Titik
Rawan Korupsi Pajak
Adnan Topan Husodo, WAKIL
KOORDINATOR INDONESIAN CORRUPTION WATCH (ICW)
SUMBER : JAWA POS, 8 Maret 2012
RENTETAN
kasus dugaan korupsi pajak yang melilit Gayus Tambunan, Bahasyim Assifie, dan
yang terakhir Dhana Widyatmika mengingatkan banyak orang bahwa perang terhadap
korupsi tak boleh berhenti. Munculnya jejeran nama pegawai negeri yang masih
muda dan menduduki jabatan biasa dalam skandal korupsi mengisyaratkan adanya
transformasi korupsi, yang dulu dilakukan rezim orang tua, ke anak-anak muda.
Tentu saja tampilnya anak muda sebagai pelaku korupsi amat memprihatinkan di tengah harapan masyarakat luas bahwa generasi muda akan memperbaiki Indonesia. Kasus Gayus, Dhana, dan ramainya pemberitaan PNS muda memiliki rekening jumbo memberikan petunjuk bahwa praktik korupsi sebenarnya tak mengenal usia, jenis kelamin, dan agama. Siapa pun yang punya kesempatan dan niat korupsi rentan untuk melakukannya.
Tali-temali antara anak muda dan orang tua, antara suami dan istri yang bekerja sama untuk melakukan korupsi menegaskan bahwa korupsi sebagai kejahatan sudah terlembaga dengan sangat kuat. Artinya, korupsi bukan lagi hanya masalah individual penyimpangan perilaku dari segelintir orang, tetapi sudah menjadi jejaring yang kukuh. Karena terorganisasi, praktik korupsi dalam level itu sulit dideteksi dan ditangani. Berharap kepada aparat penegak hukum saja tak akan mampu menyelesaikan persoalan itu.
Sektor Rentan Korupsi
Karena pajak merupakan lumbung pendapatan negara, sektor itu merupakan yang paling rentan terjadi korupsi. Jika pemerintah mampu merealisasikan penerimaan pajak pada 2011 mencapai Rp 872,6 triliun atau naik 26 persen dari tahun sebelumnya, dapat diartikan bahwa potensi pajak yang seharusnya menjadi penerimaan negara masih sangat besar. Tetapi, angka statistik penerimaan pajak menunjukkan gejala yang aneh.
Mengapa realisasi penerimaan pajak pada 2010 hanya berkisar Rp 648 triliun, atau mencapai target 98,12 persen? Di sisi yang lain, pemerintah selalu optimistis bahwa pertumbuhan ekonomi akan selalu berada di atas angka enam persen. Logikanya, dengan pertumbuhan ekonomi yang baik, transaksi keuangan meningkat dan akan berimplikasi kepada penerimaan pajak yang meningkat pula. Lantas, mengapa pula penerimaan pajak bisa tidak sesuai dengan target?
Pejabat di direktorat pajak dengan mudah menunjuk bahwa masalah tidak tercapainya realisasi pajak disebabkan masih banyaknya wajib pajak yang tidak taat membayar pajak. Pejabat pajak, tampaknya, lupa bahwa nakalnya petugas pajak turut memberikan kontribusi atas penerimaan sektor pajak yang fluktuatif. Perlu diingat bahwa dalam hubungan antara petugas pajak dan wajib pajak, tidak ada wilayah transparan yang dapat diketahui publik sehingga praktik kongkalikong antara petugas pajak dan wajib pajak tidak dapat diidentifikasi dengan mudah.
Sebagaimana tabiat suap pada umumnya, yang mengetahui adanya suap-menyuap antara satu pihak dan yang lain adalah lingkaran yang mengetahui langsung praktik itu. Oleh karena itu, dalam rezim antisuap, yang menjadi pemantik bagi terbongkarnya praktik atau skandal suap adalah para whistle-blower atau justice collaborator yang memiliki informasi faktual atas kejahatan itu. Dengan demikian, jika aparat penegak hukum ingin dapat membongkar skandal pajak secara mudah, memberikan perlindungan terhadap whistle-blower adalah langkah yang tidak bisa diabaikan.
Titik Paling Rawan
Sebagaimana dilansir oleh Menteri Keuangan Agus Martowardojo, titik rawan korupsi pajak adalah wilayah tempat pegawai pajak memiliki akses langsung terhadap wajib pajak. Bentuknya bisa bermacam-macam, sesuai dengan fungsi dan wewenang yang diatur dalam struktur di Direktorat Jenderal Pajak, termasuk di direktorat keberatan dan banding pajak. Pada direktorat itu, Gayus dan Dhana bekerja dan ditengarai mengeruk banyak uang dari para wajib pajak.
Direktorat lain yang sama rentannya adalah pada direktorat pemeriksaan dan penagihan, direktorat intelijen dan penyidikan, serta direktorat ekstensifikasi dan penilaian. Kesemua direktorat ini membuka akses yang besar bagi pegawai pajak untuk bertemu langsung dengan wajib pajak. Karena itulah, peluang terjadinya kongkalikong menjadi lebih besar.
Semua direktorat di atas memungkinkan petugas pajak melakukan ancaman, intimidasi, pemerasan, atau suap-menyuap agar pembayaran pajak tidak sebesar yang seharusnya dibayarkan kepada negara. Bahkan, untuk skandal pajak yang semestinya masuk ke ranah hukum, oknum petugas pajak dapat menjadikan itu sebatas persoalan administratif belaka.
Terakhir, restitusi pajak atau pembayaran kembali pajak lebih oleh negara kepada wajib pajak merupakan celah korupsi yang lain. Pada sektor itu, bukan hanya petugas pajak yang memiliki otoritas tertentu yang dapat ''bermain'', tetapi petugas administrasi juga dapat menggunakan akses dan pengetahuannya untuk kepentingan memanipulasi restitusi pajak. Modus yang umum terjadi dalam kasus korupsi restitusi pajak adalah petugas pajak menjadi konsultan bagi perusahaan tertentu, menyediakan bukti-bukti fiktif transaksi jual beli, dan membantu secara langsung penagihan restitusi pajak kepada negara.
Jika pemerintah ingin serius memberantas mafia pajak, pada sektor-sektor itulah seharusnya reformasi difokuskan. Caranya, menempatkan aktor-aktor berintegritas untuk menjadi pengendali utama pada sektor tersebut. Dengan begitu, para petugas pajak yang nakal akan menemui kesulitan untuk melakukan anti korupsi.
Perlu dipahami, korupsi sektor pajak bukan hanya melibatkan satu dua orang, akan tetapi sudah merupakan organisasi kejahatan yang harus diputus mata rantainya. Penempatan orang-orang yang berintegritas pada sektor yang rawan korupsi akan membuka jalan bagi program reformasi birokrasi yang dijalankan pemerintah. Tanpa hal itu, agenda reformasi birokrasi di sektor pajak hanya akan menjadi catatan kegagalan sejarah belaka. ●
Tentu saja tampilnya anak muda sebagai pelaku korupsi amat memprihatinkan di tengah harapan masyarakat luas bahwa generasi muda akan memperbaiki Indonesia. Kasus Gayus, Dhana, dan ramainya pemberitaan PNS muda memiliki rekening jumbo memberikan petunjuk bahwa praktik korupsi sebenarnya tak mengenal usia, jenis kelamin, dan agama. Siapa pun yang punya kesempatan dan niat korupsi rentan untuk melakukannya.
Tali-temali antara anak muda dan orang tua, antara suami dan istri yang bekerja sama untuk melakukan korupsi menegaskan bahwa korupsi sebagai kejahatan sudah terlembaga dengan sangat kuat. Artinya, korupsi bukan lagi hanya masalah individual penyimpangan perilaku dari segelintir orang, tetapi sudah menjadi jejaring yang kukuh. Karena terorganisasi, praktik korupsi dalam level itu sulit dideteksi dan ditangani. Berharap kepada aparat penegak hukum saja tak akan mampu menyelesaikan persoalan itu.
Sektor Rentan Korupsi
Karena pajak merupakan lumbung pendapatan negara, sektor itu merupakan yang paling rentan terjadi korupsi. Jika pemerintah mampu merealisasikan penerimaan pajak pada 2011 mencapai Rp 872,6 triliun atau naik 26 persen dari tahun sebelumnya, dapat diartikan bahwa potensi pajak yang seharusnya menjadi penerimaan negara masih sangat besar. Tetapi, angka statistik penerimaan pajak menunjukkan gejala yang aneh.
Mengapa realisasi penerimaan pajak pada 2010 hanya berkisar Rp 648 triliun, atau mencapai target 98,12 persen? Di sisi yang lain, pemerintah selalu optimistis bahwa pertumbuhan ekonomi akan selalu berada di atas angka enam persen. Logikanya, dengan pertumbuhan ekonomi yang baik, transaksi keuangan meningkat dan akan berimplikasi kepada penerimaan pajak yang meningkat pula. Lantas, mengapa pula penerimaan pajak bisa tidak sesuai dengan target?
Pejabat di direktorat pajak dengan mudah menunjuk bahwa masalah tidak tercapainya realisasi pajak disebabkan masih banyaknya wajib pajak yang tidak taat membayar pajak. Pejabat pajak, tampaknya, lupa bahwa nakalnya petugas pajak turut memberikan kontribusi atas penerimaan sektor pajak yang fluktuatif. Perlu diingat bahwa dalam hubungan antara petugas pajak dan wajib pajak, tidak ada wilayah transparan yang dapat diketahui publik sehingga praktik kongkalikong antara petugas pajak dan wajib pajak tidak dapat diidentifikasi dengan mudah.
Sebagaimana tabiat suap pada umumnya, yang mengetahui adanya suap-menyuap antara satu pihak dan yang lain adalah lingkaran yang mengetahui langsung praktik itu. Oleh karena itu, dalam rezim antisuap, yang menjadi pemantik bagi terbongkarnya praktik atau skandal suap adalah para whistle-blower atau justice collaborator yang memiliki informasi faktual atas kejahatan itu. Dengan demikian, jika aparat penegak hukum ingin dapat membongkar skandal pajak secara mudah, memberikan perlindungan terhadap whistle-blower adalah langkah yang tidak bisa diabaikan.
Titik Paling Rawan
Sebagaimana dilansir oleh Menteri Keuangan Agus Martowardojo, titik rawan korupsi pajak adalah wilayah tempat pegawai pajak memiliki akses langsung terhadap wajib pajak. Bentuknya bisa bermacam-macam, sesuai dengan fungsi dan wewenang yang diatur dalam struktur di Direktorat Jenderal Pajak, termasuk di direktorat keberatan dan banding pajak. Pada direktorat itu, Gayus dan Dhana bekerja dan ditengarai mengeruk banyak uang dari para wajib pajak.
Direktorat lain yang sama rentannya adalah pada direktorat pemeriksaan dan penagihan, direktorat intelijen dan penyidikan, serta direktorat ekstensifikasi dan penilaian. Kesemua direktorat ini membuka akses yang besar bagi pegawai pajak untuk bertemu langsung dengan wajib pajak. Karena itulah, peluang terjadinya kongkalikong menjadi lebih besar.
Semua direktorat di atas memungkinkan petugas pajak melakukan ancaman, intimidasi, pemerasan, atau suap-menyuap agar pembayaran pajak tidak sebesar yang seharusnya dibayarkan kepada negara. Bahkan, untuk skandal pajak yang semestinya masuk ke ranah hukum, oknum petugas pajak dapat menjadikan itu sebatas persoalan administratif belaka.
Terakhir, restitusi pajak atau pembayaran kembali pajak lebih oleh negara kepada wajib pajak merupakan celah korupsi yang lain. Pada sektor itu, bukan hanya petugas pajak yang memiliki otoritas tertentu yang dapat ''bermain'', tetapi petugas administrasi juga dapat menggunakan akses dan pengetahuannya untuk kepentingan memanipulasi restitusi pajak. Modus yang umum terjadi dalam kasus korupsi restitusi pajak adalah petugas pajak menjadi konsultan bagi perusahaan tertentu, menyediakan bukti-bukti fiktif transaksi jual beli, dan membantu secara langsung penagihan restitusi pajak kepada negara.
Jika pemerintah ingin serius memberantas mafia pajak, pada sektor-sektor itulah seharusnya reformasi difokuskan. Caranya, menempatkan aktor-aktor berintegritas untuk menjadi pengendali utama pada sektor tersebut. Dengan begitu, para petugas pajak yang nakal akan menemui kesulitan untuk melakukan anti korupsi.
Perlu dipahami, korupsi sektor pajak bukan hanya melibatkan satu dua orang, akan tetapi sudah merupakan organisasi kejahatan yang harus diputus mata rantainya. Penempatan orang-orang yang berintegritas pada sektor yang rawan korupsi akan membuka jalan bagi program reformasi birokrasi yang dijalankan pemerintah. Tanpa hal itu, agenda reformasi birokrasi di sektor pajak hanya akan menjadi catatan kegagalan sejarah belaka. ●
bagus pak saya juga peduli sama korupsi kunjungi blog saya pak. kalo ada waktu kunjungi ya pak
BalasHapushttp://iramaengineering.blogspot.com/2013/01/engineering-rawan-korupsi.html