Otoritas
Jasa Keuangan
Anwar Nasution, GURU BESAR FAKULTAS EKONOMI UI
SUMBER : KOMPAS, 8 Maret 2012
Setelah lama ditunggu dan dua tahun tertunda,
akhirnya Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan disetujui oleh DPR. Kini, pemerintah tengah memilih komisionernya
dan setelah itu diharapkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bisa mulai beroperasi.
Menurut Ayat (2) Pasal 34 UU BI Tahun 2004, OJK seharusnya berdiri
selambat-lambatnya 31 Desember 2010. Penyatuan semua lembaga yang mengatur dan
mengawasi lembaga keuangan (BI dan Bapepam-LK) diharapkan dapat memberikan
perlakuan sama bagi semua jenis industri keuangan dan semua bentuk hukum
kepemilikannya (negara, koperasi, serta swasta nasional dan asing). Penyatuan
itu sekaligus diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan mengatasi
keterbatasan tenaga profesional serta memudahkan koordinasi antarlembaga yang
selama ini berdiri sendiri.
Pendirian OJK bagian dari program IMF,
1997-2003, untuk meningkatkan standar acuan serta mutu pengaturan dan
pemeriksaan serta pengawasan lembaga-lembaga keuangan, terutama industri
perbankan, di Indonesia. Buruknya mutu pemeriksaan atas lembaga keuangan itu
tecermin dari krisis keuangan 1997-1998 yang sangat mahal biayanya bagi
perekonomian nasional. Pemeriksaan dan pengawasan lembaga keuangan tersebut tak
mampu mendeteksi potensi krisis.
Setelah BLBI, terus terjadi krisis lanjutan,
termasuk kasus Bank Bali (1998) dan Bank Century (2008). Keterkaitan kegiatan
PT Antaboga Delta Sekuritas, PT Century Mega Investindo, dan PT Century Super
Investindo dengan PT Bank Century yang tak terpantau Bapepam-LK dan BI
menggambarkan kurangnya koordinasi dan pertukaran informasi antar-kedua lembaga
pengawas. Ketiga perusahaan reksa dana dan sekuritas itu dimiliki pemilik Bank
Century dan digunakan untuk merongrong bank ini. Belakangan terungkap,
perusahaan itu tak punya surat izin operasi dari Bapepam-LK.
Pengalaman di sejumlah negara, integrasi
seluruh lembaga pengatur dan pengawas lembaga keuangan perlu 3-5 tahun. Di
Indonesia, integrasi BI dengan Bapepam-LK mungkin bisa lebih cepat karena
dilihat dari nilai aktiva dan jumlah kantor cabang. Bank adalah inti industri
keuangan Indonesia. Lembaga keuangan non-bank, seperti reksa dana, asuransi,
dan dana pensiun, memang tumbuh dengan cepat dari tahap awal yang sangat
rendah. Lembaga keuangan non-bank yang tumbuh pesat adalah perusahaan asing,
seperti Schroders, Manulife, AIA, dan Allianz.
Pro-Kontra Penyatuan
Penyatuan lembaga-lembaga pemeriksa keuangan
dalam satu badan mengandung lima manfaat dan sekaligus potensi permasalahannya.
Manfaat pertama, efisiensi karena besarnya skala organisasi lembaga yang
disatukan. Kedua, menekan biaya dengan memanfaatkan skala ekonomi. Ketiga,
meningkatkan akuntabilitas. Keempat, meniadakan persaingan antarlembaga
pemeriksa dan meniadakan duplikasi pekerjaan. Kelima, memudahkan kesamaan
perlakuan dalam pengaturan dan pengawasan atas semua industri keuangan.
Di lain pihak ada potensi permasalahan
penyatuan lembaga pemeriksa lembaga keuangan dalam satu badan. Pertama, jika
tujuan pendirian tak jelas, lembaga yang menyatu ini kurang efektif
dibandingkan dengan lembaga supervisi yang terpisah. Kedua, biayanya justru
sangat mahal jika organisasi terlalu besar. Di Singapura, pengaturan dan
pengawasan seluruh lembaga keuangan di tangan Monetary Authority of Singapore (MAS) yang didirikan 1984. Jumlah
personel MAS jauh lebih sedikit dan struktur organisasi jauh lebih sederhana
dibandingkan dengan kedua lembaga pengawas Indonesia itu. Padahal, jumlah
lembaga keuangan di Singapura jauh lebih banyak dan kegiatan jauh lebih
kompleks.
Potensi masalah ketiga, adanya aji mumpung (moral hazard) jika sasaran tak
dikomunikasikan dengan jelas. Keempat, proses integrasi dapat memicu politisasi
atau masuknya kepentingan tertentu dalam kerangka pengaturan dan pengawasan
industri keuangan yang pada hakikatnya bersifat teknis. Politisasi semakin
dimungkinkan jika sebagian komisioner OJK berasal dari kalangan anggota DPR
yang tak menguasai masalah teknis. Potensi masalah kelima, kemungkinan
kehilangan staf inti jika proses integrasi tak dapat dikendalikan dengan baik.
Pemeriksa dan pengawas bank dari BI enggan pindah ke OJK karena masalah gaji,
perumahan, dan manfaat lain lebih besar di BI daripada di instansi pemerintah
lain.
Pola Inggris versus Amerika
Program IMF 1997-2003 mendesain OJK menurut
model Financial Services Authority (FSA)
yang diintroduksi di Inggris 1997. FSA merupakan lembaga independen yang
terpisah dari bank sentral dan departemen keuangan. Setelah berpindahnya fungsi
pengawasan dan pemeriksaan bank ke OJK, bank sentral dapat memusatkan
perhatiannya pada pengaturan masalah moneter dan ekonomi makro. Bank sentral
memeriksa bank hanya berkaitan dengan penggunaan kreditnya oleh bank penerima
kredit.
Karena dua alasan, setelah krisis keuangan
global 2008, muncul gagasan baru menyatukan pengawasan dan pemeriksaan semua
lembaga keuangan di tangan bank sentral. Karena menimbulkan dampak besar,
beberapa perusahaan non-keuangan yang merupakan nasabah besar lembaga-lembaga keuangan
(seperti General Motors) tak luput
dari pengawasan the Federal Reserve,
bank sentral AS.
Alasan pertama, ternyata FSA Inggris pun tak
dapat mendeteksi kondisi keuangan the
Northen Rock, bank penyedia kredit perumahan skala kecil yang menempatkan
dananya dalam porsi cukup besar di subprime
mortgages yang menjadi masalah di AS. Pemerintah Inggris terpaksa mengambil
alih saham bank itu untuk menyelamatkannya. Alasan kedua, dan terpenting, untuk
memudahkan penyaluran dana dalam rangka lender of last resort dan quantitative
easing guna mengatasi kekeringan likuiditas di pasar uang nasional dan
internasional di tengah berlangsungnya krisis.
OJK diharapkan dapat menyiapkan industri
perbankan nasional agar mampu jadi pelaku global. Untuk itu, OJK dapat membantu
bank-bank negara (termasuk BPD) meningkatkan mutu personel, memodernisasi
sistem dan mengubah cara kerja agar dapat menyamai Development Bank of Singapore. Kelompok bank negara tetap inti
industri perbankan Indonesia.
Bank-bank swasta yang terafiliasi dengan
kelompok konglomerasi usaha juga harus menaati aturan prudensial, termasuk
batas minimum pemberian kredit (BMPK) dan posisi devisa neto (PDN), agar jangan
memobilisasi dana hanya bagi keperluan pembiayaan modal anak-anak
perusahaannya. Pelanggaran atas ketentuan BMPK dan PDN merupakan penyebab
krisis 1997. Dari kasus Bank Century, aturan fit and proper test saja belum
dapat mencegah kemungkinan masuknya elemen kriminal dalam industri perbankan.
Walaupun bukan anggota Dewan Direksi Bank Century, Robert Tantular dapat
mengendalikan operasi tersebut tanpa terpantau pengawas on-site dan off-site BI.
Pemeriksaan dan pengawasan bank tak penting
selama Orde Baru. Kini, selain perlu memantau perubahan standar dan aturan
prudensial yang berlaku secara internasional, OJK pun perlu ikut aktif membuat
standar serta aturan itu melalui forum Basel dan G-20 agar sesuai dengan
kondisi dan kepentingan nasional. KTT G-20 di Seoul, 11-12 November 2010,
menerima Basel-3 sebagai inti kerangka pengaturan baru industri keuangan. Untuk
membuat bank lebih kokoh, mampu menyerap kerugian, serta kian kuat menghadapi
krisis, Basel-3 meningkatkan keperluan modal bank, memperketat standar
pengertian modal, menertibkan transaksi derivatif, serta mengatur lebih ketat
likuiditas perbankan dan sumber pembelanjaannya serta cara pemberian bonus ke
karyawan bank ataupun cara penanganan bank bermasalah.
Basel-3 meningkatkan keperluan modal dasar
bank menjadi 7 persen dari risiko tertimbang (RWA) mulai 2019. Bank yang masuk
kategori systematically important financial institutions wajib menambah ekstra
modal 1,0-2,5 persen dari RWA. Bank juga wajib menambah modal dalam transaksi
derivatif. Sumber dana dan likuiditas perbankan diharapkan kian bergeser dari
sumber dana jangka pendek dan kekayaan yang kurang likuid ke sumber dana jangka
panjang dan lebih likuid. Penanganan bank bermasalah akan tetap mencari
keseimbangan antara upaya melindungi deposan dan mengurangi beban pembayar
pajak lewat anggaran negara. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar