Harga
BBM dan Politik Inkonsistensi
Eko Harry Susanto, DEKAN
FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS TARUMANAGARA, JAKARTA; KETUA ASOSIASI
PENDIDIKAN TINGGI ILMU KOMUNIKASI (ASPIKOM) PUSAT
SUMBER : MEDIA INDONESIA, 21 Maret 2012
PARTAI
Keadilan Sejahtera menolak penaikan harga BBM. Padahal, sebagai entitas yang
ada dalam kekuasaan, sudah selayaknya jika mereka ikut bertanggung jawab
terhadap kebijakan pemerintah yang dikeluarkan. Jadi benar seperti kata Ketua
Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, kalau menolak penaikan harga BBM,
berarti bukan anggota koalisi.
Sesungguhnya
politisi dalam kubu kekuasaan yang menolak penaikan harga BBM bukan hanya dari
PKS. Sejumlah elite Partai Golkar juga menyuarakan hal yang sama. Namun
sebaliknya, menteri dari parpol tetap mendukung kebijakan pemerintah untuk
menaikkan harga BBM. Pada konteks ini Menteri Sosial Salim Segaf Al Jufri,
dalam berbagai kesempatan, mengungkapkan bantuan langsung sementara masyarakat
(BLSM) merupakan pilihan yang tepat bagi pemerintah untuk mengatasi dampak
penaikan harga BBM.
Suara
menteri parpol yang linier dengan pemerintah bisa dimaklumi, mengingat menteri
merupakan subordinat dari kekuasaan negara, yang wajib mendukung roda
pemerintahan SBYBoediono sampai 2014. Menteri parpol juga harus tunduk kepada
kontrak kinerja dan pakta integritas Kabinet Indonesia Bersatu II, yang
mewajibkan bekerja dengan standar perilaku yang boleh dan tidak boleh
dilakukan.
Ikatan Kuat
Setelah
mencermati dua suara berbeda dalam komunikasi politik yang berasal dari kubu
Cikeas, yang menjadi pertanyaan ialah apakah menteri dari partai politik memang
telah memutus rantai ikatan dengan partai politik. Jawabannya `mustahil' jika
melepaskan diri dari kekuatan politik yang mendudukkan ia di posisi strategis
pada belantika politik kekuasaan di Indonesia. Jabatan menteri dapat
dimanfaatkan untuk melakukan mobilisasi massa secara tersembunyi untuk
kepentingan politik.
Dengan
kemasan aneka kegiatan yang ditujukan kepada rakyat, tugas dan tanggung jawab
kementerian akan bias dengan kehendak dan tujuan partai.
Pemanfaatan
kementerian oleh berbagai pihak di tubuh parpol tampak pula dalam sejumlah
persoalan korupsi di institusi pemerintah yang melibatkan para pesohor partai.
Artinya, ada relasi kohesif antara kementerian dalam kekuasaan parpol dan
eksistensi partai politik yang berusaha untuk menggunakan pengaruhnya.
Dua
model komunikasi politik parpol koalisi yang terkesan tidak konsisten itu, ke
depan, akan semakin sering muncul dalam perdebatan yang menyangkut kebijakan
pemerintah. Tujuannya jelas, sebagai pencitraan agar masyarakat tetap memiliki
kepercayaan terhadap partai di tubuh koalisi yang tetap kritis kepada kekuasaan
negara dan konsisten memperjuangkan kepentingan rakyat.
Dalam
mencermati sikap itu, sesungguhnya parpol koalisi, tentu dalam hal ini bukan
sebatas yang terjadi di PKS saat ini, berusaha menjalankan tiga strategi
komunikasi politik yang difokuskan untuk kepentingan partai politik. Pertama,
parpol mengeksplorasi pesan berisi kritik kepada pemerintah, yang diasumsikan
mengeluarkan kebijakan tidak menguntungkan masyarakat, seperti halnya rencana penaikan
harga BBM.
Penetapan
harga baru BBM memang disukai dan diunggulkan kalangan intelektual yang
mengagungkan angka dalam kalkulasi materialistis. Namun di pihak lain, tidak
populer di mata rakyat. Pada konteks ini, para politisi koalisi berusaha
meyakinkan tentang keberpihakannya untuk berada di belakang rakyat yang menolak
penaikan harga BBM.
Kedua,
strategi komunikasi politik yang dipakai ialah menanamkan keyakinan kepada SBY
dan Partai Demokrat. Melalui menteri yang ada di KIB II, parpol koalisi
mengorganisasikan pesan kepada publik tentang dukungannya kepada kebijakan
pemerintahan. Sikap tersebut sebagai manifestasi membangun kesamaan makna dalam
komunikasi linier yang sejalan dengan kehendak pemerintah.
Adapun
strategi komunikasi politik yang ketiga ialah menyebarkan pesan untuk membangun
kekuatan partai. Pola komunikasi transaksional itu berimpitan dengan sikap
pertama yang tidak setuju dengan kebijakan pemerintah, tetapi dalam nuansa
terang-terangan ataupun terselubung.
Dengan
kata lain, sesungguhnya setiap pesan politik yang dieksplorasi memiliki tujuan
untuk kepentingan perjuang an parpol. Dengan pijakan tiga model komunikasi poli
tik itu, alangkah mustahil partai politik mampu mem perjuangkan kesejahteraan
rakyat secara total.
Terlebih
lagi kecenderungan yang muncul dalam setiap komunikasi politik ialah
mengedepankan pilihan ketiga untuk mem perjuangkan dan membangun kepentingan
kelompok kelompok yang ada dalam partai politik.
Tidak Merasa Kehilangan
Pola
komunikasi politik yang dilakukan sesuai arah angin itu, dalam kalkulasi
politik praktis, akan semakin menguat mendekati Pemilu 2014.
Akan
bermunculan kebijakan kementerian yang di gawangi parpol, dengan label
peningkatan mutu, produktivitas, efisiensi dan slogan lain yang hebat, tetapi
sebenarnya melemahkan posisi pemerintah. Pada konteks ini, kalaupun menteri par
pol tidak merasa membuat kebijakan kurang populer, tampaknya mereka sudah
merasa `tidak kehilangan' jika institusi yang dipimpin ternyata
menggelembungkan ketidakpercayaan terhadap pemerintahan SBY-Boediono.
Namun,
yang paling celaka, dikaitkan dengan Pemilu 2014, komunikasi sesuai arah angin
tidak hanya dilakukan menteri parpol. Bukan mustahil menteri dengan label
profesional juga bermain mata dengan para politikus yang potensial, dengan
membuat kebijakan yang tidak sesuai harapan SBYBoediono. Mungkin terlalu
berlebihan kalau memprediksikan menteri yang ahli di bidangnya menjalin kerja
sama tersamar atau secara sarkasme sebagai `persekongkolan' dengan kekuatan
parpol yang berpeluang unggul pada 2014. Namun persoalannya, dalam dogma
politik untuk memburu jabatan di pemerintahan, justru pola komunikasi dan
interaksi politik semacam itu yang diunggulkan elite untuk tetap berada di
lingkaran kekuasaan.
Oleh
karena itu, tampaknya penaikan harga BBM yang menuai kritik di satu pihak dan
memperoleh dukungan di pihak lain hanyalah awal dari tiga model komunikasi
politik yang dijalankan oleh partai politik dan sejumlah pihak pemburu
kekuasaan.
Memang
dalam belenggu politik inkonsistensi, teramat sulit bagi pemerintahan SBY
Boediono untuk mengandalkan partai koalisi sebagai pendukung kebijakan, dan
tidak mudah untuk percaya sepenuhnya kepada KIB II, yang sebenarnya diharapkan
memiliki loyalitas dan integritas dalam menjalankan roda kekuasaan negara. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar