Indonesia,
Maju dan Sejahtera…
Siswono Yudo Husodo, KETUA YAYASAN PEMBINA UNIVERSITAS PANCASILA
SUMBER : KOMPAS, 8 Maret 2012
Dengan segala kekurangan yang ada, kita patut
bersyukur produk domestik bruto Indonesia tumbuh signifikan dari Rp 1.846 triliun
pada tahun 2006 menjadi Rp 7.031 triliun pada tahun 2011. Kondisi ini menjadikan besaran ekonomi
Indonesia (menurut Forum Ekonomi Dunia 2011) berada di peringkat ke-18 dunia,
naik dari peringkat ke-20 pada 2000. Dalam 10 tahun terakhir, Indonesia melewati
Polandia dan Swiss.
Cadangan devisa yang pada 2006 baru 42,6
miliar dollar AS melonjak hampir 3 kali menjadi sekitar 110 miliar dollar AS
pada awal 2012. Ekspor terus meningkat menjadi sekitar 208 miliar dollar AS
pada tahun 2011.
Penghitungan BPS, 2011, produk domestik bruto
(PDB) per kapita Indonesia 3.542 dollar AS, lebih tinggi daripada India yang
menurut Bank Dunia 1.340 dollar AS. Bank Dunia menyatakan, jumlah kelas
menengah Indonesia meningkat dari 25 persen populasi pada 1999 menjadi 56,5 persen
pada 2010. Menurut riset Standard Chartered Bank, jumlah orang sangat mapan
Indonesia (berpenghasilan Rp 240 juta atau investasi Rp 150 juta per tahun)
sekitar 4 juta orang, mengalahkan Korea Selatan yang hanya 3,2 juta orang. Ini
juga menggambarkan besarnya ketimpangan kesejahteraan warga kita.
Optimisme Harus Dibangun
Pada masa krisis ekonomi 2008-2009 dan di
tengah kemerosotan ekonomi global 2010, Indonesia merupakan satu dari tiga
negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam 10 tahun
terakhir 4,5-6,6 persen. Ada potensi menjadi di atas 7 persen melalui
penambahan defisit anggaran belanja negara sekitar 0,4 persen serta
meningkatkan bagian pendapatan negara dari pertambangan—khususnya batubara,
tembaga, dan emas—dan mengurangi subsidi guna meningkatkan pembangunan
infrastruktur serta menurunkan bunga pinjaman bank sampai 3 persen di atas SBI
untuk merangsang dunia usaha. Indonesia bisa mencapai hal itu dan kita pernah
mengalaminya selama tiga dasawarsa pada masa Orde Baru.
Dengan pertumbuhan ekonomi 7 persen per
tahun, PDB per kapita kita berlipat dua setiap 10 tahun. Jika itu terjadi, satu
generasi dari sekarang (2037), PDB per kapita per tahun Indonesia akan di atas
18.000 dollar AS, berstatus negara maju dan sejahtera dengan jumlah penduduk
lebih 370 juta jiwa. Ini sekaligus akan menjadikan ekonomi Indonesia—menurut
studi Citibank—di peringkat ketujuh dunia setelah China, AS, India, Jepang,
Jerman, dan Rusia.
Optimisme ini juga wajar karena sejak Desember
2011, Indonesia mendapatkan kembali status investment grade yang lepas sejak
akhir 1997. Status layak investasi itu kondusif untuk perekonomian nasional
karena akan terjadi kenaikan arus modal asing berbentuk investasi asing
langsung (FDI) secara signifikan.
China yang meraih status investment grade
tahun 1992 menikmati lonjakan aliran investasi asing dari 11,1 miliar dollar AS
pada tahun 1992 menjadi 57,8 miliar dollar AS pada 1993 dan menjadi 115 miliar
dollar AS pada 2011. Begitu juga India. Sejak meraih status investment grade
tahun 2007, arus modal asing ke India melonjak rata-rata 30 miliar dollar AS
per tahun. Brasil yang meraih investment grade pada 2008 mengalami peningkatan
pemasukan modal asing rata-rata 40 miliar dollar AS per tahun.
Lonjakan arus modal asing masuk ke Indonesia
sudah didepan mata. Selayaknya kita memanfaatkan peluang yang ada ini untuk
meraih kemajuan bangsa dan negara di berbagai bidang, utamanya meningkatkan
kapasitas nasional.
Tingginya aliran investasi dari luar adalah
positif selama dikelola dengan benar. Artinya, kita tidak sekadar menyediakan
tempat bagi produksi barang yang dijual di dalam negeri ataupun diekspor,
tetapi warga negaranya hanya jadi buruh yang dibayar murah. Yang perlu
dilakukan terutama meningkatkan jumlah dan kemampuan pelaku usaha dan kapasitas
warga yang terbentuk dari arus modal masuk itu. Kodeco, milik Korea, menambang
batubara di Kalimantan, dikirim ke Korea juga dengan kapal Korea. Begitu pula
CNOOC, perusahaan migas China.
Korea Selatan, India, dan China memiliki
strategi jangka panjang yang konsisten dilaksanakan menuju kemandiriannya
dengan memanfaatkan modal asing dan kerja sama antarnegara untuk memperbesar
kapasitas nasionalnya. Porsi kepemilikan nasional yang proporsional dalam
ekonomi sebuah negara amat penting untuk menjaga kestabilan sosial politik
masyarakat yang amat diperlukan untuk membuat semua investasi (domestik dan
asing) dapat tumbuh optimal.
Di Meksiko, aktivitas pengusaha asing telah
mengurangi ruang kreativitas ekonomi
warganya untuk berkembang. Bahkan,
menghasilkan kerawanan sosial politik karena aktivitas kriminal warga yang
frustrasi.
Di perbankan China, asing hanya boleh
memiliki kurang dari 15 persen, sementara Indonesia bisa mencapai 99 persen.
Dulu, Aqua, kecap Bango, kecap ABC, BCA, dan Bank Niaga milik pengusaha
nasional. Sekarang tidak lagi. Perspektif ini perlu dibangun dalam ekonomi
nasional.
Membesarnya kelas menengah Indonesia harus
direspons dengan melahirkan dan membesarkan industri milik warga negara kita.
Kelengahan mengantisipasi peningkatan jumlah kelas menengah telah meningkatkan
impor berbagai barang dan jasa secara luar biasa, mulai dari pangan, seperti
buah-buahan dan daging, hingga telepon seluler, mobil, dan fashion.
Industrialisasi dan modernisasi pertanian/perikanan
dalam negeri guna melayani pasar dalam negeri yang membesar dan industrialisasi
produk hilir tambang di dalam negeri diperlukan untuk menjadi negara maju dan
sejahtera dalam satu generasi kedepan pada tahun 2037.
Dekadensi Moral
Dalam optimisme dan kebahagiaan saya
menerawang masa depan kejayaan Indonesia tercinta, sulit meniadakan
kekhawatiran tentang tak akan terwujudnya harapan itu jika melihat dekadensi
moral yang meluas berupa korupsi, suap, dan politik transaksional. Belum lagi
penyalahgunaan wewenang, melebarnya kesenjangan, anarki, merosotnya toleransi,
bentrokan horizontal dan vertikal, separatisme, serta semangat kemandirian yang
merosot tajam.
Sebagai suatu negara-bangsa, tingkat
ketergantungan kita kepada asing untuk hal-hal yang sesungguhnya dapat kita
penuhi sudah terlalu besar. Taruhlah seperti impor pangan, kepemilikan asing di
perbankan, perkebunan, industri makanan, pertambangan, dan telekomunikasi yang
terus meningkat. Kita cenderung memilih solusi instan yang untuk jangka panjang
merugikan kepentingan negara dan bangsa. Juga menghambat peningkatan kapasitas
nasional.
Semoga semua unsur negara-bangsa
ini—pemerintah serta lembaga-lembaga negara lain, partai politik, lembaga
pendidikan, para profesional, TNI/Polri, dunia usaha, buruh, tani, nelayan, dan
masyarakat luas—menyadari peluang emas yang ada di depan kita dan dengan mantap
bergerak maju meniadakan setiap rintangan yang ada. Semoga! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar