Kamis, 08 Maret 2012

Indonesia, Maju dan Sejahtera…


Indonesia, Maju dan Sejahtera…
Siswono Yudo Husodo, KETUA YAYASAN PEMBINA UNIVERSITAS PANCASILA
SUMBER : KOMPAS, 8 Maret 2012



Dengan segala kekurangan yang ada, kita patut bersyukur produk domestik bruto Indonesia tumbuh signifikan dari Rp 1.846 triliun pada tahun 2006 menjadi Rp 7.031 triliun pada tahun 2011. Kondisi ini menjadikan besaran ekonomi Indonesia (menurut Forum Ekonomi Dunia 2011) berada di peringkat ke-18 dunia, naik dari peringkat ke-20 pada 2000. Dalam 10 tahun terakhir, Indonesia melewati Polandia dan Swiss.
Cadangan devisa yang pada 2006 baru 42,6 miliar dollar AS melonjak hampir 3 kali menjadi sekitar 110 miliar dollar AS pada awal 2012. Ekspor terus meningkat menjadi sekitar 208 miliar dollar AS pada tahun 2011.

Penghitungan BPS, 2011, produk domestik bruto (PDB) per kapita Indonesia 3.542 dollar AS, lebih tinggi daripada India yang menurut Bank Dunia 1.340 dollar AS. Bank Dunia menyatakan, jumlah kelas menengah Indonesia meningkat dari 25 persen populasi pada 1999 menjadi 56,5 persen pada 2010. Menurut riset Standard Chartered Bank, jumlah orang sangat mapan Indonesia (berpenghasilan Rp 240 juta atau investasi Rp 150 juta per tahun) sekitar 4 juta orang, mengalahkan Korea Selatan yang hanya 3,2 juta orang. Ini juga menggambarkan besarnya ketimpangan kesejahteraan warga kita.

Optimisme Harus Dibangun

Pada masa krisis ekonomi 2008-2009 dan di tengah kemerosotan ekonomi global 2010, Indonesia merupakan satu dari tiga negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam 10 tahun terakhir 4,5-6,6 persen. Ada potensi menjadi di atas 7 persen melalui penambahan defisit anggaran belanja negara sekitar 0,4 persen serta meningkatkan bagian pendapatan negara dari pertambangan—khususnya batubara, tembaga, dan emas—dan mengurangi subsidi guna meningkatkan pembangunan infrastruktur serta menurunkan bunga pinjaman bank sampai 3 persen di atas SBI untuk merangsang dunia usaha. Indonesia bisa mencapai hal itu dan kita pernah mengalaminya selama tiga dasawarsa pada masa Orde Baru.

Dengan pertumbuhan ekonomi 7 persen per tahun, PDB per kapita kita berlipat dua setiap 10 tahun. Jika itu terjadi, satu generasi dari sekarang (2037), PDB per kapita per tahun Indonesia akan di atas 18.000 dollar AS, berstatus negara maju dan sejahtera dengan jumlah penduduk lebih 370 juta jiwa. Ini sekaligus akan menjadikan ekonomi Indonesia—menurut studi Citibank—di peringkat ketujuh dunia setelah China, AS, India, Jepang, Jerman, dan Rusia.

Optimisme ini juga wajar karena sejak Desember 2011, Indonesia mendapatkan kembali status investment grade yang lepas sejak akhir 1997. Status layak investasi itu kondusif untuk perekonomian nasional karena akan terjadi kenaikan arus modal asing berbentuk investasi asing langsung (FDI) secara signifikan.

China yang meraih status investment grade tahun 1992 menikmati lonjakan aliran investasi asing dari 11,1 miliar dollar AS pada tahun 1992 menjadi 57,8 miliar dollar AS pada 1993 dan menjadi 115 miliar dollar AS pada 2011. Begitu juga India. Sejak meraih status investment grade tahun 2007, arus modal asing ke India melonjak rata-rata 30 miliar dollar AS per tahun. Brasil yang meraih investment grade pada 2008 mengalami peningkatan pemasukan modal asing rata-rata 40 miliar dollar AS per tahun.

Lonjakan arus modal asing masuk ke Indonesia sudah didepan mata. Selayaknya kita memanfaatkan peluang yang ada ini untuk meraih kemajuan bangsa dan negara di berbagai bidang, utamanya meningkatkan kapasitas nasional.

Tingginya aliran investasi dari luar adalah positif selama dikelola dengan benar. Artinya, kita tidak sekadar menyediakan tempat bagi produksi barang yang dijual di dalam negeri ataupun diekspor, tetapi warga negaranya hanya jadi buruh yang dibayar murah. Yang perlu dilakukan terutama meningkatkan jumlah dan kemampuan pelaku usaha dan kapasitas warga yang terbentuk dari arus modal masuk itu. Kodeco, milik Korea, menambang batubara di Kalimantan, dikirim ke Korea juga dengan kapal Korea. Begitu pula CNOOC, perusahaan migas China.

Korea Selatan, India, dan China memiliki strategi jangka panjang yang konsisten dilaksanakan menuju kemandiriannya dengan memanfaatkan modal asing dan kerja sama antarnegara untuk memperbesar kapasitas nasionalnya. Porsi kepemilikan nasional yang proporsional dalam ekonomi sebuah negara amat penting untuk menjaga kestabilan sosial politik masyarakat yang amat diperlukan untuk membuat semua investasi (domestik dan asing) dapat tumbuh optimal.

Di Meksiko, aktivitas pengusaha asing telah mengurangi ruang kreativitas ekonomi 
warganya untuk berkembang. Bahkan, menghasilkan kerawanan sosial politik karena aktivitas kriminal warga yang frustrasi.

Di perbankan China, asing hanya boleh memiliki kurang dari 15 persen, sementara Indonesia bisa mencapai 99 persen. Dulu, Aqua, kecap Bango, kecap ABC, BCA, dan Bank Niaga milik pengusaha nasional. Sekarang tidak lagi. Perspektif ini perlu dibangun dalam ekonomi nasional.

Membesarnya kelas menengah Indonesia harus direspons dengan melahirkan dan membesarkan industri milik warga negara kita. Kelengahan mengantisipasi peningkatan jumlah kelas menengah telah meningkatkan impor berbagai barang dan jasa secara luar biasa, mulai dari pangan, seperti buah-buahan dan daging, hingga telepon seluler, mobil, dan fashion.

Industrialisasi dan modernisasi pertanian/perikanan dalam negeri guna melayani pasar dalam negeri yang membesar dan industrialisasi produk hilir tambang di dalam negeri diperlukan untuk menjadi negara maju dan sejahtera dalam satu generasi kedepan pada tahun 2037.

Dekadensi Moral

Dalam optimisme dan kebahagiaan saya menerawang masa depan kejayaan Indonesia tercinta, sulit meniadakan kekhawatiran tentang tak akan terwujudnya harapan itu jika melihat dekadensi moral yang meluas berupa korupsi, suap, dan politik transaksional. Belum lagi penyalahgunaan wewenang, melebarnya kesenjangan, anarki, merosotnya toleransi, bentrokan horizontal dan vertikal, separatisme, serta semangat kemandirian yang merosot tajam.

Sebagai suatu negara-bangsa, tingkat ketergantungan kita kepada asing untuk hal-hal yang sesungguhnya dapat kita penuhi sudah terlalu besar. Taruhlah seperti impor pangan, kepemilikan asing di perbankan, perkebunan, industri makanan, pertambangan, dan telekomunikasi yang terus meningkat. Kita cenderung memilih solusi instan yang untuk jangka panjang merugikan kepentingan negara dan bangsa. Juga menghambat peningkatan kapasitas nasional.

Semoga semua unsur negara-bangsa ini—pemerintah serta lembaga-lembaga negara lain, partai politik, lembaga pendidikan, para profesional, TNI/Polri, dunia usaha, buruh, tani, nelayan, dan masyarakat luas—menyadari peluang emas yang ada di depan kita dan dengan mantap bergerak maju meniadakan setiap rintangan yang ada. Semoga! ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar