Mencegah
Politisasi Kenaikan Harga BBM
J. Kristiadi, PENELITI SENIOR CSIS
SUMBER : KOMPAS, 6 Maret
2012
Keputusan politik negara menaikkan harga
bahan bakar minyak yang telah ditunda selama lebih kurang setahun tampaknya tak
dapat diundur lagi. Kebijakan populis yang merupakan bagian dari politik
pencitraan harus tunduk pada kenyataan bahwa keuangan negara tidak mampu
menyediakan dana subsidi BBM karena gejolak harga minyak dunia.
Beban keuangan negara terlalu berat
menanggung politik angan-angan dan fantasi yang menguras uang negara.
Mempertahankan harga bahan bakar minyak (BBM) akan meningkatkan biaya subsidi
BBM dan menimbulkan keringkihan APBN. Namun, alasan yang tidak kalah penting
adalah karena sebagian besar dana subsidi selama ini, menurut berbagai kajian,
justru dinikmati kelompok yang tergolong kaya dan bukan masyarakat miskin.
Kebijakan yang salah sasaran ini harus segera diakhiri. Oleh sebab itu, pilihan
kebijakan menaikkan harga BBM adalah opsi rasional.
Dalam jangka panjang, kebijakan ini juga
diharapkan secara bertahap mengurangi problem akut kemiskinan,
pengangguran, dan tingginya tingkat kesenjangan sosial ekonomi masyarakat. Dana
subsidi harus dialihkan untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan,
dan program sosial lain dalam mewujudkan kehidupan masyarakat yang lebih baik.
Namun, pilihan rasional tersebut memerlukan
upaya sangat keras dari negara agar masyarakat dapat memahami sehingga tidak
menimbulkan gejolak sosial dan politik. Usaha ekstra keras diperlukan,
mengingat beberapa hal berikut. Pertama, rasionalitas negara menjadi tidak
masuk akal bagi publik karena rendahnya tingkat kredibilitas lembaga-lembaga
negara dan politik. Bahkan, sebagian kalangan bersuara nyaring meragukan peran,
kejujuran, dan niat politik negara mengelola kekuasaan yang amanah. Persepsi
tersebut menguat karena perilaku elite politik dan penyelenggara negara yang
kering empati, suka pamer kekayaan, jemawa, kedap terhadap tangisan penderitaan
rakyat, dan mengumbar keserakahan kekuasaan. Akibat impresi ini, dapat
dipastikan rakyat sukar menerima kenaikan harga BBM yang hanya akan menambah
beban kehidupan yang telah mencapai ambang batas daya tahan mereka.
Kedua, kepentingan politik kekuasaan
menjelang Pemilu 2014 yang memanas akhir-akhir ini dapat menambah kompleksitas
pengambilan keputusan ataupun implementasi kebijakan. Indikasi ini mulai muncul
dengan beredarnya kasak-kusuk dari istana bahwa kenaikan harga BBM akan
digunakan sebagai pemicu menggulingkan pemerintahan SBY-Boediono. Sementara
itu, tidak mustahil kenaikan harga BBM memang dapat dimanfaatkan oleh
kelompok-kelompok politik untuk semakin menggerogoti kredibilitas pemerintah.
Ketiga, pemerintahan yang lemah serta
birokrasi yang korup tidak menjamin semua teori, skema, dan konsep yang di atas
kertas bertujuan melindungi masyarakat miskin dan mengurangi beban masyarakat
dapat mencapai sasaran.
Oleh sebab itu, kebijakan menaikkan harga
BBM, meski dapat diterima akal sehat, memerlukan kerja keras dan konsolidasi
politik di kalangan partai pendukung pemerintah yang kekuatannya nyaris 75
persen di parlemen. Langkah pertama, mereka harus terlebih dahulu membangun
tekad dan niat politik yang lurus untuk mengelola kekuasaan negara demi
kepentingan rakyat. Risiko tidak menjadi populer harus ditanggung oleh semua kekuatan
politik yang menjadi bagian dari pemerintahan.
Dengan modal tersebut, seluruh kekuatan
politik harus melakukan sosialisasi yang disertai dengan sikap penuh simpati
dan afinitas terhadap masyarakat yang telah lama mendambakan hidup lebih baik.
Tanpa kemampuan merasakan suasana hati rakyat, penjelasan hanya akan menuai
sinisme dan daya tolak publik. Para elite politik harus menunjukkan komitmen
mereka untuk menemani rakyat yang kelelahan dalam menjalani hidup yang semakin
sulit.
Niat dan keputusan politik itu juga harus
dapat ditransformasikan dalam kebijakan pemberian kompensasi yang segera dapat
meredam kenaikan harga kebutuhan pokok, misalnya program beras untuk rakyat
miskin dan bantuan langsung tunai.
Selanjutnya, pemerintah harus dapat menjamin
pengelolaan kekayaan mineral di masa depan tidak dijarah oleh politisi yang
serakah untuk membangun kekuasaan politik. Praktik kebijakan pengelolaan
tambang yang menjadi sumber pendanaan politik oleh ambisi buta para kandidat
kepala daerah menunjukkan bahwa berkah kekayaan alam mulai menjurus ke arah
kutukan.
Tanpa koreksi dan kemauan keras mengubah
perilaku politik, dikhawatirkan berkah melimpah yang seharusnya menjadikan
takdir bangsa Indonesia menjadi negara yang makmur akan menjadi kutukan yang
menyengsarakan rakyat. Mungkin pengalaman beberapa negara di Benua Afrika dapat
dijadikan pelajaran. Negara yang sumber alam mineralnya berlimpah, misalnya
Liberia, Sierra Leone, Eritrea, Etiopia, Pantai Gading, dan Nigeria, dapat
jatuh miskin karena pertarungan kepentingan kekuasaan yang mengabaikan
kepentingan rakyat.
Berbagai studi di negara-negara tersebut
masih menyisakan konklusi retorik dalam bentuk pertanyaan yang mencerminkan
tragedi beberapa negara tersebut: apakah kekayaan mineral yang melimpah itu
kutukan atau berkah (a curse or a
blessing). Mudah-mudahan elite politik dapat memetik pelajaran amat
berharga tersebut. ●
tidak etis rasanya jika kenaikan Harga Minyak digunakan sebagai alat persaingan para elit politik negara ini.
BalasHapus