Televisi
Lokal, Siap Takut…
Teguh S Usis, PENGELOLA SAKTI TV NETWORK SURABAYA
(TV
LOKAL BERJARINGAN JAWA TIMUR)
SUMBER : KOMPAS, 10 Maret 2012
Sejatinya, amat tak enak memakai istilah
nasional dan lokal untuk menyebut identitas sebuah stasiun televisi swasta.
Istilah ini akan menciptakan dikotomi yang tak perlu, bahkan bisa pula
”mengibarkan bendera perang” televisi swasta nasional versus televisi swasta
lokal.
Namun, baiklah, untuk mempermudah saja kita
gunakan kedua istilah ini. Televisi swasta nasional tentunya merujuk kepada 10
stasiun televisi swasta yang berkedudukan di Jakarta, dengan daya pancar siaran
nyaris mencakup seluruh wilayah Nusantara. Sementara televisi swasta lokal
adalah stasiun televisi yang berkedudukan di suatu wilayah siaran, dengan
cakupan siaran yang terbatas pada wilayah layanan siaran itu sendiri.
Istilah nasional dan lokal juga dipakai Arie
F Batubara pada artikelnya berjudul ”Ke Mana Arah Revisi UU Penyiaran?”
(Kompas, 25/2/2012). Membaca artikel tersebut, ada dua hal yang menarik
dicermati. Pertama, semangat UU Penyiaran mendukung keberadaan stasiun televisi
lokal. Kedua, penerapan konsep siaran berjaringan.
Namun, artikel tersebut tidak terlalu
memfokuskan ihwal keberadaan televisi lokal. Padahal, televisi lokal sempat
menjamur pasca-diberlakukannya UU Penyiaran. Terbukti sampai saat ini jumlah
televisi lokal di Tanah Air lebih dari 100 stasiun meski sebagian besar hidup
dalam kondisi megap-megap.
Kini, UU Penyiaran akan segera direvisi. Para
pengelola televisi lokal tentu saja menaruh harapan besar agar revisi UU
Penyiaran semakin memberikan kesempatan yang luas bagi perkembangan televisi
lokal.
Namun, tebersit sebuah kecemasan: keberadaan
televisi lokal pelan-pelan akan diberangus lewat UU Penyiaran yang baru.
Ketidakmampuan televisi lokal menghidupi dirinya bisa dijadikan alasan kuat
untuk menyudahi era booming televisi lokal. Alasan ini bisa dipakai para
pengelola televisi nasional di Jakarta. Apalagi sampai saat ini tak sedikit
televisi nasional yang belum mendapatkan kanal di banyak wilayah layanan
siaran.
Dalam konteks ini, bukan tak mungkin
pengelola televisi nasional akan meminta pemerintah mencabut izin kanal
televisi lokal dengan alasan televisi lokal berada dalam kondisi megap-megap.
Kanal yang dicabut izinnya itulah yang kemudian akan diperebutkan oleh televisi
nasional.
Dapat Hidup
Hampir sebagian televisi lokal kelahirannya
lebih didasarkan euforia kemunculan UU Penyiaran pada 2002 yang diikuti
Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 76 Tahun 2003 tentang Rencana Induk
Kanalisasi Televisi. Kedua peraturan ini memang membuka keran sebesar-besarnya
bagi kelahiran televisi lokal. Namun, sayangnya, tak sedikit televisi lokal
lahir tanpa disertai perhitungan matang dari sisi rencana bisnis, rencana
program tayang, dan rencana teknik.
Padahal, berdasarkan survei kuantitatif dan
kualitatif yang kami lakukan pada 2010, ada tiga faktor utama yang harus
dimiliki televisi lokal agar mampu bersaing dari sisi bisnis dengan televisi
nasional. Ketiga faktor itu adalah kualitas pemancar untuk menghasilkan gambar
yang jernih di layar, kualitas teknik pengambilan gambar video, dan kualitas
program tayangan. Ketiga faktor ini dimiliki oleh stasiun televisi nasional.
Singkat kata, siaran boleh lokal, tetapi kualitas harus nasional.
Untuk dapat menjalankan prinsip ”siaran
lokal, kualitas nasional” ini, pengelolaan televisi lokal harus diserahkan
kepada para profesional yang sudah terbukti mumpuni. Cara singkat yang bisa
ditempuh adalah mendatangkan para profesional yang sudah berpengalaman di
televisi nasional untuk membangun televisi lokal sekaligus menciptakan
tenaga-tenaga lokal yang bakal menjadi profesional di bidang pertelevisian.
Setelah prinsip ”siaran lokal, kualitas
nasional” berjalan, langkah selanjutnya adalah menjadikan televisi lokal mampu
bersaing secara bisnis dengan televisi nasional. Hidup mati sebuah stasiun
televisi kini hanya ditentukan oleh ujung jari yang memencet remote control
televisi. Semakin banyak jumlah pemirsa sebuah stasiun televisi, semakin
gampang pula stasiun televisi bersangkutan untuk meraup iklan. Padahal, kue
iklan saat ini masih berpusat di Jakarta.
Kondisi inilah yang menyebabkan banyak
televisi lokal hidup dalam kondisi serba kekurangan. Jangankan mendapatkan laba
pada akhir tahun, pemilik televisi lokal malah harus terus mengucurkan uang
dari dompet pribadi untuk menutup biaya operasional yang tak kecil.
Maka, setelah ketiga faktor ”siaran lokal,
kualitas nasional” di atas terpenuhi, yang harus dipikirkan pengelola televisi
lokal adalah membuat konsep bisnis yang gampang diimplemantasikan. Karena kue
iklan berupa television commercial (TVC) lebih dari 70 persen beredar di
Jakarta, pengelola televisi lokal harus mampu melihat ceruk bisnis selain
mengandalkan TVC. Ada beberapa segi bisnis yang bisa menjadi andalan televisi
lokal, seperti program non-on-air alias off-air, blocking time dengan instansi
pemerintahan di daerah, serta media shopping.
Pengalaman sebuah televisi lokal di Madiun,
Jawa Timur, membuktikan keberhasilan konsep bisnis televisi lokal. Baru
beberapa bulan ditangani oleh manajemen profesional, pada 2012, sebuah televisi
lokal di Madiun sudah mampu mendapatkan pemasukan iklan melebihi perolehan
iklan sepanjang 2011. Pemasukan ini baru berasal dari satu pemasang iklan yang
melakukan blocking time setahun.
Televisi lokal akan semakin bersinar jika
diikat dengan siaran sistem berjaringan. Dengan berjaringan, pemasukan iklan
bagi televisi lokal tak hanya bisa diperoleh dari pemasang iklan lokal, juga
bisa didorong dari pemasang iklan regional. Jika televisi lokal memutuskan
untuk berjaringan di Jawa Timur, misalnya, anggota jaringan televisi lokal akan
kecipratan iklan dari wilayah lain. Sebagai ilustrasi, stasiun lokal di Madiun
bisa memperoleh iklan dari wilayah Malang karena ada stasiun anggota jaringan
di Malang.
Keberpihakan
Berkaca dari pengalaman satu stasiun televisi
lokal di Madiun, sudah sepatutnya revisi UU Penyiaran memberikan tempat yang
bagus bagi keberadaan televisi lokal. UU Penyiaran yang baru harus memiliki
semangat keberpihakan kepada televisi lokal. Apabila televisi lokal mampu
menghidupi dirinya, otomatis pemerataan dan penyebaran ekonomi jadi sebuah
keniscayaan.
Tak cuma itu, kehadiran televisi lokal yang
bermutu tentu akan menjadi kebanggaan pula bagi masyarakat daerah. Hal lain
yang patut menjadi perhatian para pengelola televisi lokal adalah isi siaran
yang dekat dengan keseharian masyarakat tempat televisi lokal itu berada.
Inilah yang disebut dengan prinsip lokalitas.
Dengan mengusung semangat lokalitas, niscaya
televisi lokal akan dapat tempat di hati penonton yang notabene warga tempat
televisi lokal itu berada. Dan, dengan menjalankan manajemen pertelevisian
secara profesional, pengelola televisi lokal seharusnya sudah tak minder lagi
bersaing secara sehat dengan televisi nasional. Semoga revisi UU Penyiaran
semakin memperkuat keberadaan televisi lokal. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar