Teologi
Pajak
Masdar Farid Mas’udi, ROIS
PBNU
SUMBER : KOMPAS, 16 Maret 2012
Pajak kini jadi isu politik, hukum, dan
kenegaraan yang sangat sensitif.
Korupsi dan penyelewengan uang pajak yang
kian tak terkendali telah mengobarkan kekecewaan berat di kalangan rakyat.
Wacana boikot pajak pun mulai menyeruak, yang jika dibiarkan bisa berakibat
fatal terhadap eksistensi negara itu sendiri.
Faktanya, jika ”bernegara” merupakan kata
kerja, membayar pajak adalah aksi paling nyata. Pajak adalah darah kehidupan
negara. Pajak dibayar negara tegak; pajak diboikot negara ambruk. Bagi semua
penguasa, tidak ada perlawanan politik yang lebih mematikan selain boikot pajak
oleh rakyat.
Upeti dan Kontra-Prestasi
Sepanjang sejarah telah berlaku dua konsep
pajak sekaligus dua konsep negara yang dikonstruksikannya. Pertama, pajak
sebagai upeti (persembahan) dari rakyat untuk penguasa. Kedua, pajak sebagai
kontra-prestasi (imbal jasa) dengan penguasa.
Pajak sebagai upeti adalah pajak yang
dibayarkan sebagai bukti ketundukan rakyat kepada sang penguasa. Inilah era
feodalisme raja-raja. Pajak-upeti ini telah berlaku beribu tahun sejak
berdirinya lembaga kekuasaan di bawah kendali orang-orang yang mengaku sebagai
penguasa bumi, bahkan jagat raya. ”Ana
rabbukuml a’la (Akulah Tuhan kalian yang mahatinggi),” begitu klaim Fir’aun
mewakili segenap para raja-dewa di hadapan rakyatnya.
Pada era ini tentu belum ada UU yang
memastikan bagaimana dan untuk kepentingan siapa pajak dibelanjakan; juga belum
ada konstitusi yang menegaskan untuk kepentingan siapa kekuasaan yang terlahir
dari pajak dijalankan. Semuanya terserah sang raja sebagai personifikasi
negara. ”Etate ce moi (negara adalah
saya),” kata Raja Luis dari Perancis menjurubicarai para raja absolut di
seantero jagat raya.
Pada era pajak sebagai upeti ini otomatis
belum dikenal istilah ”korupsi” sebagai konsep penyalahgunaan uang pajak oleh
penguasa. Sebab, semua kebijakan penguasa, terutama terkait penggunaan uang
pajak, adalah sah dan benar adanya. Jika uang pajak digunakan seluruhnya atau
sebagian besar untuk kepentingan penguasa, itu hak mereka.
Terhadap praktik kekuasaan sewenang-wenang
dan korup inilah Bible menegaskan: pandanglah para pemungut dan penikmat pajak
seperti layaknya kalian memandang pelacur, pemabuk, penyamun, dan orang-orang
yang tidak mengenal Allah (Matius: 11/19; 21/31; 18/17). Muhammad Rasulullah
pun menegaskan: Tidak bakal masuk surga para pemungut dan pemakan uang
pajak-upeti; La yadkhl al-jannah shahibu maksin (HR Ahmad).
Bisa saja, di era ini muncul satu atau dua
ratu adil dari sekian banyak raja yang berkuasa. Tapi, itu lebih karena rahmat
Tuhan daripada sistem kekuasaan dan politik yang diberlakukan.
Adapun konsep pajak sebagai kontra-prestasi
(imbal jasa atau jizyah) mulai muncul setelah rakyat pembayar pajak menyadari
bahwa raja bukanlah dewa yang boleh memperlakukan rakyat semaunya. Boleh saja
raja memungut pajak, tetapi tidak boleh lagi secara cuma-cuma.
Piagam Magna Carta di Inggris awal abad XIII
antara para baron (tuan tanah) selaku pembayar pajak dan raja merupakan tonggak
sejarah kesadaran baru pajak sebagai imbal jasa. Kesadaran ini dipertegas oleh
Revolusi Perancis dan Amerika abad XVIII yang menuntut konsekuensi pembayaran
pajak dengan keterwakilan mereka dalam merumuskan kebijakan-kebijakan negara.
Revolusi ini mengusung slogan terkenal: No
taxation without representation.
Sejak saat itulah makna pajak bergeser dari
upeti untuk penguasa jadi imbal jasa (jizyah) antara rakyat pembayar pajak dan
penguasa. Intinya: pajak boleh dipungut, tetapi harus diimbangi dengan
pelayanan dari negara kepada rakyat pembayarnya.
Jelas, konsep ini lebih maju dan terasa lebih
adil dibandingkan konsep pertama, pajak sebagai upeti. Namun, bagaimanapun, di
sana masih ada cacat bawaan yang dapat memperlebar kesenjangan antara rakyat
kuat (pembayar pajak besar) di satu pihak dan rakyat lemah yang hanya bisa
membayar pajak kecil atau bahkan tidak mampu sama sekali.
Dengan konsep imbal jasa, pembayar pajak
besar berhak mendapatkan layanan besar dari negara/penguasa. Sementara rakyat
pembayar pajak kecil, apalagi yang tidak mampu membayar sama sekali, harus
nerimo dengan sisa layanan dari negara, itu pun jika masih ada iba.
Era pajak sebagai imbal jasa inilah era
negara modern kapitalistik dewasa ini: era demokrasi semu dan elitis, era pasar
bebas yang egois. Kemakmuran yang melimpah dari bumi Allah dimonopoli
sekelompok orang dari kalangan elite penguasa (umara) dan pengusaha (aghniya);
sementara bagian terbesar umat manusia dibiarkan tenggelam dalam kemiskinan dan
ketakberdayaan.
Pajak untuk Keadilan
Jika umat manusia mau mewujudkan keadilan dan
kemakmuran bagi semua, mutlak didefinisikan kembali konsep pajak secara
mendasar dan revolusioner: pajak sebagai strategi ”redistribusi kemakmuran dan
keadilan” untuk semua.
Meminjam bahasa agama, pajak mesti kita
definisi ulang bukan lagi sebagai persembahan ataupun imbal jasa untuk
penguasa, melainkan sebagai aktualisasi strategis dari rasa kasih (Kristiani)
atau darma (Hindu-Buddha) atau sedekah alias kesetiakawanan sejati (Islam)
untuk sesama, terutama yang lemah, apa pun agama/keyakinan dan warna kulitnya.
Tujuannya memastikan semua anak manusia dapat
hidup di bumi Allah secara terhormat dan bermartabat. Jangan sampai terjadi
lagi, hanya karena faktor bawaan atau sosial dan lingkungan, sebagian orang
menguasai terlalu banyak, sementara sebagian yang lain hanya kebagian sedikit
atau bahkan tidak kebagian sama sekali.
Adalah negara, selaku pemikul kepentingan
publik (masalih ammah) sekaligus lembaga kekuasaan kolektif, yang harus memikul
tanggung jawab mewujudkan keadilan dan kemakmuran bagi semua. Meminjam bahasa
Islam, negara adalah payung Allah di muka bumi, di mana umat yang lemah dan
teraniaya berlindung untuk mendapatkan hak-haknya (Assulthan dhillullah fil ardl ya’wi ilaihi kullu madhlum).
Untuk tujuan inilah, dengan gamblang Allah
memberikan mandat kepada negara untuk memungut sebagian dari rezeki mereka yang
dianugerahi kelebihan dan meredistribusikannya bagi kepentingan yang kurang
mampu dan untuk kepentingan bersama (Al Quran [9]: 60).
Prinsipnya: (i) pajak memang harus dibayar,
tetapi bukan lagi sebagai persembahan atau imbal jasa untuk penguasa, melainkan
sebagai ibadah karena Allah demi kemaslahatan bersama; (ii) pejabat negara
sebagai pemungut dan pengelola pajak harus dievaluasi bukan lagi sebagai
pemilik uang pajak, melainkan hanya sebagai ”amil” yang harus
mempertanggungjawabkan setiap rupiah dari pajak yang dipungut kepada Allah di
akhirat nanti dan kepada segenap rakyatnya di dunia ini.
Perihal berapa tarif pajak atas obyek apa
saja, berapa batas minimal obyek terkena pajak, dan kapan jatuh tempo
pembayaran adalah persoalan kebijakan (ijtihadiy) yang perlu disesuaikan dari
waktu ke waktu dan dari satu negara ke negara lain sesuai kemaslahatan bersama.
●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar