Jalan
Terjal Pemiskinan Koruptor
Febri Diansyah, PENELITI HUKUM INDONESIA CORRUPTION WATCH
SUMBER : KOMPAS, 6 Maret
2012
Presiden SBY menyatakan mendukung pemiskinan
koruptor (Kompas, 3/3). Pernyataan ini respons atas vonis pengadilan tindak
pidana korupsi terhadap Gayus HP Tambunan yang memerintahkan harta mantan
pegawai pajak tersebut dirampas untuk negara.
Gayus dijerat pasal korupsi dan pencucian
uang. Pemiskinan seperti apa yang ada dalam pikiran Presiden? Konsep yang tentu
tak boleh hanya bersifat reaksioner dan berhenti pada konsumsi pencitraan
semata. Jika dicermati, wacana pemiskinan muncul lantaran kekecewaan mendalam
pada realitas penghukuman kita.
Sering terdengar koruptor divonis ringan atau
bahkan bebas. Berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch, sejak pengadilan
tipikor daerah terbentuk, setidaknya 51 terdakwa divonis bebas/lepas dengan
skor tertinggi dipegang Pengadilan Tipikor Surabaya dan Samarinda.
Sanksi yang dijatuhkan pun tergolong rendah.
Pada 2011, dari 55 terpidana korupsi yang dieksekusi KPK, rata-rata vonis hanya
3 tahun 2 bulan. Bahkan, untuk ”korupsi berjemaah” seperti skandal suap
pemilihan Deputi Gubernur Senior BI Miranda S Goeltom, rata-rata vonis hanya 1
tahun 4 bulan. Padahal, pelaku korupsi orang-orang yang sebelumnya berada di
posisi terhormat, mendapat kepercayaan rakyat untuk mengurus negara yang
kemudian khianat.
Angka di atas terasa kian menjengkelkan
ketika di lembaga pemasyarakatan, para pencuri uang rakyat ini justru mendapatkan
”kemewahan” dalam bentuk remisi hingga pembebasan bersyarat. Walhasil, proses
hukum yang sulit dan kerugian masyarakat akibat korupsi sama sekali tak
terobati dengan hukuman ala kadarnya itu. Jangankan efek jera terhadap pihak
lain agar tidak melakukan korupsi, penjeraan terhadap pelaku pun sulit
tercapai. Para pejabat tak akan enggan korupsi jika ternyata ”kerugian” yang
didapat tidaklah sehebat nikmat dan keuntungan dari korupsi itu sendiri. Siapa
takut korupsi?
Pemikiran dan tindakan konkret untuk menjawab
situasi yang terasa tidak adil tentang penghukuman koruptor perlu ada.
Perampasan kekayaan hingga kolong kasur koruptor harus direalisasikan sehingga
orang akan berpikir seribu kali untuk korupsi karena jika tertangkap, ia bisa
menjadi lebih miskin dari sebelumnya.
Kenapa Pemiskinan?
Argumentasi lebih konseptual pemiskinan
koruptor terkait dengan satu isu penting tentang perang terhadap kejahatan
serius. Dalam diskursus penerapan UU pencucian uang yang terkait dengan
kejahatan transnasional dan terorganisasi, kita mengenal prinsip uang sebagai
live blood of the crime. Uang hasil kejahatan sesungguhnya darah yang
menghidupi kejahatan tersebut, menutupinya dari proses hukum, dan bahkan modal
untuk melakukan kejahatan yang lebih besar.
Sebuah kejahatan terorganisasi tentu perlu
biaya operasional yang tak sedikit. Ketika kejahatan selesai, hasilnya akan
disimpan dan dikelola untuk membiayai ”pertahanan diri” agar tak disentuh
hukum, termasuk menyuap penegak hukum dan menyewa pengacara andal. Selain itu,
dalam perkembangannya, mekanisme gate-keeper untuk mencuci uang
hasil kejahatan—agar seolah-olah sah—juga butuh biaya tinggi. Aliran dana
kejahatan ini dapat saja berputar seperti siklus yang kadang sebagian di
antaranya masuk dalam aliran dana ”formal” keuangan negara lewat pencucian
uang.
Dari sudut pandang ”darah bagi kejahatan”
ini, konsep pemiskinan koruptor dinilai punya arti strategis untuk memotong
nadi kejahatan. Selain diperkirakan sebagai titik yang paling rapuh dalam
konstruksi kriminal, perampasan kekayaan hasil kejahatan juga punya fungsi
pencegahan terhadap kejahatan yang jauh lebih sistematis, besar, dan
terorganisasi. Tentu dengan catatan, ke depan konsep pemiskinan ini tak lagi
sekadar menyentuh personal, tetapi juga korporasi sehingga upaya pengumpulan
dana, pengelolaan, dan siklus uangnya bisa lebih efektif dihentikan dengan
sarana hukum.
Dari sudut pandang teori oligarki, kita bisa
menemukan relevansi strategi pemiskinan koruptor ketika ia mampu merusak
konsentrasi kekayaan para oligarkis. Seperti diuraikan Jeffrey Winters, hanya oligarkis yang mampu menggunakan kekayaannya
untuk mempertahankan kekayaan. Pertahanan kekayaan mencakup dua hal: property defense dan income defense.
Jika perolehan kekayaan dan sumber pendapatan
para oligarkis sesuai aturan hukum, mungkin tak akan jadi soal. Namun, menjadi
sangat serius ketika konsentrasi kekayaan berasal dari perampokan keuangan
negara atau persekongkolan dengan pejabat pada pengelolaan sumber daya alam
atau kebijakan ekonomi yang menguntungkan para oligarkis.
Singapura sudah melakukannya ketika
pemerintah negara itu melakukan pertempuran besar dengan kaum oligarkis yang
menumpuk kekayaan lewat korupsi, dengan membentuk Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB, semacam KPK) pada 1952 (Winters, 2011: 421).
Pengalaman Singapura bisa jadi pembelajaran.
Bahwa perang terhadap korupsi juga harus dilihat sebagai bagian dari strategi
lebih besar untuk memecah konsentrasi kekayaan para perampok yang akhirnya
berujung pada distribusi kesejahteraan yang lebih adil. Kewajaran kekayaan para
penyelenggara negara bisa jadi titik awal pintu masuk. Kemudian, kekayaan dan
transaksi yang mencurigakan itu ditelusuri lebih jauh asal-usul dan relasinya
dengan penguasa modal.
Pembuktian
Terbalik
Secara hukum, komitmen bersama menerapkan
pembuktian terbalik yang dianut di UU No 8/2010 tentang Pencucian Uang
bersamaan dengan UU Pemberantasan Korupsi menjadi syarat mutlak. Sebanyak
152.000 lebih dokumen laporan harta kekayaan pejabat negara (LHKPN) yang sudah
di tangan KPK dan ribuan laporan transaksi keuangan mencurigakan yang ditemukan
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan harus ditindaklanjuti serius.
Tak cukup kerja aparat penegak hukum, harus ada komitmen politik Presiden, DPR,
dan masyarakat.
Tanpa bermaksud mengecilkan kerja keras
penegak hukum dalam kasus Gayus, bicara pemiskinan koruptor, sesungguhnya kita
masih menghadapi jalan terjal. Salah satunya, Indonesia belum mengadopsi aturan
tentang kekayaan yang diperoleh dengan cara tak wajar (illicit enrichment) meskipun sudah meratifikasi Konvensi PBB
melawan Korupsi (UNCAC) sejak 2006. Kewenangan KPK terkait LHKPN masih seperti
pengelola arsip, rekening gendut jenderal polisi tak tersentuh, mafia masih
membayangi institusi penegak hukum, Presiden cenderung berhenti pada segerobak
instruksi dan lemah implementasi. Mengingat korupsi yang begitu merajalela dan
perkawinan oligarkis kaya dengan kekuatan politik, kerja pemiskinan koruptor
masih panjang. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar