Belas
Kasih yang Makin Hilang
Falasifatul Falah, DOSEN PSIKOLOGI SOSIAL UNIVERSITAS ISLAM
SULTAN AGUNG (UNISSULA) SEMARANG, MASTER OF ARTS IN WOMEN STUDY FLINDERS
UNIVERSITY OF SOUTH AUSTRALIA
SUMBER : SUARA MERDEKA, 8 Maret 2012
"Pemenuhan
kebutuhan masyarakat bukan merupakan sesuatu yang mustahil diupayakan di tengah
krisis bila moral tetap ditegakkan"
MASIH melekat dalam ingatan, peristiwa tragis
yang diberitakan oleh berbagai media elektronik nasional pekan lalu, ketika
kerumunan massa di Deli Serdang, Sumatera Utara, mengeroyok dua pemuda hingga
tidak berdaya, lalu membakar mereka hidup-hidup, hanya karena provokasi
seseorang yang menuduh dua orang itu pencuri ternak (detik.com, 27/03/12).
Tuduhan itu tidak terbukti, bahkan oknum yang
melemparkan tuduhan tak berdasar itu pun melarikan diri, namun dua pemuda
malang itu telanjur tewas dengan cara mengenaskan.
Mengapa penduduk negeri ini bisa sedemikian
beringas? Kegelisahan makin bertambah mengingat bahwa peristiwa ini hanya salah
satu dari sekian banyak kasus kekejaman kolektif. Ke mana perginya rasa belas
kasihan dalam benak masyarakat? Inikah potret bangsa yang mendengungkan frasa
kemanusiaan yang adil dan beradab sebagai salah satu komponen dasar negara?
Harus diakui, kemampuan masyarakat kita dalam
memelihara rasa iba pada sesama memang melemah. Lebih jauh lagi, hilangnya
kepercayaan rakyat terhadap hukum membuat rasa saling percaya antarsesama ikut
pudar. Tragedi di Deli Serdang bukan peristiwa pertama atau terakhir main
hakim. Seseorang bahkan bisa ikut menghukum terdakwa kasus suap lewat aksi
bacok seusai sidang (SM, 29/02/12).
Para psikolog sosial berpendapat bahwa
dorongan untuk menyakiti orang lain muncul karena rasa frustrasi. Meskipun
frustrasi adalah kondisi yang manusiawi dan terjadi pada semua orang, pada
level tertentu bila terjadi secara terus-menerus tanpa penyelesaian akan
menjadi berbahaya karena individu itu akan mencari cara pelepasan secara
sembarangan.
Pada kasus di Deli Serdang, warga telah lama
gusar karena sering kehilangan sapi (Tempo, 27/02/12). Tipisnya harapan untuk
menemukan kembali ternak yang dicuri, ditambah rendahnya kepercayaan terhadap
kinerja aparat penegak hukum, menimbulkan frustrasi hebat, yang membuat massa
tidak bisa mengendalikan diri untuk melampiaskan kemarahannya.
Penyaluran
Emosi
Gejala-gejala sosial yang tampak memang
menunjukkan bahwa frustrasi telah menghinggapi sebagian anak negeri ini. Bila
kita cermati, mereka yang melakukan kekejaman dan menyakiti orang lain secara
brutal bukanlah individu yang merasa bahagia. Pengeroyokan dan penganiayaan
hampir selalu melibatkan orang-orang yang sedang merasa tidak puas dengan
kehidupannya, misalnya karena miskin, menganggur, atau sakit hati.
Tidak sulit mencari jawaban mengapa sebagian
masyarakat kita merasa frustrasi. Faktanya, bangsa kita memang belum
meninggalkan masa krisis. Rakyat masih merasakan kesulitan untuk memenuhi
kebutuhan dasar, bahkan belitan kemiskinan baru saja memicu tindakan bunuh diri
seorang perempuan di Bandung (Metronews.com, 03/02/12). Kondisi krisis bahkan
menjalar di segala aspek kehidupan kita, termasuk krisis moral. Tetapi
pantaskah krisis menjadi pembenaran memudarnya rasa kemanusiaan?
Thurgood Marshall, mantan anggota Mahkamah
Agung Amerika Serikat, mengatakan bahwa ukuran kehebatan sebuah bangsa terletak
pada kemampuannya memelihara rasa belas kasihan dalam masa krisis. Jadi kalau
kita ini bangsa yang hebat, kita pasti mampu mengembalikan kelembutan hati
anak-anak negeri ini, menjadi bangsa yang penuh empati dan memiliki rasa belas
kasihan.
Jane Strayer, psikolog, meyakini bahwa pada
dasarnya semua manusia dilahirkan dengan kapasitas untuk berempati pada makhluk
lain. Namun perkembangan kemampuan berempati dipengaruhi oleh pengalaman hidup
tiap individu. Empati berkembang bila individu diberi ruang dan kesempatan
melepaskan emosinya secara wajar.
Sebaliknya, perkembangan empati terhambat,
bahkan pudar, bila pihak otoritas menggunakan kemarahan sebagai alat untuk
mengontrol individu di bawah kekuasaannya.
Dengan demikian, pihak yang memiliki wewenang
atas orang lain perlu memberikan ruang untuk penyaluran emosi, dan menghindari
mengendalikan pihak yang lebih inferior dengan kemarahan; baik orang tua
terhadap anak, guru terhadap murid, atasan terhadap bawahan, atau pemerintah
terhadap rakyat.
Bila keberingasan dipicu oleh frustrasi maka
harus ada upaya mengurangi hal-hal yang menyebabkan masyarakat frustrasi lewat
upaya memenuhi kebutuhan mereka, seperti kebutuhan akan rasa aman, kepastian
hukum, dan keadilan.
Pada kasus pencurian ternak di Deli Serdang
misalnya, masyarakat sudah merasa kehilangan rasa aman atas harta miliknya
serta kehilangan harapan akan jaminan perlindungan dari aparat berwenang.
Pemenuhan kebutuhan masyarakat bukan merupakan sesuatu yang mustahil diupayakan
di tengah krisis, bila moral tetap ditegakkan.
Lebih lanjut, para pakar ilmu perilaku juga
meyakini bahwa perilaku menyakiti sesama juga merupakan hasil dari proses
belajar, artinya individu melakukan kekejaman setelah mempelajari fenomena di
lingkungan. Bukan hanya anak-anak kecil yang meniru adegan kekerasan yang
pernah disaksikannya melainkan orang dewasa pun mengimitasi sikap dan perilaku
yang diamatinya, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Misalnya pengamatan masyarakat atas tindakan
dan keputusan aparat penegak hukum yang minim empati pada rakyat kecil; di satu
sisi memang meng-gelitik nurani individu-individu yang masih memiliki kepekaan
pada rasa keadilan, namun di sisi yang lain juga mendidik masyarakat untuk
menyingkirkan rasa empati dan mengeraskan hati.
Dengan demikian, pihak yang senantiasa
menjadi sasaran pengamatan masyarakat, baik pejabat maupun figur publik
lainnya, memiliki peran cukup penting dalam mempengaruhi pembentukan sikap dan
perilaku masyarakat.
Media pun memegang andil mendidik masyarakat
karena hitam-putihnya perilaku yang diamati masyarakat juga dipengaruhi
keputusan media dalam menyeleksi kontennya. Mengupayakan hal ini tentunya tidak
mudah, namun juga bukan hal mustahil. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar