Gubernur
dan Mimpi Historis Betawi
J.J.
Rizal,
PENELITI SEJARAH
SUMBER : KORAN TEMPO, 21 Maret 2012
Orang Betawi sejak dulu punya mimpi historis.
Mimpi itu menjadi kenyataan. Akhirnya putra Betawi memimpin kampungnya sendiri.
Fauzi Bowo naik sebagai Gubernur DKI Jakarta periode 2007-2012. Sekarang Foke
hendak naik lagi.
Seperti pemilihan kepala daerah yang lalu,
Foke masih berusaha tampil dengan dukungan partai yang luas. Tapi rupanya
sekarang peta sudah berubah sama sekali. Partai-partai besar punya calonnya
masing-masing. Adapun banderol yang dipasang partai untuk menyerahkan dukungan
terlalu tinggi. Foke pun kudu puas di luar Partai Demokrat hanya
dapat--meminjam ungkapan Betawi--restan alias sisa, yaitu partai-partai
menengah dan kecil. Tapi Foke percaya ada satu kantong suara besar bernama
Betawi, yang sekali lagi dia anggap dapat diandalkan dan jauh lebih murah
ongkosnya, malah gratis.
Menggandeng Nachrowi Ramli, yang Ketua Umum
Bamus Betawi, bisa karena kebuntuan negosiasi politik, tapi bagaimanapun ini
jika dikaitkan dengan bagaimana membulatkan suara Betawi. "Kami lahir di
Jakarta, karena itu kami bertekad membangun tanah kelahiran kami," kata
Foke dalam jumpa pers pencalonannya bersama Nachrowi. Aha, sentimen
kebetawian sejak dini sudah didengungkan. Tapi apa masih ampuh "mimpi
historis Betawi" digunakan duo Betawi, Foke-Nara?
Suatu saat, pengamat politik R. William
Liddle tak jemu-jemunya berteriak ihwal pentingnya memperhatikan sifat dan ciri
partisipasi rakyat dalam kehidupan politik di aras lokal. Sebab, dengan begitu
akan tampaklah persoalan-persoalan besar dan akan lebih lengkaplah gambaran
perubahan sosial yang terjadi.
Sejak dulu orang Betawi memiliki
persoalan-persoalan besar dalam partisipasi politik lokal. Lance Castles dalam Ethnic
Profile Jakarta (1967) dengan tepat memperlihatkan persoalan orang Betawi,
yaitu di tengah etnis lain di Ibu Kota, orang Betawi terkonstelasi sebagai
orang yang inferior, dan proporsi elite politiknya kecil dibanding jumlah
mereka yang besar. Orang Betawi di tanahnya sendiri harus menyaksikan semua
peran elite disediakan untuk etnis lain. Pendidikan yang rendah menjadi
musababnya dan itu dilihat sebagai dampak zaman particuliere landerijen,
zaman tuan tanah yang luar biasa mencekik dan memerah. Dalam konteks itulah ada
konotasi inferior pada kata "Betawi". Lantas menjadi ethnic
stereotype yang diucapkan senapas saban menyebut orang Betawi. Karena itu,
menurut antropolog Yasmin Z. Shahab, pada 1960-an hal yang biasa jika orang
Betawi menyembunyikan kebetawiannya.
Castles memang dilaknat orang Betawi karena
menyebut mereka keturunan budak. Tapi pendapatnya dianggap benar, "Kalau
ingin dianggap eksis dan tidak terpinggir, perlu memperbesar proporsi elite
politik." Orang Betawi harus napak jenjang politik tertinggi yang sohor,
dalam kebudayaan Betawi disebut "orang pangkat-pangkat", orang yang
punya kuasa dan kekuatan mengubah keadaan.
Pemikiran itu meraja di kepala orang Betawi
ketika terjadi kebangkitan Betawi pada 1970-an. Di tengah masyarakat Betawi
muncul dorongan-dorongan sosial-budaya-politik yang memacu kebanggaan diri
sebagai Betawi, terutama dari Gubernur Ali Sadikin, yang menjadikan kebudayaan
Betawi sebagai identitas budaya Jakarta. Termasuk peran orang Betawi sendiri,
seperti Benyamin S. dan Firman Muntaco, yang membawa gaya dan tradisi budaya
Betawi menjadi gaya hidup yang fenomenal. Sementara pada 1950-an orang Betawi
merasa canggung menampilkan diri sebagai "anak Betawi", lebih bangga
menyebut diri "anak Djakarta", pada 1970-an rupa-rupa organisasi
Betawi dengan bangga menjembreng nama Betawi, misalnya Lembaga Kebudayaan
Betawi, Keluarga Mahasiswa Betawi, dan Persatuan Wanita Betawi.
Di keramaian suara eksistensi Betawi yang
menguat dan memunculkan solidaritas komunal itulah, jaringan elite Betawi yang
mulai terbentuk terus diajukan masyarakatnya untuk jabatan Gubernur Jakarta.
Namun elite Betawi dianggap Orde Baru, yang tak pantas menduduki kepangkatan
itu. Paling banter mendapat kesempatan sampai pangkat wakil gubernur. Karena
itu, ketika reformasi tiba dan mendepak budaya "main tunjuk" kepala
daerah seraya mendemokratisasinya menjadi pemilihan langsung, seketika orang
Betawi diliputi courage culture, kebudayaan si pemberani, si semangat
yang dipanggang oleh emosi dan mau berbuat apa saja untuk itu. Walhasil,
semodern apa pun pemilihan kepala daerah DKI Jakarta, ketradisionalannya tetap
berasa sebagaimana tecermin dalam sikap selon alias habis-habisan orang
Betawi dalam menggotong jagonya yang masih bisa dilacak primordial
kebetawiannya. Bagi mereka inilah saatnya mewujudkan mimpi historis yang akan
menghapus konotasi inferior Betawi.
Solidaritas komunal diperkuat untuk kompetisi
prestatif ini. Meskipun ramai nian para intelek sohor bicara sampai mulutnya
meniran ihwal bagaimana sikap rasional yang kudu diambil para makhluk
metropolis penghuni Jakarta dalam menghadapi pilkada, orang Betawi sudah
"lurus mistar": sekali Betawi tetap Betawi. Sikap orang Betawi yang
beginilah yang membikin pilkada Jakarta berasa persis pemilihan kepala desa di
Jawa. Tak buang barang sepotong.
Benarlah kalau para sosiolog kota menyatakan,
bagaimanapun modernnya, Jakarta tetap sebuah desa, sebuah kampung besar.
Lazimnya kampung tentu punya tempat untuk yang irasional. Nah, di sini
bahayanya. Di sinilah orang Betawi dan sang gubernur Betawi diuji. Banyak orang
Betawi cuma menjadi loyalis buta gubernur Betawi. Tiada sikap kritis hanya
melihat dia sebagai satu-satunya sumber kebenaran dan jalan kebangkitan Betawi.
Padahal kenyataannya terbukti tidak ada hubungan antara orang Betawi menjadi
gubernur dan kemajuan serta perbaikan nasib mereka. Gubernur Betawi terbukti
dengan gampang mengambil sikap "habis manis sepah dibuang". Gubernur
Betawi bukan hanya tak tahu terima kasih dan khianat, tapi juga mengabaikan
potensi dan momentum yang dapat dimanfaatkannya dari solidaritas komunal orang
Betawi yang telah terbentuk saat pilkada itu.
Tak ayal orang Betawi pun gagal
mempertahankan dan mengarahkan kohesi, kerja sama, serta solidaritas komunal-tradisional
yang telah ditunjukkan dalam pilkada Jakarta untuk tujuan-tujuan baru atau
basis inovasi. Otomatis orang Betawi gagal mendapati dirinya sebagai salah satu
elemen masyarakat yang penting dari elemen-elemen masyarakat lainnya di Jakarta
yang akan mendukung sang gubernur Betawi menjadi agen pembangun, inovator, atau
protagonis perubahan, bukan hanya bagi masyarakat Betawi, tapi juga Jakarta.
Namun itu bukan mutlak kesalahan sang
gubernur Betawi. Organisasi terbesar dan terpenting orang Betawi yang semula
menjadi mesin pendorong gubernur Betawi pun kurang sekali memainkan peran
sebagai mitra dialog. Malah, ketika gubernurnya orang Betawi,
organisasi-organisasi Betawi itu jadi melempem, mengalami kejumudan, dan tidak
punya kemampuan berkembang sebagai partner kerja yang kritis bagi gubernur
Betawi. Sekarang, setelah berakhir kepemimpinan Foke sebagai Gubernur DKI
Jakarta dan Nachrowi sebagai Ketua Umum Bamus Betawi (organisasi Betawi
terbesar dan paling berpengaruh), situasi itu malah bertambah parah.
Karena itu, kalaupun berhasil, tetap saja
suatu ironi besar jika sekarang mimpi historis Betawi itu kembali
digadang-gadang keduanya. Sementara itu, dalam kilas balik jelas sekali mereka
kurang sekali peduli terhadap raison d'etre atau alasan-alasan orang
Betawi punya mimpi historis menjadi orang nomor satu di kampungnya sendiri.
Lupa bahwa mereka rindu akan M.H. Thamrin, sosok yang menyerahkan seluruh
waktu, harta, dan energinya untuk mengikis keterbelakangan, kekurangan
pendidikan, kemiskinan, dan semua yang buruk-buruk yang mendera bukan hanya
kaum Betawi, tapi kaum urban miskin kota yang mayoritas penghuni Jakarta.
Dialah sosok yang punya jurus-jurus maut untuk menghadapi persoalan-persoalan
besar Jakarta, seperti banjir, kemacetan, polusi, sampah, nyamuk, sektor
informal, kriminalitas, narkoba, aparatus pemerintah provinsi yang
korup-malas-tak kreatif, dan lain-lain. Dan untuk kepentingan mulia itu, mereka
tak gentar pada apa pun yang menghalangi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar