Kamis, 08 Maret 2012

Memperjuangkan Hak-Hak Perempuan

Memperjuangkan Hak-Hak Perempuan
Zainul Mun’im, STAF PENELITI PUSAT STUDI DAN KONSULTASI HUKUM (PSKH)
UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
SUMBER : SUARA KARYA, 8 Maret 2012



Hak konstitusional warga negara maupun hak asasi manusia (HAM) yang dijamin dalam UUD 1945 berlaku bagi seluruh warga negara Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari perumusannya yang menggunakan frasa 'setiap orang', 'segala warga negara', atau 'setiap warga negara', yang menunjukkan bahwa hak konstitusional dimiliki oleh setiap individu warga negara tanpa adanya perbedaan suku, ras, agama, keyakinan politik, maupun jenis kelamin.

Bahkan, UUD 1945 menegaskan bahwa 'Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif.' Dengan demikian, jika terdapat ketentuan atau tindakan yang mendiskriminasikan warga negara tertentu, hal itu berarti bertentangan dengan UUD 1945.

Oleh karena itu setiap warga negara perempuan memiliki hak konstitusional yang sama dengan warga negara laki-laki. Perempuan juga memiliki hak untuk tidak diperlakukan secara diskriminatif, baik berdasarkan statusnya sebagai perempuan ataupun berdasarkan perbedaan lainnya. Semua hak konstitusional yang telah diuraikan sebelumnya merupakan hak konstitusional setiap warga negara berjenis kelamin perempuan.

Namun faktanya, perempuan selalu menjadi ladang dalam perlakuan diskriminatif. Ketika ada masalah yang menyangkut hak perempuan dan laki-laki, bisa dipastikan perempuan-lah yang mendapatkan perlakuan diskriminatif. Semisal, diskriminasi terhadap buruh perempuan dalam pengupahan, hak upah yang didapatkan perempuan tak sebanding dengan yang didapatkan kaum laki-laki, walaupun buruh perempuan tidak kalah rajin dengan laki-laki dalam menjalankan tugasnya.

Agar perempuan Indonesia bisa selalu memperjuangkan hak-haknya dan tidak selalu mendapat perlakuan diskriminatif, diperlukan adanya perlakuan khusus bagi kaum perempuan. Hal ini penting mengingat perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional tanpa adanya perlakuan khusus, justru cenderung akan mempertahankan diskriminasi terhadap kaum perempuan, dan tidak mampu mencapai keadilan.

Pentingnya perlakuan khusus bagi perempuan untuk menghapus perlakuan diskriminatif juga telah diakui secara internasional. Bahkan, hal itu diwujudkan dalam konvensi tersendiri, yaitu Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women (CEDAW).

Pada tingkat nasional, upaya menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan menuju kesetaraan jender telah dilakukan walaupun pada tingkat pelaksanaan masih membutuhkan perhatian serius. Hal ini setidaknya dapat kita lihat melalui beberapa peraturan perundang-undangan, yakni berupa prinsip-prinsip umum. Bahkan, untuk memberikan perlindungan terhadap kaum perempuan dari aksi kekerasan, telah dibentuk Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).

Di samping ketentuan-ketentuan hukum yang telah memberikan perlakuan khusus terhadap perempuan, atau paling tidak telah disusun untuk mencapai kesetaraan jender, tentu masih terdapat peraturan perundang-undangan yang dirasakan bersifat diskriminatif terhadap perempuan, atau paling tidak belum sensitif jender. Apalagi, hingga saat ini masih banyak berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan yang dibuat pada masa pemerintahan kolonial Belanda.

Untuk itulah, upaya identifikasi harus dilakukan yang diikuti dengan penataan dan penyesuaian berdasarkan UUD 1945 pasca perubahan. Hal itu dapat dilakukan melalui mekanisme judicial review.

Selain dari sisi substansi aturan hukum, tantangan yang dihadapi adalah dari struktur penegakan konstitusi. Untuk mencapai perimbangan keanggotaan DPR dan DPRD, misalnya, tidak cukup dengan menentukan kuota calon perempuan sebanyak 30% yang diajukan oleh setiap partai politik.

Ketentuan tentang kuota itu tentu harus menjamin bahwa tingkat keterwakilan perempuan di parlemen akan semakin besar. Padahal, saat ini jumlah anggota DPR perempuan baru 11 persen, dan di DPD 21 persen. Bahkan jumlah pegawai negeri sipil (PBN) eselon I yang perempuan hanya 12,8 persen. Untuk itu, perlu dirumuskan mekanisme yang dapat menjamin keterwakilan perempuan di sektor publik agar semakin meningkat di masa-masa mendatang.

Tantangan di bidang struktur penegak hukum juga diperlukan, misalnya, terkait dengan proses hukum dalam kasus kekerasan terhadap perempuan. Sebagai korban atau saksi, perempuan memerlukan kondisi tertentu untuk dapat memberikan keterangan dengan bebas tanpa tekanan. Untuk itu, proses perkara, mulai dari penyelidikan hingga persidangan perlu memperhatikan kondisi tertentu yang dialami perempuan. Demikian pula terkait dengan persidangan yang membutuhkan jaminan keamanan, baik fisik maupun psikis perlu diberikan kepada perempuan.

Yang tidak kalah pentingnya dalam upaya menegakkan hak konstitusional perempuan adalah menumbuhkan budaya sadar berkonstitusi terutama yang terkait dengan hak konstitusional perempuan. Hal ini penting untuk menyadarkan masyarakat bahwa kaum perempuan pun memiliki hak konstitusional yang sama dengan laki-laki. Hal ini penting mengingat kesadaran tersebut belum tertanam di jiwa masyarakat, sehingga tidak sedikit seorang perempuan yang layak dipilih atau diangkat untuk jabatan tertentu, namun tidak dipilih atau diangkat karena perempuan dinilai mempunyai kelemahan tertentu dibanding laki-laki.

Dengan adanya perbaikan melalui struktur penegakan hukum, substansi hukum, dan sekaligus membudayakan konstitusi yang lebih menjunjung tinggi nilai kesetaraan jender, diharapkan hak-hak perempuan seperti yang dikehendaki oleh Ibu Kartini akan tercapai. Tentunya, dengan menjadikan hak-hak tersebut sebagai bagian dari konstitusi yang benar (the right constitunional).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar