Kamis, 22 Maret 2012

Harga BBM dan Politik Inkonsistensi


Harga BBM dan Politik Inkonsistensi
Eko Harry Susanto, DEKAN FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS TARUMANAGARA, JAKARTA; KETUA ASOSIASI PENDIDIKAN TINGGI ILMU KOMUNIKASI (ASPIKOM) PUSAT
SUMBER : MEDIA INDONESIA, 21 Maret 2012



PARTAI Keadilan Sejahtera menolak penaikan harga BBM. Padahal, sebagai entitas yang ada dalam kekuasaan, sudah selayaknya jika mereka ikut bertanggung jawab terhadap kebijakan pemerintah yang dikeluarkan. Jadi benar seperti kata Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, kalau menolak penaikan harga BBM, berarti bukan anggota koalisi.

Sesungguhnya politisi dalam kubu kekuasaan yang menolak penaikan harga BBM bukan hanya dari PKS. Sejumlah elite Partai Golkar juga menyuarakan hal yang sama. Namun sebaliknya, menteri dari parpol tetap mendukung kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga BBM. Pada konteks ini Menteri Sosial Salim Segaf Al Jufri, dalam berbagai kesempatan, mengungkapkan bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) merupakan pilihan yang tepat bagi pemerintah untuk mengatasi dampak penaikan harga BBM.

Suara menteri parpol yang linier dengan pemerintah bisa dimaklumi, mengingat menteri merupakan subordinat dari kekuasaan negara, yang wajib mendukung roda pemerintahan SBY­Boediono sampai 2014. Menteri parpol juga harus tunduk kepada kontrak kinerja dan pakta integritas Kabinet Indonesia Bersatu II, yang mewajibkan bekerja dengan standar perilaku yang boleh dan tidak boleh dilakukan.

Ikatan Kuat

Setelah mencermati dua suara berbeda dalam komunikasi politik yang berasal dari kubu Cikeas, yang menjadi pertanyaan ialah apakah menteri dari partai politik memang telah memutus rantai ikatan dengan partai politik. Jawabannya `mustahil' jika melepaskan diri dari kekuatan politik yang mendudukkan ia di posisi strategis pada belantika politik kekuasaan di Indonesia. Jabatan menteri dapat dimanfaatkan untuk melakukan mobilisasi massa secara tersembunyi untuk kepentingan politik.

Dengan kemasan aneka kegiatan yang ditujukan kepada rakyat, tugas dan tanggung jawab kementerian akan bias dengan kehendak dan tujuan partai.

Pemanfaatan kementerian oleh berbagai pihak di tubuh parpol tampak pula dalam sejumlah persoalan korupsi di institusi pemerintah yang melibatkan para pesohor partai. Artinya, ada relasi kohesif antara kementerian dalam kekuasaan parpol dan eksistensi partai politik yang berusaha untuk menggunakan pengaruhnya.

Dua model komunikasi politik parpol koalisi yang terkesan tidak konsisten itu, ke depan, akan semakin sering muncul dalam perdebatan yang menyangkut kebijakan pemerintah. Tujuannya jelas, sebagai pencitraan agar masyarakat tetap memiliki kepercayaan terhadap partai di tubuh koalisi yang tetap kritis kepada kekuasaan negara dan konsisten memperjuangkan kepentingan rakyat.

Dalam mencermati sikap itu, sesungguhnya parpol koalisi, tentu dalam hal ini bukan sebatas yang terjadi di PKS saat ini, berusaha menjalankan tiga strategi komunikasi politik yang difokuskan untuk kepentingan partai politik. Pertama, parpol mengeksplorasi pesan berisi kritik kepada pemerintah, yang diasumsikan mengeluarkan kebijakan tidak menguntungkan masyarakat, seperti halnya rencana penaikan harga BBM.

Penetapan harga baru BBM memang disukai dan diunggulkan kalangan intelektual yang mengagungkan angka dalam kalkulasi materialistis. Namun di pihak lain, tidak populer di mata rakyat. Pada konteks ini, para politisi koalisi berusaha meyakinkan tentang keberpihakannya untuk berada di belakang rakyat yang menolak penaikan harga BBM.

Kedua, strategi komunikasi politik yang dipakai ialah menanamkan keyakinan kepada SBY dan Partai Demokrat. Melalui menteri yang ada di KIB II, parpol koalisi mengorganisasikan pesan kepada publik tentang dukungannya kepada kebijakan pemerintahan. Sikap tersebut sebagai manifestasi membangun kesamaan makna dalam komunikasi linier yang sejalan dengan kehendak pemerintah.

Adapun strategi komunikasi politik yang ketiga ialah menyebarkan pesan untuk membangun kekuatan partai. Pola komunikasi transaksional itu berimpitan dengan sikap pertama yang tidak setuju dengan kebijakan pemerintah, tetapi dalam nuansa terang-terangan ataupun terselubung.

Dengan kata lain, sesungguhnya setiap pesan politik yang dieksplorasi memiliki tujuan untuk kepentingan perjuang an parpol. Dengan pijakan tiga model komunikasi poli tik itu, alangkah mustahil partai politik mampu mem perjuangkan kesejahteraan rakyat secara total.

Terlebih lagi kecenderungan yang muncul dalam setiap komunikasi politik ialah mengedepankan pilihan ketiga untuk mem perjuangkan dan membangun kepentingan kelompok kelompok yang ada dalam partai politik.

Tidak Merasa Kehilangan

Pola komunikasi politik yang dilakukan sesuai arah angin itu, dalam kalkulasi politik praktis, akan semakin menguat mendekati Pemilu 2014.

Akan bermunculan kebijakan kementerian yang di gawangi parpol, dengan label peningkatan mutu, produktivitas, efisiensi dan slogan lain yang hebat, tetapi sebenarnya melemahkan posisi pemerintah. Pada konteks ini, kalaupun menteri par pol tidak merasa membuat kebijakan kurang populer, tampaknya mereka sudah merasa `tidak kehilangan' jika institusi yang dipimpin ternyata menggelembungkan ketidakpercayaan terhadap pemerintahan SBY-Boediono.

Namun, yang paling celaka, dikaitkan dengan Pemilu 2014, komunikasi sesuai arah angin tidak hanya dilakukan menteri parpol. Bukan mustahil menteri dengan label profesional juga bermain mata dengan para politikus yang potensial, dengan membuat kebijakan yang tidak sesuai harapan SBY­Boediono. Mungkin terlalu berlebihan kalau memprediksikan menteri yang ahli di bidangnya menjalin kerja sama tersamar atau secara sarkasme sebagai `persekongkolan' dengan kekuatan parpol yang berpeluang unggul pada 2014. Namun persoalannya, dalam dogma politik untuk memburu jabatan di pemerintahan, justru pola komunikasi dan interaksi politik semacam itu yang diunggulkan elite untuk tetap berada di lingkaran kekuasaan.

Oleh karena itu, tampaknya penaikan harga BBM yang menuai kritik di satu pihak dan memperoleh dukungan di pihak lain hanyalah awal dari tiga model komunikasi politik yang dijalankan oleh partai politik dan sejumlah pihak pemburu kekuasaan.

Memang dalam belenggu politik inkonsistensi, teramat sulit bagi pemerintahan SBY­ Boediono untuk mengandalkan partai koalisi sebagai pendukung kebijakan, dan tidak mudah untuk percaya sepenuhnya kepada KIB II, yang sebenarnya diharapkan memiliki loyalitas dan integritas dalam menjalankan roda kekuasaan negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar