Rabu, 21 Maret 2012

Pahitnya Liberalisasi Perdagangan


Pahitnya Liberalisasi Perdagangan
Tawaf T. Irawan, DIREKTUR EKONOMI LEMBAGA STUDI DAN PENGEMBANGAN ETIKA USAHA
SUMBER : SUARA KARYA, 21 Maret 2012



Sekiranya tidak ada yang salah jika liberalisasi perdagangan dulu disepakati, kepercayaan yang demikian tinggi dari para elit republik ini cukup menyamankan kita semua. Karena dengan liberalisasi perdagangan, persaingan akan kian efektif yang berujung pada efisiensi harga barang dan jasa. Tapi terkadang "cerita indah" itu pada kenyataannya sering sulit ditemukan.

Mungkin dalam hal ini dapat ditengok nasib kalangan pekerja atau buruh, yang akhirnya mesti kehilangan mata pencaharian akibat adanya liberalisasi perdagangan. Hal ini misalnya dapat dibuktikan dari hasil kajian International Labor Organization (ILO) dari kegiatan Assessing and Addressing the Effect of International Trade on Employment. Dalam hal ini, sektor yang mengalami defisit tenaga kerja adalah sektor perdagangan yaitu sebanyak 55.563 orang, sektor pertanian tanaman pangan 53.302 orang, dan sektor industri pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit sebanyak 49.965 orang.
Kekhawatiran yang patut diterima di sini adalah dampak dari liberalisasi perdagangan tersebut justru menghantam sektor-sektor yang notabene menghidupi banyak orang, yaitu sektor padat karya. Secara jujur, hingga saat ini bangsa kita masih cukup mengandalkan industri padat karya (labor intensive). Sebab, industri ini tidak terlalu membutuhkan kecakapan tinggi dalam bekerja. Demikian pula tingkat pendidikan yang dibutuhkan. Karena itulah, corak industri ini cukup relevan dengan kondisi sosial masyarakat kita.
Misalnya kesepakatan ASEAN - China Free Trade Area (ACFTA), merupakan salah satu kesepakatan yang menjadi bumerang bagi industri padat karya kita. Sejak pemberlakuan kesepakatan tersebut pada 1 Januari 2010, industri padat karya telah mengalami tekanan kuat, yang akhirnya telah menghilangkan setidaknya 150.000 peluang kerja. Jauh sebelumnya, antara 2006-2008, sekitar 1.650 industri bangkrut karena tidak sanggup bersaing dengan produk impor dari China.
Kondisi ini tidak dapat dihindari juga berdampak pada kinerja neraca perdagangan (current account) kita. Hasil publikasi BPS, pada 2010 perdagangan Indonesia-China defisit sekitar dua miliar dolar AS, yang kemudian pada 2011 menggelembung menjadi sekitar tiga miliar dolar AS.
Bahkan, saat ini tidak sedikit para pelaku industri membanting stir menjadi importir karena menurutnya lebih menguntungkan. Jika kecenderungan ini terus dibiarkan, maka industri kita terutama yang padat karya akan mengalami "pendarahan" hebat.
Dalam relasi ekonomi antara desa dan kota, ditetapkan bahwa desa diposisikan sebagai produsen hasil-hasil pertanian. Maka dalam praktiknya kemunculan pasar tradisional adalah sebuah kesengajaan untuk menempatkan posisi orang kota sebagai konsumen hasil pertanian. Relasi ini telah berjalan cukup panjang sebelum munculnya liberalisasi perdagangan yang melahirkan sosok pasar modern.
Kalangan petani yang telah menempatkan dirinya sebagai produsen secara turun-tumurun akhirnya mengalami desakan cukup kuat. Produk-produk pertanian yang dihasilkan oleh negara lain masuk dengan masifnya melalui impor. Produk-produk tersebut dengan angkuhnya bertengger di pasar-pasar modern. Realitas ini akhirnya sebagian telah berhasil memutus mata rantai tata niaga antara desa dan kota yang selama ini telah terbangun. Seiring dengan itu pun, pasar tradisional menghilang satu per satu.
Dengan kondisi ini, relasi yang terbangun kemudian adalah relasi baru, yaitu antara hasil pertanian impor dan pasar modern. Secara intensif relasi ini telah menciptakan disinsentif bagi pertanian lokal. Pertanian menjadi tidak menarik lagi untuk disentuh. Masyarakat pun telah mengalami pergeseran selera belanja dari pasar tradisional ke pasar modern. Bahkan hal ini telah menciptakan nilai-nilai baru dalam gaya hidup berbelanja.
Apa yang telah dilakukan dengan kota pertanian (agropolitan), adalah bentuk dari sebagian keinginan untuk merelasikan kembali hubungan ekonomi desa kota. Tetapi, dalam praktiknya, hal ini juga kurang memberikan keyakinan bagi banyak pihak. Masih ada beberapa kelemahan dari konsep ini.
Pertama, pendekatan agropolitan masih menitikberatkan pada aspek tata ruang. Padahal, yang lebih penting di sini adalah bagaimana mengantisipasi desakan yang hebat dari liberalisasi perdagangan. Semangat liberalisasi terlihat jelas dari, bagaimana terbentuknya tata niaga hasil pertanian di wilayah agropolitan.
Kalangan petani tidak memiliki daya tawar sama sekali atas hasil-hasil produk pertaniannya. Peran tengkulak (pemodal) demikian besarnya dalam membentuk harga. Sebagian besar tengkulak memiliki relasi dengan pasar modern. Petani mendapatkan tambahan keuntungan bukan karena faktor harga jual, namun karena adanya pengurangan biaya produksi dan pemasaran. Artinya, ada efisiensi dengan terbangunnya infrastruktur di kawasan agropolitan.
Kedua, kurang diperhatikannya pembangunan dan pengembangan kelembagaan ekonomi di tingkat desa. Kondisi ini cukup terasa di banyak wilayah agropolitan yang ada di Indonesia. Adanya liberalisasi perdagangan terkesan menjadi tidak terlalu penting memikirkan kelembagaan ekonomi wilayah pedesaan. Padahal, tanpa adanya kelembagaan itu terlalu jelas posisi tawar petani akan demikian lemah. Karena, petani akan banyak bergerak secara individu dan kurang terhimpun secara kolektif.
Rencana perumusan UU Perdagangan terdengar menjadi angin segar untuk petani dan industri lokal. Petani selaku produsen akan lebih terlindungi. Industri juga akan termotivasi untuk menggenjot ekspor. Dari sini setidaknya berharap rasa pahitnya liberalisasi perdagangan bisa banyak dikurangi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar