Media
Jadi Kambing Hitam
Suryopratomo, DIREKTUR PEMBERITAAN METROTV
SUMBER : KOMPAS, 6 Maret
2012
“Anas Terima Miliaran Rupiah”, itulah judul utama harian Kompas
edisi 1 Maret 2012. ”Anas Semakin Sulit
Berkelit” merupakan judul utama Koran Tempo pada hari yang sama.
Kedua judul itu diambil dari hasil
persidangan korupsi pembangunan wisma atlet SEA Games XXVI dengan terdakwa
mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M Nazaruddin. Dalam persidangan yang
menampilkan sejumlah saksi yang bekerja di Grup Permai terungkap bahwa posisi
Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum di dalam perusahaan.
Para saksi menjelaskan secara rinci hari-hari
apa saja Anas biasa datang ke kantor dan bekerja pada perusahaan tempat mereka
bekerja. Mobil apa saja yang pernah diberikan perusahaan lengkap dengan nomor
polisi yang digunakan.
Juga dijelaskan berapa banyak kardus uang
yang dibawa untuk Kongres Partai Demokrat di Bandung dan berapa yang dibawa
kembali ke Jakarta. Juga bagaimana pengiriman uang 1 juta dollar AS dari
perusahaan untuk diberikan kepada Anas.
Dengan judul seperti itu, apakah Kompas dan
Koran Tempo sedang menghakimi Anas? Apakah judul seperti itu tidak
mengonotasikan bahwa Anas menerima uang dari perusahaan yang diduga terlibat
korupsi pembangunan wisma atlet SEA Games XXVI?
Apakah tanggapan Anas terhadap kesaksian itu
tidak dianggap sebagai bagian dari upaya media memberi asas keberimbangan?
Kalau media dianggap menghakimi Anas, apakah
memang ada motif politik di belakang kebijakan pemberitaan itu? Apakah
pemberitaan Kompas merupakan kebijakan dari Pemimpin Umum Jakob Oetama atau
Pemimpin Redaksi Rikard Bagun? Apakah pemberitaan yang dibuat Koran Tempo
membawa kepentingan Goenawan Mohamad atau Bambang Harymurti?
Kebenaran Jurnalistik
Sebagai orang yang pernah ikut dalam proses
penetapan kebijakan editorial di Kompas, tidak pernah rapat redaksi menetapkan
arah kebijakan editorial atas dasar kepentingan orang per orang. Rapat redaksi
merupakan pergumulan pemikiran dari para awak redaksi untuk bisa menangkap
fenomena yang terjadi.
Media tidak pernah menetapkan arah kebijakan
editorial berdasarkan sikap emosional. Semua selalu dilakukan dengan
menggunakan akal sehat. Media selalu bekerja untuk menemukan kebenaran
berdasarkan kebenaran jurnalistik yang diyakini oleh awak redaksinya.
Tentu media selalu mempertimbangkan prinsip
obyektif, independen, dan berimbang. Media selalu berusaha untuk tidak
melakukan pemihakan. Namun, seperti disampaikan Jakob Oetama dalam pidato
pengukuhan saat menerima doktor honoris causa dari Universitas Gadjah Mada,
obyektivitas media massa merupakan obyektivitas yang subyektif.
Oleh karena obyektivitas yang subyektif itu,
wartawan dalam bekerja selalu dihinggapi sikap waswas. Wartawan tidak pernah
bekerja dengan prinsip publish and be damned, tetapi selalu dikatakan in fear
and trembling in anguish, dalam rasa takut dan gemetar. Mengapa? Karena takut
salah dalam menjalankan prinsip obyektivitas yang subyektif tadi.
Oleh karena itu, tidak masuk akal pendapat
yang disampaikan mantan Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Pusat S Sinansari Ecip
yang mengatakan bahwa MetroTV dan TVOne telah menghukum Anas dan Angie.
Apalagi, ditarik kesimpulan bahwa MetroTV dan TVOne dikhawatirkan dijadikan
corong Partai Nasdem yang didirikan Surya Paloh dan Partai Golkar yang sekarang
dipimpin Aburizal Bakrie (Kompas, 2 Maret 2012, halaman 7).
Cara pandang itu bukan hanya jauh dari
kenyataan, melainkan merendahkan martabat wartawan yang bekerja pada institusi
tersebut. Seakan-akan wartawan di sana hanya robot yang bisa dimanfaatkan oleh
kepentingan pemilik. Seakan-akan wartawan yang bekerja pada kedua televisi itu
tak paham arti profesionalisme dan tak memiliki idealisme dalam menjalankan
profesinya.
Bisnis televisi sendiri bukanlah bisnis yang
tak membutuhkan kapital. Sekali orang memutuskan masuk ke bisnis televisi, ia
harus menyediakan modal yang besar untuk bisa beroperasi. Apabila bisnis media
cetak ”membakar uang” sehari sekali, bisnis televisi ”membakar uang” setiap
detik.
Agar televisi itu bisa bertahan hidup,
prinsip sebagai industri media harus dipahami. Lima prinsip dasar industri
media massa, pertama, harus ada idealisme yang diperjuangkan. Idealisme itu tak
bisa didasarkan kepentingan golongan atau kelompok. Kita sudah melihat media
massa yang dibangun untuk kepentingan partisan tidak pernah bisa bertahan lama.
Agar idealisme itu bisa dijalankan,
dibutuhkan orang-orang yang profesional. Tak mungkin idealisme bisa
diterjemahkan ke dalam kegiatan jurnalistik apabila hanya diserahkan kepada
orang-orang yang bekerja seperti robot dan mau disuruh-suruh saja oleh
pemiliknya.
Idealisme yang ditopang oleh profesionalisme
itulah yang akan membuat institusi media massa itu bisa dipercaya. Ketika media
sudah mendapat kepercayaan dari publik, beritanya akan memberikan pengaruh.
Apabila media bisa memberi pengaruh kepada
masyarakat, baru bisnis dari industri media itu akan bisa berkelanjutan.
Soalnya, masyarakat penerima informasi bukanlah individu-individu yang tak
menggunakan akal sehat. Ketika mereka menonton berita di televisi ataupun
membaca koran, ada interaksi antara pembaca dan penyedia informasi. Apabila
informasi dan berita yang disampaikan tidak bisa dipercaya, media itu akan
ditinggalkan oleh masyarakat.
Bukan Corong
Surya Paloh dan Aburizal Bakrie tentunya
memahami prinsip dasar itu. Tidaklah mungkin mereka menerjuni bisnis media
hanya untuk membuang uang, tetapi pasti berharap agar bisnis tidak membebani
perusahaannya.
Dalam konteks media dan partai politik,
memang ada premis, siapa yang memiliki media massa, ia akan bisa menguasai
politik. Kalau memang hubungannya seperti itu, seharusnya Partai Golkar menjadi
pemenang pemilihan umum dan pemilihan presiden 2004 dan 2009. Mengapa? Karena
tahun 2000 MetroTV sudah hadir dan Surya Paloh adalah petinggi Golkar.
Namun, rakyat ternyata mempunyai preferensi
sendiri. Golkar yang memenangi Pemilu 2004 gagal untuk menjadikan Wiranto dan
Salahuddin Wahid sebagai presiden dan wakil presiden. Yang dipilih oleh rakyat
adalah pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla.
Demikian pula pada Pemilu 2009. Sebagai ketua
Dewan Penasihat Golkar dan pemilik MetroTV, apabila benar media yang
menentukan, seharusnya pasangan Jusuf Kalla-Wiranto yang menjadi presiden dan
wakil presiden. Kenyataannya rakyat memilih pasangan SBY-Boediono.
Sekarang ini dengan gencarnya pemberitaan
berkaitan dengan korupsi yang melibatkan kader Partai Demokrat, kalau televisi
menjadi kepentingan partai politik, hasil survei-survei akan menunjukkan Golkar
dan Partai Nasdem sebagai partai pilihan masyarakat. Ternyata hasil survei
menunjukkan bahwa masyarakat memilih Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
sebagai partai yang akan menjadi pemenang apabila pemilu dilaksanakan sekarang.
●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar