In
Memorium Prof Dr Ir Sajogyo :
Temanku,
Guruku, Bapakku
Gunawan Wiradi, Guru dan
Doktor Agraria, Sahabat,
Murid dan “Anak Ideologis” dari Prof. Sajogyo
SUMBER : SINDO, 22 Maret 2012
Sabtu
pagi,tanggal 17 Maret 2012, sekitar pukul 06.00 WIB, pagi sehabis mandi, saya
membuka telepon seluler (ponsel).Tenyata sudah ada tujuh SMS yang masuk ketika
saya sedang mandi.
Tentu
saja, ketika ponsel saya buka, yang pertama muncul adalah SMS yang masuk
terakhir. Bunyinya,“ Satu jaman telah berlalu, sepertinya kita sudah mandiri.
Namun, dengan kepergiaan beliau, rasanya limbung juga, apakah kita benar bisa
berjalan sendiri”. Deg... Berdebar hati saya. Apa arti kata “kepergian beliau”
dalam SMS itu? Cepat saya buka SMS yang lain. Semuanya memberi tahu bahwa satu
jam yang lalu Prof Sajogyo telah meninggalkan kita untuk selama-lamanya.
Bukan basabasi, terus-terang, air mata saya berlinang seketika. Dengan cepat, setelah berkomunikasi dengan Prof.Tjondronegoro, kami berdua sepakat segera pergi ke rumah duka. Dalam mengenang jasa dan jejak langkah almarhum Pak Sajogyo (panggilan akrab Prof Dr Ir Sajogyo),tentu banyak hal bisa diceritakan dengan panjang lebar. Setiap orang akan menguraikan sesuai dengan pengalamannya masing-masing selama berinteraksi dengan beliau.
Pemikirannya, keberpihakannya kepada kaum lemah, pengembaraan ilmiahnya, strategi perjuangannya, keteladanan sikapnya, dsb, semuanya itu dapat diulas dengan jernih dan kritis. Namun, saya merasa kekurangan katakata untuk dapat melukiskannya dengan baik dan apalagi tak mungkin semua itu disampaikan dalam ruang yang terbatas,dalam surat kabar seperti ini. Karena itu,dua hal pokok saja yang ingin saya sampaikan di sini secara ringkas.
Pertama, makna hakiki dari keberadaan almarhum sebagai ilmuwan, dan kedua, renungan saya pribadi sebagai manusia yang bergaul sekian lama dengan almarhum, pelajaran apa yang saya peroleh dari almarhum. Menurut saya, jasa dan makna kiprah Prof Sajogyo bukan sekadar masalah “garis kemiskinan”, bukan hanya soal Badan Usaha Buruh Tani (BUBT), bukan sekadar masalah gizi, bukan hanya soal “transmigrasi yang memindahkan kemiskinan”, dan lain sebagainya yang sudah banyak diulas oleh ilmuwan lain.
Bagi saya, hakikat dari ketokohan beliau adalah bahwa beliau merupakan personifikasi dari model pejuang yang “melawan ketidakadilan melalui ilmu pengetahuan”. Beliau membela kaum lemah melalui ilmu pengetahuan. Dengan ilmu pengetahuan, kita turut mencerdaskan kehidupan bangsa.Dengan ilmu pengetahuan, kita menjaga persatuan bangsa.
Dengan ilmu pengetahuan, kita memahami aspirasi rakyat dan bersama rakyat. “Ilmiah, tapi manusiawi”, itulah salah satu petuah yang sering disampaikan kepada murid-muridnya, yang sempat saya catat. Semuanya itu tercermin atau dapat dilacak dari berbagai tema yang dipilihnya dalam penelitian, serta alternatif metodologi yang dikembangkannya.
Di samping sikapnya dalam hal penelitian,ada satu hal yang amat bermanfaat, setidaknya bagi saya; mantan Perdana Menteri Inggris di Akhir Abad ke-17, Disraeli, pernah menyatakan bahwa: “Masa muda adalah masa ketololan. Masa dewasa adalah masa perjuangan. Masa tua adalah masa penyesalan!” Barangkali, pernyataan tersebut didasarkan atas pengalaman hidup Disraeli sendiri.
Tetapi, walaupun secara implisit, petuah almarhum Pak Sajogyo yang dapat saya tangkap adalah berbeda: “Masa muda adalah masa penggemblengan, yaitu masa belajar dan pembajaan diri. Masa dewasa adalah masa perjuangan,dan masa tua adalah masa kearifan.” Begitulah seharusnya!
Renungan Lain
Di tahun 1950-an sistem pendidikan tinggi di Indonesia adalah sistem warisan Belanda, yang kenaikan jenjangnya bukan berdasarkan semesteran, melainkan atas dasar ujian tahunan. Khusus di Fakultas Pertanian Bogor (yang waktu itu masih bernaung di bawah Universitas Indonesia/UI), program studi untuk menjadi insinyur adalah lima setengah tahun, terdiri dari lima tingkatan, masing-masing tingkat satu tahun, kecuali tingkat terakhir satu setengah tahun.
Setiap tahun ada ujian dan yang lulus lalu mendapat ijazah. Ketika saya masuk menjadi mahasiswa di tahun 1953, almarhum Pak Sajogyo (yang waktu itu bernama Kampto Utomo) sudah duduk di tingkat terakhir. Status itu merupakan jarak senioritas yang amat jauh dalam konteks sistem pendidikan saat itu. Walaupun demikian, kami berdua toh masih sama-sama mahasiswa, dan kebetulan sama-sama aktivis,walaupun dalam organisasi mahasiswa yang berbeda.
Kami sering bertemu dan berdebat. Itulah mengapa saya menyebut almarhum sebagai “temanku”. Tahun 1957 beliau sudah menjadi doktor dan menjadi dosen saya, bahkan kemudian tak disangka beliau menjadi pembimbing dalam menyiapkan skripsi saya. Itulah sebabnya saya menyebut “guruku”. Dalam suasana formal, almarhum Pak Sajogyo selalu nampak serius, bahkan terkesan “angker”.
Namun setelah suasana formal itu berakhir, kembali beliau menjadi “temanku”, santai, kadang bergurau, bahkan kadang berdiskusi mengenai soal-soal kehidupan, di luar soal mata kuliah. Dalam suasana demikianlah beliau adalah “guruku” dalam arti luas. Almarhum Prof Sajogyo adalah juga “bapakku”. Ketika suatu saat saya mengalami “puncak kesulitan”, beliaulah yang mengulurkan tangan menolongku.
Ketika saya belajar di Malaysia, beliau menyempatkan diri untuk mengunjungi saya, bahkan tiduran di ranjang dalam kamar saya di asrama, sambil berkata: “Jika engkau setelah lulus dari sini tak ada instansi yang mau menerima tenagamu, tak usah khawatir, bilang saya!” Peristiwa itu tak akan pernah saya lupakan. Demikianlah sekelumit renungan. Jasa almarhum bagi masyarakat, khususnya bagi pengembangan ilmu dalam dunia akademik tak diragukan telah diakui oleh banyak kalangan.
Sumbangan pemikirannya bagi kemajuan dan perkembangan bangsa ini juga telah terbukti dengan dijadikannya gagasan-gagasan beliau menjadi bahan pertimbangan bagi para penentu kebijakan. Kini, tokoh ilmuwan-pejuang itu telah tiada. Semoga amal baktinya diterima oleh Tuhan Yang Maha Esa, dan segala kesalahannya diampuni-Nya. Selamat jalan Pak Sajogyo. ●
Bukan basabasi, terus-terang, air mata saya berlinang seketika. Dengan cepat, setelah berkomunikasi dengan Prof.Tjondronegoro, kami berdua sepakat segera pergi ke rumah duka. Dalam mengenang jasa dan jejak langkah almarhum Pak Sajogyo (panggilan akrab Prof Dr Ir Sajogyo),tentu banyak hal bisa diceritakan dengan panjang lebar. Setiap orang akan menguraikan sesuai dengan pengalamannya masing-masing selama berinteraksi dengan beliau.
Pemikirannya, keberpihakannya kepada kaum lemah, pengembaraan ilmiahnya, strategi perjuangannya, keteladanan sikapnya, dsb, semuanya itu dapat diulas dengan jernih dan kritis. Namun, saya merasa kekurangan katakata untuk dapat melukiskannya dengan baik dan apalagi tak mungkin semua itu disampaikan dalam ruang yang terbatas,dalam surat kabar seperti ini. Karena itu,dua hal pokok saja yang ingin saya sampaikan di sini secara ringkas.
Pertama, makna hakiki dari keberadaan almarhum sebagai ilmuwan, dan kedua, renungan saya pribadi sebagai manusia yang bergaul sekian lama dengan almarhum, pelajaran apa yang saya peroleh dari almarhum. Menurut saya, jasa dan makna kiprah Prof Sajogyo bukan sekadar masalah “garis kemiskinan”, bukan hanya soal Badan Usaha Buruh Tani (BUBT), bukan sekadar masalah gizi, bukan hanya soal “transmigrasi yang memindahkan kemiskinan”, dan lain sebagainya yang sudah banyak diulas oleh ilmuwan lain.
Bagi saya, hakikat dari ketokohan beliau adalah bahwa beliau merupakan personifikasi dari model pejuang yang “melawan ketidakadilan melalui ilmu pengetahuan”. Beliau membela kaum lemah melalui ilmu pengetahuan. Dengan ilmu pengetahuan, kita turut mencerdaskan kehidupan bangsa.Dengan ilmu pengetahuan, kita menjaga persatuan bangsa.
Dengan ilmu pengetahuan, kita memahami aspirasi rakyat dan bersama rakyat. “Ilmiah, tapi manusiawi”, itulah salah satu petuah yang sering disampaikan kepada murid-muridnya, yang sempat saya catat. Semuanya itu tercermin atau dapat dilacak dari berbagai tema yang dipilihnya dalam penelitian, serta alternatif metodologi yang dikembangkannya.
Di samping sikapnya dalam hal penelitian,ada satu hal yang amat bermanfaat, setidaknya bagi saya; mantan Perdana Menteri Inggris di Akhir Abad ke-17, Disraeli, pernah menyatakan bahwa: “Masa muda adalah masa ketololan. Masa dewasa adalah masa perjuangan. Masa tua adalah masa penyesalan!” Barangkali, pernyataan tersebut didasarkan atas pengalaman hidup Disraeli sendiri.
Tetapi, walaupun secara implisit, petuah almarhum Pak Sajogyo yang dapat saya tangkap adalah berbeda: “Masa muda adalah masa penggemblengan, yaitu masa belajar dan pembajaan diri. Masa dewasa adalah masa perjuangan,dan masa tua adalah masa kearifan.” Begitulah seharusnya!
Renungan Lain
Di tahun 1950-an sistem pendidikan tinggi di Indonesia adalah sistem warisan Belanda, yang kenaikan jenjangnya bukan berdasarkan semesteran, melainkan atas dasar ujian tahunan. Khusus di Fakultas Pertanian Bogor (yang waktu itu masih bernaung di bawah Universitas Indonesia/UI), program studi untuk menjadi insinyur adalah lima setengah tahun, terdiri dari lima tingkatan, masing-masing tingkat satu tahun, kecuali tingkat terakhir satu setengah tahun.
Setiap tahun ada ujian dan yang lulus lalu mendapat ijazah. Ketika saya masuk menjadi mahasiswa di tahun 1953, almarhum Pak Sajogyo (yang waktu itu bernama Kampto Utomo) sudah duduk di tingkat terakhir. Status itu merupakan jarak senioritas yang amat jauh dalam konteks sistem pendidikan saat itu. Walaupun demikian, kami berdua toh masih sama-sama mahasiswa, dan kebetulan sama-sama aktivis,walaupun dalam organisasi mahasiswa yang berbeda.
Kami sering bertemu dan berdebat. Itulah mengapa saya menyebut almarhum sebagai “temanku”. Tahun 1957 beliau sudah menjadi doktor dan menjadi dosen saya, bahkan kemudian tak disangka beliau menjadi pembimbing dalam menyiapkan skripsi saya. Itulah sebabnya saya menyebut “guruku”. Dalam suasana formal, almarhum Pak Sajogyo selalu nampak serius, bahkan terkesan “angker”.
Namun setelah suasana formal itu berakhir, kembali beliau menjadi “temanku”, santai, kadang bergurau, bahkan kadang berdiskusi mengenai soal-soal kehidupan, di luar soal mata kuliah. Dalam suasana demikianlah beliau adalah “guruku” dalam arti luas. Almarhum Prof Sajogyo adalah juga “bapakku”. Ketika suatu saat saya mengalami “puncak kesulitan”, beliaulah yang mengulurkan tangan menolongku.
Ketika saya belajar di Malaysia, beliau menyempatkan diri untuk mengunjungi saya, bahkan tiduran di ranjang dalam kamar saya di asrama, sambil berkata: “Jika engkau setelah lulus dari sini tak ada instansi yang mau menerima tenagamu, tak usah khawatir, bilang saya!” Peristiwa itu tak akan pernah saya lupakan. Demikianlah sekelumit renungan. Jasa almarhum bagi masyarakat, khususnya bagi pengembangan ilmu dalam dunia akademik tak diragukan telah diakui oleh banyak kalangan.
Sumbangan pemikirannya bagi kemajuan dan perkembangan bangsa ini juga telah terbukti dengan dijadikannya gagasan-gagasan beliau menjadi bahan pertimbangan bagi para penentu kebijakan. Kini, tokoh ilmuwan-pejuang itu telah tiada. Semoga amal baktinya diterima oleh Tuhan Yang Maha Esa, dan segala kesalahannya diampuni-Nya. Selamat jalan Pak Sajogyo. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar