen).
Kalaupun dinaikkan, tak lebih dari 3 persen.
Terkait daerah pemilihan (dapil), pilihan
besaran berkisar 3-6 kursi (usulan Golkar), 3-8 (Demokrat), atau tetap 3-10
seperti hendak dipertahankan parpol kecil. Sistem pemilu masih mempersoalkan
apakah proporsional terbuka, tertutup, atau semiterbuka, sedangkan mekanisme
penghitungan suara sudah ada tanda-tanda kesepakatan, yakni dituntaskan di
dapil, tidak perlu ditarik ke tingkat nasional seperti Pemilu 2009.
Fragmentasi Politik Lokal
Hasil Pemilu 1999, 2004, dan 2009
memperlihatkan begitu tingginya tingkat fragmentasi politik di DPRD provinsi
dan kabupaten/kota. Fragmentasi terjadi karena semua parpol yang memperoleh
kursi berhak duduk di DPRD, termasuk parpol-parpol ”gurem” yang meraih satu-dua
kursi Dewan. Akibatnya, seperti hasil Pemilu 2009, DPRD kabupaten/kota berisi
belasan parpol. Di DPRD Provinsi NTT, misalnya, jumlah anggota 55 orang dari 18
parpol yang memperoleh kursi. Sebelas parpol masing-masing hanya meraih satu
kursi.
Fragmentasi politik lokal yang ekstrem
tersebut berdampak pada berkembangnya kecenderungan politik dagang sapi di DPRD
sehingga pemerintah daerah acap kali harus menegosiasikan berbagai kebijakan
daerah dengan kepentingan parpol yang amat beragam. Persoalan semakin kompleks
ketika kepala daerah terpilih hanya mewakili minoritas koalisi politik di DPRD.
Akibatnya, pemerintah daerah tidak hanya sulit bekerja maksimal, tetapi juga
terpenjara oleh struktur politik hasil pemilihan itu.
Realitas politik lokal seperti ini memerlukan
penyederhanaan. Semakin banyak parpol di DPRD semakin kecil pula peluang
terbentuknya pemerintahan lokal yang bisa bekerja efektif. Maraknya kasus
korupsi dan penyalahgunaan APBD yang melibatkan anggota DPRD adalah sebagian
produk dari perangkap kolusi dan persekongkolan politik akibat fragmentasi
politik lokal yang ekstrem ini. Perlu diberlakukan ambang batas parlemen bagi
DPRD agar struktur politik lokal lebih sederhana.
Ambang Batas Parlemen
Walaupun demikian, pemberlakuan ambang batas
parlemen yang seragam secara nasional bukanlah solusi tepat. Rekayasa
institusional demikian justru keliru dan salah kaprah. Lanskap politik nasional
bukan saja tidak persis sama, melainkan justru sangat berbeda dengan lanskap
politik di 33 provinsi dan sekitar 500 kabupaten dan kota. Parpol yang berjaya
di DPR belum tentu memperoleh kursi di DPRD. Sebaliknya parpol yang gagal
memenuhi ambang batas DPR tidak sedikit yang meraih suara signifikan di daerah.
Bahkan, parpol pemenang pemilu DPRD-DPRD di kabupaten dan kota berbeda-beda
satu sama lain kendati di provinsi yang sama.
Selain itu, parpol yang gagal memperoleh
dukungan elektoral secara nasional bisa jadi merupakan parpol harapan
masyarakat di provinsi, kabupaten, atau kota. Hasil Pemilu 2009 memperlihatkan,
meskipun gagal memenuhi ambang batas DPR, sebagian di antaranya adalah ”partai
besar” di tingkat daerah.
Realitas politik seperti ini terjadi karena
preferensi pilihan masyarakat tidak semata-mata kepada parpol, tetapi justru
kepada para calon anggota legislatif yang diajukan parpol. Semakin populer
caleg di suatu daerah, semakin besar pula parpol yang mencalonkan dapat
dukungan.
Risiko Politik
Ada sejumlah risiko politik jika ambang batas
parlemen diseragamkan secara nasional. Pertama, pemilu legislatif akan
kehilangan rohnya sebagai mekanisme mengonversi suara menjadi kursi parlemen
karena suara rakyat untuk DPRD didasarkan hasil pemilu DPR. Padahal, para caleg
yang dipilih dan diajukan di tiap tingkat parlemen berbeda.
Kedua, jika didasarkan hasil Pemilu 1999,
2004, dan 2009 yang mengindikasikan tingginya fragmentasi pilihan terhadap
parpol, sebagian DPRD kabupaten dan kota hasil Pemilu 2014 mendatang
kemungkinan hanya berisi 1-3 parpol. Haruskah DPRD berisi satu parpol jika
sebagian besar perolehan parpol lain di bawah persentase ambang batas parlemen
nasional?
Ketiga, hampir dipastikan banyak suara hilang
tidak terakomodasi dalam DPRD sehingga prinsip proporsionalitas sistem pemilu
yang berlaku akan lenyap pula. Keempat, disadari atau tidak, pemilu yang dimaksudkan
untuk memilih para wakil berubah menjadi pemilu untuk memilih parpol karena
kehadiran, kapasitas, dan kualifikasi caleg untuk DPRD dinafikan sistem.
Karena itu, sebelum tenggat terlampaui dan
RUU menjadi UU, para politisi parpol di DPR perlu berpikir ulang untung dan
rugi pilihan solusi institusional yang sangat berisiko secara politik.
Pemberlakuan mekanisme ambang batas parlemen bagi DPRD memang diperlukan untuk
menyederhanakan struktur politik lokal, tetapi bukan dengan cara keliru dan
salah kaprah.
Penghitungan kursi parpol di DPRD semestinya
didasarkan pada perolehan suara parpol di daerah masing-masing agar prinsip
keterwakilan, proporsionalitas, dan kedaulatan rakyat tetap dijamin oleh UU
Pemilu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar