Mengenang
Jejak Pak Widjojo
Christianto Wibisono, PENGAMAT EKONOMI
SUMBER : KOMPAS, 10 Maret 2012
Jumat (9/3) dini hari Prof Dr Widjojo
Nitisastro wafat di RSCM. Selama sakit hingga wafat, beliau percaya dokter dan
rumah sakit Indonesia.
Selama 26 tahun dari 85 tahun usianya
dihabiskan untuk memimpin Bappenas (sejak 1967), menjabat sebagai Menteri Negara
Perencanaan Pembangunan Nasional (sejak 1971), dan Menko Ekuin (sejak 1973).
Setelah keluar dari kabinet tahun 1983, dia tetap menjadi penasihat senior
Presiden Soeharto hingga presiden kedua RI tersebut lengser pada Mei 1998.
Dialah arsitek Widjojonomics, trilogi
pembangunan: stabilitas, pertumbuhan, dan pemerataan. Sejak 1983 muncul aliran
Habibienomics yang mengacu historisismus dan proteksi industri balita (infant
industry protection) yang digawangi teknolog Habibie dengan lompatan jauh
mendongkrak industri strategis, seperti pesawat terbang dan kapal laut, melalui
Badan Pelaksana Industri Strategis.
Soeharto mengawinkan kedua mazhab dalam
Soehartonomics. Ia tak ingin sekadar dikenal sebagai presiden yang berhasil
mengatasi inflasi 650 persen pada akhir Orde Lama dan mencapai swasembada beras
1985. Ia ingin mewariskan legacy yang tangible, monumental. Habibie punya kartu
akses, latar belakang teknologi dan lobi Jerman yang tak kalah dari latar
belakang mazhab Berkeley Widjojo cs.
Dilibas
Rezim KKN
Sebenarnya ekonomi dunia itu universal
merupakan interaksi antara negara (kendali politik) dan pasar. Yang paling
tepat memang ekonomi jalan tengah, eklektik memilah dan meramu proses kimia
antara peranan negara dan peranan pasar. Bung Karno secara mendasar telah
merumuskan jalan tengah Pancasila antara sistem liberal dan etatisme sebab
kedua ekstrem itu telah terbukti gagal. Ekstrem dominasi negara dengan ideologi
fasisme kanan model Hitler ataupun diktator proletariat model komunisme gagal
total.
Yang bertahan adalah ekonomi jalan tengah,
yaitu pasar yang pas dengan intervensi negara yang pas. Anatole Kaletsky dengan
tepat merumuskan, kapitalisme telah bermetamorfosa melakukan adaptasi terhadap
tantangan kelemahan internal ataupun ideologi tandingan. Deng Xiaoping dengan
tepat memutuskan China kembali ke pasar karena Marxisme komunisme jadi predator
yang menghancurkan pasar (the market is
older and was there before Marx. So when Marxism failed China just return to
the market).
Tentu saja, pasarnya harus dikendalikan
politik negara yang mencegah dan mengawasi keserakahan dan kegagalan pasar yang
terbukti hanya dimiliki sistem demokrasi dengan kebebasan menawarkan alternatif
kebijakan secara eklektik. Syaratnya, kepemimpinan harus bersih atau sistem
perimbangan kekuasaan yang mencegah dua ekstrem kegagalan pasar atau kegagalan
negara karena aparatnya dibajak oleh monster koruptor yang menjadi predator
terhadap rakyatnya sendiri.
Widjojo mungkin sempat membaca Kaletsky yang
terbit 2009 dan tetap merasa percaya diri resep Widjojonomics-nya adalah bauran
yang tepat secara teknokratis. Namun, resep itu gagal oleh sistem KKN rezim
Soeharto yang pada dekade terakhirnya mengabaikan pasar untuk kroni KKN.
Saya teringat dialog saya dengan Prof Widjojo
saat membahas Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC). Saya mengusulkan
proteksi petani cengkeh dilakukan melalui lindung nilai (hedging) bursa komoditas berjangka dan bukan model BPPC. IMF
memasukkan BPPC sebagai salah satu monster predator pasar yang harus
dibubarkan. Sayang, advis tidak didengar sama sekali oleh Pak Harto hingga Pak
Harto lengser pada 1998.
Prof Widjojo juga tak segan menerabas pakem,
mengontrakkan bea cukai ke perusahaan multinasional, SGS. Saya waktu itu
menyatakan ia semestinya lebih canggih dengan membeli dulu saham SGS di Swiss,
lalu Indonesia Inc jadi pemilik SGS
yang kemudian mengontrak fungsi bea cukai RI. Pak Widjojo tersenyum dan
berkata, ”Wah, kalau itu urusan Pak Harto dan Oom Liem, Anda usulkan saja”.
Saya jawab, ”Wah, sudah telat Pak, begitu SGS ditunjuk, sahamnya langsung
melejit dan terlalu mahal untuk beli. Namun, barangkali hopeng atau kerabat
sudah membeli.”
Tugas
Selesai
Memang ironis, kita lebih mudah meraih
popularitas dengan mengibarkan bendera populisme. Misalnya, negara harus
komando (leading and commanding position).
Namun, saat diberi posisi itu malah utang 10 miliar dollar AS, seperti Ibnu
Sutowo dalam kasus Pertamina. Pelajaran berharga, jangan pernah memberikan kekuasaan
absolut kepada siapa pun, presiden republik, pimpinan Pertamina, atau presdir
BUMN. Tentu saja CEO harus diberi keleluasaan kreatif memimpin BUMN, seperti
BUMN Singapura yang sukses jadi kekuatan global, Temasek.
Pak Widjojo hanya menghela napas panjang dan
menyatakan, tugasnya untuk Indonesia selesai dengan mengantarkan Indonesia satu
generasi lebih dulu menginsafi peranan pasar yang klasik, tradisional dan
universal. Pasar difasilitasi negara, yang tak boleh jadi monster predator
terhadap masyarakat dan pasar. Namun, negara dan politisi yang bertanggung
jawab harus amankan kepentingan nasional dari kegagalan dan keserakahan pasar.
Dalam sebuah debat di televisi, ekonom Kwik
Kian Gie dari Rotterdam yang mendukung campur tangan pemerintah dengan telak mengalahkan
tim Kabinet Indonesia Bersatu II yang tak jelas merumuskan dalam interaksi
negara dan pasar itu apa peranan proaktif, kreatif, dan perspektif negara.
Dalam rapat Komisi Ekonomi Nasional, 6 Maret, Wakil Ketua KEN Chatib Basri
mengungkapkan, KIB II memang tak responsif dan cerdas dalam membela kebijakan.
Kurang asertif dan ”rendah diri” terhadap oposisi yang all out walau tak sepenuhnya benar. Pak Widjojo telah tiada. Hidup
Widjojo! Para penganut Widjojonomics bangkitlah atau Indonesia akan terbajak
oleh diktator opini partisan sektarian yang menyesatkan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar