Kamis, 08 Maret 2012

Belas Kasih yang Makin Hilang


Belas Kasih yang Makin Hilang
Falasifatul Falah, DOSEN PSIKOLOGI SOSIAL UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG (UNISSULA) SEMARANG, MASTER OF ARTS IN WOMEN STUDY FLINDERS UNIVERSITY OF SOUTH AUSTRALIA
SUMBER : SUARA MERDEKA, 8 Maret 2012



"Pemenuhan kebutuhan masyarakat bukan merupakan sesuatu yang mustahil diupayakan di tengah krisis bila moral tetap ditegakkan"

MASIH melekat dalam ingatan, peristiwa tragis yang diberitakan oleh berbagai media elektronik nasional pekan lalu, ketika kerumunan massa di Deli Serdang, Sumatera Utara, mengeroyok dua pemuda hingga tidak berdaya, lalu membakar mereka hidup-hidup, hanya karena provokasi seseorang yang menuduh dua orang itu pencuri ternak (detik.com, 27/03/12).

Tuduhan itu tidak terbukti, bahkan oknum yang melemparkan tuduhan tak berdasar itu pun melarikan diri, namun dua pemuda malang itu telanjur tewas dengan cara mengenaskan.

Mengapa penduduk negeri ini bisa sedemikian beringas? Kegelisahan makin bertambah mengingat bahwa peristiwa ini hanya salah satu dari sekian banyak kasus kekejaman kolektif. Ke mana perginya rasa belas kasihan dalam benak masyarakat? Inikah potret bangsa yang mendengungkan frasa kemanusiaan yang adil dan beradab sebagai salah satu komponen dasar negara?

Harus diakui, kemampuan masyarakat kita dalam memelihara rasa iba pada sesama memang melemah. Lebih jauh lagi, hilangnya kepercayaan rakyat terhadap hukum membuat rasa saling percaya antarsesama ikut pudar. Tragedi di Deli Serdang bukan peristiwa pertama atau terakhir main hakim. Seseorang bahkan bisa ikut menghukum terdakwa kasus suap lewat aksi bacok seusai sidang (SM, 29/02/12).

Para psikolog sosial berpendapat bahwa dorongan untuk menyakiti orang lain muncul karena rasa frustrasi. Meskipun frustrasi adalah kondisi yang manusiawi dan terjadi pada semua orang, pada level tertentu bila terjadi secara terus-menerus tanpa penyelesaian akan menjadi berbahaya karena individu itu akan mencari cara pelepasan secara sembarangan.

Pada kasus di Deli Serdang, warga telah lama gusar karena sering kehilangan sapi (Tempo, 27/02/12). Tipisnya harapan untuk menemukan kembali ternak yang dicuri, ditambah rendahnya kepercayaan terhadap kinerja aparat penegak hukum, menimbulkan frustrasi hebat, yang membuat massa tidak bisa mengendalikan diri untuk melampiaskan kemarahannya.

Penyaluran Emosi

Gejala-gejala sosial yang tampak memang menunjukkan bahwa frustrasi telah menghinggapi sebagian anak negeri ini. Bila kita cermati, mereka yang melakukan kekejaman dan menyakiti orang lain secara brutal bukanlah individu yang merasa bahagia. Pengeroyokan dan penganiayaan hampir selalu melibatkan orang-orang yang sedang merasa tidak puas dengan kehidupannya, misalnya karena miskin, menganggur, atau sakit hati.

Tidak sulit mencari jawaban mengapa sebagian masyarakat kita merasa frustrasi. Faktanya, bangsa kita memang belum meninggalkan masa krisis. Rakyat masih merasakan kesulitan untuk memenuhi kebutuhan dasar, bahkan belitan kemiskinan baru saja memicu tindakan bunuh diri seorang perempuan di Bandung (Metronews.com, 03/02/12). Kondisi krisis bahkan menjalar di segala aspek kehidupan kita, termasuk krisis moral. Tetapi pantaskah krisis menjadi pembenaran memudarnya rasa kemanusiaan?

Thurgood Marshall, mantan anggota Mahkamah Agung Amerika Serikat, mengatakan bahwa ukuran kehebatan sebuah bangsa terletak pada kemampuannya memelihara rasa belas kasihan dalam masa krisis. Jadi kalau kita ini bangsa yang hebat, kita pasti mampu mengembalikan kelembutan hati anak-anak negeri ini, menjadi bangsa yang penuh empati dan memiliki rasa belas kasihan.

Jane Strayer, psikolog, meyakini bahwa pada dasarnya semua manusia dilahirkan dengan kapasitas untuk berempati pada makhluk lain. Namun perkembangan kemampuan berempati dipengaruhi oleh pengalaman hidup tiap individu. Empati berkembang bila individu diberi ruang dan kesempatan melepaskan emosinya secara wajar.

Sebaliknya, perkembangan empati terhambat, bahkan pudar, bila pihak otoritas menggunakan kemarahan sebagai alat untuk mengontrol individu di bawah kekuasaannya.

Dengan demikian, pihak yang memiliki wewenang atas orang lain perlu memberikan ruang untuk penyaluran emosi, dan menghindari mengendalikan pihak yang lebih inferior dengan kemarahan; baik orang tua terhadap anak, guru terhadap murid, atasan terhadap bawahan, atau pemerintah terhadap rakyat.

Bila keberingasan dipicu oleh frustrasi maka harus ada upaya mengurangi hal-hal yang menyebabkan masyarakat frustrasi lewat upaya memenuhi kebutuhan mereka, seperti kebutuhan akan rasa aman, kepastian hukum, dan keadilan.

Pada kasus pencurian ternak di Deli Serdang misalnya, masyarakat sudah merasa kehilangan rasa aman atas harta miliknya serta kehilangan harapan akan jaminan perlindungan dari aparat berwenang. Pemenuhan kebutuhan masyarakat bukan merupakan sesuatu yang mustahil diupayakan di tengah krisis, bila moral tetap ditegakkan.

Lebih lanjut, para pakar ilmu perilaku juga meyakini bahwa perilaku menyakiti sesama juga merupakan hasil dari proses belajar, artinya individu melakukan kekejaman setelah mempelajari fenomena di lingkungan. Bukan hanya anak-anak kecil yang meniru adegan kekerasan yang pernah disaksikannya melainkan orang dewasa pun mengimitasi sikap dan perilaku yang diamatinya, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Misalnya pengamatan masyarakat atas tindakan dan keputusan aparat penegak hukum yang minim empati pada rakyat kecil; di satu sisi memang meng-gelitik nurani individu-individu yang masih memiliki kepekaan pada rasa keadilan, namun di sisi yang lain juga mendidik masyarakat untuk menyingkirkan rasa empati dan mengeraskan hati.

Dengan demikian, pihak yang senantiasa menjadi sasaran pengamatan masyarakat, baik pejabat maupun figur publik lainnya, memiliki peran cukup penting dalam mempengaruhi pembentukan sikap dan perilaku masyarakat.

Media pun memegang andil mendidik masyarakat karena hitam-putihnya perilaku yang diamati masyarakat juga dipengaruhi keputusan media dalam menyeleksi kontennya. Mengupayakan hal ini tentunya tidak mudah, namun juga bukan hal mustahil. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar