Sabtu, 10 Maret 2012

Mengenang Jejak Pak Widjojo


Mengenang Jejak Pak Widjojo
Christianto Wibisono, PENGAMAT EKONOMI
SUMBER : KOMPAS, 10 Maret 2012



Jumat (9/3) dini hari Prof Dr Widjojo Nitisastro wafat di RSCM. Selama sakit hingga wafat, beliau percaya dokter dan rumah sakit Indonesia.

Selama 26 tahun dari 85 tahun usianya dihabiskan untuk memimpin Bappenas (sejak 1967), menjabat sebagai Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional (sejak 1971), dan Menko Ekuin (sejak 1973). Setelah keluar dari kabinet tahun 1983, dia tetap menjadi penasihat senior Presiden Soeharto hingga presiden kedua RI tersebut lengser pada Mei 1998.

Dialah arsitek Widjojonomics, trilogi pembangunan: stabilitas, pertumbuhan, dan pemerataan. Sejak 1983 muncul aliran Habibienomics yang mengacu historisismus dan proteksi industri balita (infant industry protection) yang digawangi teknolog Habibie dengan lompatan jauh mendongkrak industri strategis, seperti pesawat terbang dan kapal laut, melalui Badan Pelaksana Industri Strategis.

Soeharto mengawinkan kedua mazhab dalam Soehartonomics. Ia tak ingin sekadar dikenal sebagai presiden yang berhasil mengatasi inflasi 650 persen pada akhir Orde Lama dan mencapai swasembada beras 1985. Ia ingin mewariskan legacy yang tangible, monumental. Habibie punya kartu akses, latar belakang teknologi dan lobi Jerman yang tak kalah dari latar belakang mazhab Berkeley Widjojo cs.

Dilibas Rezim KKN

Sebenarnya ekonomi dunia itu universal merupakan interaksi antara negara (kendali politik) dan pasar. Yang paling tepat memang ekonomi jalan tengah, eklektik memilah dan meramu proses kimia antara peranan negara dan peranan pasar. Bung Karno secara mendasar telah merumuskan jalan tengah Pancasila antara sistem liberal dan etatisme sebab kedua ekstrem itu telah terbukti gagal. Ekstrem dominasi negara dengan ideologi fasisme kanan model Hitler ataupun diktator proletariat model komunisme gagal total.

Yang bertahan adalah ekonomi jalan tengah, yaitu pasar yang pas dengan intervensi negara yang pas. Anatole Kaletsky dengan tepat merumuskan, kapitalisme telah bermetamorfosa melakukan adaptasi terhadap tantangan kelemahan internal ataupun ideologi tandingan. Deng Xiaoping dengan tepat memutuskan China kembali ke pasar karena Marxisme komunisme jadi predator yang menghancurkan pasar (the market is older and was there before Marx. So when Marxism failed China just return to the market).

Tentu saja, pasarnya harus dikendalikan politik negara yang mencegah dan mengawasi keserakahan dan kegagalan pasar yang terbukti hanya dimiliki sistem demokrasi dengan kebebasan menawarkan alternatif kebijakan secara eklektik. Syaratnya, kepemimpinan harus bersih atau sistem perimbangan kekuasaan yang mencegah dua ekstrem kegagalan pasar atau kegagalan negara karena aparatnya dibajak oleh monster koruptor yang menjadi predator terhadap rakyatnya sendiri.

Widjojo mungkin sempat membaca Kaletsky yang terbit 2009 dan tetap merasa percaya diri resep Widjojonomics-nya adalah bauran yang tepat secara teknokratis. Namun, resep itu gagal oleh sistem KKN rezim Soeharto yang pada dekade terakhirnya mengabaikan pasar untuk kroni KKN.

Saya teringat dialog saya dengan Prof Widjojo saat membahas Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC). Saya mengusulkan proteksi petani cengkeh dilakukan melalui lindung nilai (hedging) bursa komoditas berjangka dan bukan model BPPC. IMF memasukkan BPPC sebagai salah satu monster predator pasar yang harus dibubarkan. Sayang, advis tidak didengar sama sekali oleh Pak Harto hingga Pak Harto lengser pada 1998.

Prof Widjojo juga tak segan menerabas pakem, mengontrakkan bea cukai ke perusahaan multinasional, SGS. Saya waktu itu menyatakan ia semestinya lebih canggih dengan membeli dulu saham SGS di Swiss, lalu Indonesia Inc jadi pemilik SGS yang kemudian mengontrak fungsi bea cukai RI. Pak Widjojo tersenyum dan berkata, ”Wah, kalau itu urusan Pak Harto dan Oom Liem, Anda usulkan saja”. Saya jawab, ”Wah, sudah telat Pak, begitu SGS ditunjuk, sahamnya langsung melejit dan terlalu mahal untuk beli. Namun, barangkali hopeng atau kerabat sudah membeli.”

Tugas Selesai

Memang ironis, kita lebih mudah meraih popularitas dengan mengibarkan bendera populisme. Misalnya, negara harus komando (leading and commanding position). Namun, saat diberi posisi itu malah utang 10 miliar dollar AS, seperti Ibnu Sutowo dalam kasus Pertamina. Pelajaran berharga, jangan pernah memberikan kekuasaan absolut kepada siapa pun, presiden republik, pimpinan Pertamina, atau presdir BUMN. Tentu saja CEO harus diberi keleluasaan kreatif memimpin BUMN, seperti BUMN Singapura yang sukses jadi kekuatan global, Temasek.

Pak Widjojo hanya menghela napas panjang dan menyatakan, tugasnya untuk Indonesia selesai dengan mengantarkan Indonesia satu generasi lebih dulu menginsafi peranan pasar yang klasik, tradisional dan universal. Pasar difasilitasi negara, yang tak boleh jadi monster predator terhadap masyarakat dan pasar. Namun, negara dan politisi yang bertanggung jawab harus amankan kepentingan nasional dari kegagalan dan keserakahan pasar.

Dalam sebuah debat di televisi, ekonom Kwik Kian Gie dari Rotterdam yang mendukung campur tangan pemerintah dengan telak mengalahkan tim Kabinet Indonesia Bersatu II yang tak jelas merumuskan dalam interaksi negara dan pasar itu apa peranan proaktif, kreatif, dan perspektif negara. Dalam rapat Komisi Ekonomi Nasional, 6 Maret, Wakil Ketua KEN Chatib Basri mengungkapkan, KIB II memang tak responsif dan cerdas dalam membela kebijakan. Kurang asertif dan ”rendah diri” terhadap oposisi yang all out walau tak sepenuhnya benar. Pak Widjojo telah tiada. Hidup Widjojo! Para penganut Widjojonomics bangkitlah atau Indonesia akan terbajak oleh diktator opini partisan sektarian yang menyesatkan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar