Kamis, 22 Maret 2012

Perdebatan Harga BBM


Perdebatan Harga BBM
Rhenald Kasali, KETUA PROGRAM MM UNIVERSITAS INDONESIA
SUMBER : SINDO, 22 Maret 2012



Masih adakah energi murah di atas muka bumi ini? Pertanyaan ini dijawab setiap bangsa dengan catatan berbeda-beda. Brasil dan Norwegia adalah dua negara yang beruntung karena oil powerhouse-nya, Petrobraz dan Statoil, berhasil mengembangkan teknologi laut dalam, sehingga mampu mengeksplorasi minyak di mancanegara.
Saat bahan bakar berbasiskan fosil yang ada di atas permukaan bumi mulai menipis, keduanya justru berjaya di laut dalam. China di sisi lain, memanjakan empat BUMN-nya dengan berbagai insentif dan harga minyak dalam negeri yang tinggi, sehingga berhasil membangun kilang-kilang besar di mancanegara dan mendapatkan jaminan suplai dari Sudan, Arab Saudi dan Venezuela. Petronas juga dikembangkan dengan cara yang sama,sehingga mampu menjalankan peran sebagai penjamin masa depan energi Malaysia.

Harga boleh berubah-ubah,tetapi rakyatnya tenang. Dengan cara berbeda, Amerika Serikat, Rusia, dan Kanada menemukan cadangan-cadangan baru,baik minyak maupun gas dengan teknologi canggih. Mereka bisa menghasilkan minyak dan gas murah dengan sejumlah catatan: cadangan besar terkonsentrasi, teknologi terus dikembangkan, insentif terus diberikan pada pengusaha perminyakan,dividen tidak diambil pemegang saham, ada kepastian berusaha yang memadai, infrastruktur prima dan korupsinya terkendali.

Bagaimana Indonesia? Selain cadangan minyaknya tidak besar, cadangan minyak dan gas yang kita miliki menyebar dalam volume kecil-kecil di lokasi yang berjauhan. Keadaan ini berbeda sekali dengan cadangan yang dimiliki negara-negara lain seperti Qatar, Arab Saudi, Brasil, Venezuela, atau Malaysia sekalipun. Sudah demikian, insentif yang diberikan untuk investasi migas tidak memadai, bahkan dividennya lebih banyak diperah untuk menambal APBN, sehingga BUMN energi tidak memiliki kesempatan berinvestasi dalam teknologi dan ladang-ladang minyak baru di mancanegara.

Cara berpikir kita sangat lokal, domestik, jangka pendek dan konsumsi. Jangan lupa juga kita tinggal di negara kepulauan dengan azas kesatuan, namun payah infrastrukturnya. Ini belum ditambah dengan ruwetnya birokrasi dan bisingnya kicauan politik dengan segala conflict of interest yang mengacaukan pikiran anak bangsa.

Jadi energi murah, mohon maaf, sudah tidak ada lagi bagi Indonesia kecuali kita mempercepat pembangunan infrastruktur sampai ke daerah-daerah terpencil, mengembangkan teknologi baru, mendorong BUMN migas, menjamin masa depan energi bangsa dengan investasi besar-besaran dan tentu saja masyarakat yang cerdas, berpikir logis dan tak mudah terprovokasi oleh janji-janji bohong. Kalau survei hendak diajukan, isinya tidak boleh lagi setuju atau tidak setuju harga BBM dinaikkan.

Akal sehat saya mengatakan, survei seperti ini sama dengan menanyakan anak sekolah dasar pilih yang mana, masuk surga atau neraka? Jawabannya pasti sudah jelas. Survei yang cerdas hanya membandingkan BBM murah, tapi tidak terjamin ketersediaan dan masa depannya, atau harga dinaikkan tetapi masa depan terjamin. Tetapi kalau cara kerjanya buruk, yang terjadi adalah harga naik dan mahal, ketersediaan buruk, jaminan masa depan energi tidak ada.

Bangun Logika Cerdas

Suasana politik seperti ini memang sungguh merisaukan. Pengambilan keputusan serbasulit, saling mengunci dan saling membohongi. Anda kaum cerdas mungkin bisa membedakan mana pemimpin yang baik dan benar serta mana politisi jujur dan yang mengaburkan masalah. Namun bagi rakyat kecil, perdebatan harga BBM sudah tidak jelas lagi.

Di beberapa stasiun pompa bensin, saya masih bisa menemukan pengemudi sepeda motor yang dengan kesadaran penuh membeli bensin nonsubsidi. Sayangnya, jumlah mereka tidak banyak. Sebagian besar rakyat tentu mengantre di jalur subsidi,dan tentu saja mereka mengaku sangat berkeberatan menggunakan BBM nonsubsidi atau BBM subsidi yang dinaikkan harganya.

Namun, mengapa seseorang bersedia membeli harga nonsubsidi perlu menjadi perhatian pembuat kebijakan. Semula saya berpikir orang yang saya temui di jalur nonsubsidi adalah rakyat yang kaya dengan pendapatan tinggi.Kalau tidak demikian, mungkin ia orang yang taat beribadah dan tahu persis bahwa subsidi BBM itu bukan haknya. Pikiran saya menerawang pada iklan-iklan yang dikeluarkan Kementerian ESDM yang menjelaskan siapa yang berhak mengonsumsi BBM bersubsidi.

Ternyata tidak. Orang yang saya temui ini mengatakan pertimbangannya logis saja. Pertama, ia tahu BBM murah identik dengan perawatan mesin yang mahal.Kedua,BBM murah membuat pengeluarannya boros, dan tarikan mesinnya terhambat. Ia mengaku dirinya bukanlah seorang yang religius, bukan penonton setia acara televisi, dan bukan pendukung partai yang berkuasa.

Sebagai warga negara, saya tentu maklum dengan kondisi birokrasi, ketentuan perundang- undangan yang carutmarut, koordinasi yang amburadul, situasi politik yang membingungkan dan infrastruktur yang buruk menyulitkan kita untuk mendapatkan BBM murah. Namun membiarkan rakyat hidup dalam logika yang tidak cerdas, bukanlah pilihan yang harus diambil baik oleh partai yang berkuasa,pemerintah, ilmuwan, pengamat politik, atau bahkan oleh oposisi sekalipun.

Bangsa ini perlu mereposisi dari cara memimpin bodoh-bodohan kepada cara cerdas yang berpikir jauh ke depan dan berorientasi pada kepentingan jangka panjang, yaitu energy security. Tanpa ketersediaan energi, bangsa ini tak akan pernah maju.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar