Kamis, 08 Maret 2012

Perempuan dan Keluarga Berkualitas


Perempuan dan Keluarga Berkualitas
Siti Muyassarotul Hafidzoh, IBU RUMAH TANGGA,
PENELITI PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
SUMBER : SUARA KARYA, 8 Maret 2012



Laki-laki merupakan kepala keluarga, tetapi perempuanlah yang justru "hidup" dan menghidupkan keluarga. Hadirnya kasih sayang dan keharmonisan dalam keluarga seringkali lahir dari rahim seorang perempuan. Suatu keluarga tanpa kehadiran ayah tetap bisa berdiri tegak, tetapi tak bisa dibayangkan suatu keluarga tanpa kehadiran seorang ibu. Dalam diri seorang ibu, tertancap jiwa kemanusiaan, kenabian dan ketuhanan secara berimbang, sehingga kunci kesuksesan keluarga banyak ditentukan oleh peran krusial seorang ibu.

Keluarga merupakan institusi terkecil dalam lingkungan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Keluarga menjadi tempat berseminya cinta, kasih sayang, keteladanan dan kearifan. Keluarga menjadi "sekolah pertama" seorang anak untuk mencerap ilmu kehidupan. Kalau keluarga bisa menjadi surga yang penuh ilmu dan keteladanan, maka anak-anak akan mendapatkan warisan agung yang menjadi bekal kehidupan di masa depan. Keluarga yang terjaga akan menegakkan Indonesia yang bermartabat. Keluarga menjadi tempat pertama lahirnya peradaban Indonesia yang maju dan berkeadaban.

Momentum peringatan hari perempuan sedunia, 8 Maret 2012 harus menjadi refleksi dalam meningkatkan kualitas keluarga. Sesuai yang tercantum dalam diktat Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) tahun 1992, keluarga berkualitas ialah keluarga yang sejahtera, sehat, maju, mandiri, memiliki jumlah anak ideal, berwawasan ke depan, bertanggung jawab, harmonis, dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Sejahtera, berarti sebuah keluarga dapat memenuhi kebutuhan pokoknya. Sehat, mencakup sehat jasmani, rohani, dan sosial. Maju, bermakna memiliki keinginan untuk mengembangkan pengetahuan dan kemampuan diri dan keluarganya guna meningkatkan kualitasnya. Berjiwa mandiri, diartikan memiliki wawasan, kemampuan, sikap dan perilaku tidak tergantung pada orang lain.

Kemudian jumlah anak ideal ialah jumlah anak dalam keluarga yang diinginkan dan dianggap sesuai dengan kemampuan keluarga, namun tetap memperhatikan kepentingan sosial. Berwawasan, berarti memiliki pengetahuan dan pandangan yang luas, sehingga mampu, peduli, dan kreatif dalam upaya pemenuhan kebutuhan keluarga dan masyarakat secara sosial. Harmonis, mencerminkan kondisi keluarga yang utuh dan mempunyai hubungan yang serasi di antara semua anggota keluarga. Yang terakhir, bertakwa, berarti taat beribadah dan melaksanakan ajaran agamanya.

Keluarga berkualitas yang diimpikan tersebut sekarang sedang dipersimpangan jalan. Tak lain karena institusi keluarga kurang mendapatkan perhatian serius, baik oleh masyarakat dan pemerintah. Kebutuhan menciptakan keluarga berkualitas belum menjadi stressing masyarakat dan pemerintah, sehingga berbagai program peningkatan keluarga berkualitas seringkali mandek di tengah jalan.

Dalam konteks itulah, pemerintah seharusnya segera menyosialisasikan UU 52/2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga beserta Perpres No 62/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaannya kepada seluruh stakeholder pada semua tingkat/kalangan, termasuk upaya penguatan database program KB agar mempunyai kekuatan dan posisi tawar yang layak dalam pembangunan.

Pembangunan masa depan harus didukung oleh sumber daya manusia handal yang lahir dari keluarga berkuaitas. Di samping itu, pemerintah juga harus segera menggalang komitmen dengan unsur pimpinan daerah secara mantap tentang pentingnya pembangunan kependudukan dan program KB, termasuk upaya keringanan jasa medis dalam pelayanan KB.

Keluarga berkualitas sangat ditunggu untuk Indonesia masa depan, karena akan menjadi sumber Indonesia berkualitas. Renald Kasali dalam Change (2010) memberikan tips khusus membangun keluarga berkualitas dengan perencanaan masa depan yang komprehensif. Pertama, mulailah dengan diri sendiri (start with yourself). Keluarga berkualitas akan melakukan sesuatu yang positif dari diri sendiri. Lakukan intropeksi diri keluarga sebelum menuntut orang lain untuk melakukan sesuatu.

Kedua, jangan berorintasi pada orang lain tapi bagi diri sendiri (dont oriented to another but yourself). Keluarga harus ikhlas dalam mendisiplinkan diri, jangan karena ingin mengalahkan atau mendapatkan pujian orang lain. Keluarga akan kecewa ketika orang lain tidak bisa dikalahkan, atau akan menyesal ketika tidak ada orang lain yang memuji kita. Jadi dampak disiplin yang lahir karena orang lain tidaklah permanen untuk memajukan diri kita.

Ketiga, jangan menunda. Lakukan dari sekarang (start early). Kebiasaan buruk kita adalah menunda pekerjaan, memperlambat memulai hal-hal baik yang sudah ada dalam pikiran kita. Jangan tunggu sore datang kalau di pagi hari kita mampu menyelesaikan pekerjaan untuk sore hari. Kita harus adopsi cara-cara bekerja orang besar, kerja keras dengan tidak menunda pekerjaan, persistent (ulet dan tekun), bertanggungjawab dan bersikap positif.

Keempat, mulailah dari hal yang kecil (start small), jangan abaikan hal-hal kecil, karena hal-hal besar selalu diawali dari yang kecil. Perubahan besar tidak akan terjadi jika tidak diawali dari perubahan kecil. Disiplin untuk membuang sampah pada tempatnya, shalat tepat waktu, bangun sebelum subuh adalah perkara kecil yang mampu mendorong kita untuk melakukan kedisiplinan yang lebih besar. Ingatkah kita dengan pepatah China yang mengatakan, bahwa orang yang memindahkan gunung memulai dengan memindahkan batu-batu kecil.

Mulai sekarang juga (start now) membangun keluarga berkualitas, jangan tunda esok hari, karena bisa membuat kehilangan fokus. Sekarang adalah waktu terbaik untuk menjadi keluarga yang terbaik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar