Matahari
Kembar Pemerintahan Daerah
Teuku Kemal Pasya, DOSEN ANTROPOLOGI DI UNIVERSITAS MALIKUSSALEH, LHOKSEUMAWE
SUMBER : SINAR HARAPAN, 7
Maret 2012
Gerakan reformasi 1998 telah berhasil
mengecilkan sentralisme dan arogansi pusat dalam mengurus daerah.Filosofi desentralisasi adalah memperkuat
kemandirian pemerintahan daerah, di mana pada masa Orde Baru kepala daerah
nyaris seperti karyawan yang diperbantukan pusat: tanpa improvisasi,
kreativitas, dan inovasi.
Gagasan desentralisasi juga dimajukan untuk
mencegah terpecahnya NKRI. Ketika bangunan kekuasaan Soeharto runtuh, publik
menyaksikan dengan telanjang aneka gerakan separatisme yang timbul akibat
Jakarta salah urus daerah.
Di samping itu, desentralisasi juga untuk
mengurangi beban wewenang pusat melalui pendelegasian hampir sebagian besar
kewenangan daerah, plus mempraktikkan demokrasi lokal.
Meskipun demikian, tidak semua idealisme
mampu terpenuhi. Ide pembentukan wilayah administrasi baru demi mengefektifkan
rentang kendali birokrasi dan pelayanan telah berubah menjadi politik pemekaran
penuh nafsu kekuasaan.
Demikian juga, efek negatif otonomi daerah
telah mendidik kepala daerah untuk menjadi raja-raja lokal yang keras kepala,
egois, dan tak bertanggung jawab, baik kepada pusat maupun masyarakat.
Terakhir, simptom negatif otonomi daerah juga
disumbangkan oleh sistem pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung yang
telah menyebabkan instabilitas pemerintahan daerah. Kasus mundurnya Wakil
Gubernur Jakarta Prijanto dan Wakil Bupati Garut Dicky Chandra menjadi contoh
sistem pilkada tak kunjung menghasilkan pemerintahan daerah yang solid.
Harmonis di Awal
Gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati,
dan wali kota/wakil wali kota adalah pasangan harmonis pada masa kampanye dan
pilkada. Senyum pasangan kepala daerah itu mengembang dalam poster-poster
kampanye dan baliho, dan menjadi semakin masam ketika bertugas.
Pasangan kepala daerah hanya menjadi duet
strategis pada dua tahun pertama masa pemerintahan, setelah itu biasanya mulai
ditumbuhi konflik dan rivalitas.
Pemandangan ini menjadi pengalaman yang jamak
ditemukan di banyak daerah. Di Aceh sendiri, dari beberapa hasil penelitian
demokrasi, menunjukkan lebih 70 persen pasangan kepala daerah menjadi “pasangan
cerai” dan selalu bertengkar. Pertengkaran itu bahkan menjadi perbincangan
publik dan bukan hanya diketahui internal pemerintahan.
Dari wawancara dengan seorang bupati di Aceh
yang pernah meminta mundur, saya mendapatkan informasi bahwa ada dua hal yang
menjadi sumbu konflik antara kepala dan wakil kepala daerah, yaitu ketika
terjadi penempatan pejabat dan urusan pengelolaan proyek.
Hal ini juga biasanya ditambah dengan adanya
tim kerja masing-masing yang membangun informasi negatif sehingga hubungan
mereka semakin memburuk.
Aura negatif pemerintahan daerah itu seperti
menunggu hari-hari tanpa makna hingga masa pilkada kembali tiba. Untuk periode
Pilkada 2012, di Aceh hampir semua pasangan incumbent tidak lagi maju
bersama.
Mereka akhirnya berpisah di ujung jalan dan
memilih kendaraan politik masing-masing, baik melalui partai politik atau
meminang partai politik lain, dan juga melalui jalur perseorangan.
Reformasi Setengah Sistemik
Sebenarnya konflik ini telah disadari oleh
Kementerian Dalam Negeri. Sejak UU No 32/2004 diberlakukan, ditemukan banyak
sekali kelemahan sistemik duet kepala daerah. Itu kemudian diantisipasi melalui
amendemen undang-undang pemerintahan daerah yang mengatur tugas pokok dan
fungsi (tupoksi) wakil kepala daerah.
Dalam Pasal 26 UU No 12/2008 disebutkan
secara tegas peran wakil kepala daerah, di antaranya fungsi pengawasan
pembangunan, bidang pemberdayaan perempuan dan pemuda, dan mengupayakan
pengembangan serta pelestarian sosial budaya dan lingkungan hidup. Wakil kepala
daerah hanya akan memiliki fungsi kepala daerah jika ada kesepakatan khusus
atau kepala daerah sedang berhalangan.
Namun ternyata aturan normatif itu tidak juga
berjalan efektif. Praktik politik lebih mengemuka dibandingkan menyesuaikan
diri pada regulasi dan perundang-undangan. Dari pengalaman di lapangan
diketahui konflik pasangan kepala daerah mudah terjadi jika di antara mereka
memiliki basis politik yang tidak tunggal.
Koalisi partai yang mengusung duet kepala
daerah itu hanya menjadi koalisi taktis dan bukan koalisi ideologis yang
permanen. Konflik juga semakin bernyala jika basis politik partnernya lebih
besar di parlemen.
Tak urung kepala daerah itu digoyang oleh
politisasi partnernya yang berkonspirasi dengan basis politik di DPRD/K,
termasuk melakukan mobilisasi massa untuk memperkeruh suasana.
Kekisruhan ini jelas membawa pengaruh buruk
bagi demokrasi lokal. Idiom demokrasi lokal tidak dapat diintroduksi dengan
hanya mengandalkan lembaga-lembaga lokal (termasuk lembaga adat) dan akar
rumput saja.
Karena dalam banyak hal, terutama di era
modern ini, lembaga formal negara, seperti bupati memiliki kekuasaan yang besar
mengatur aset dan kekayaan daerah, termasuk kewenangan regulasi untuk
menentukan kebijakan daerah.
Solusi
Belajar dari pengalaman itu, sudah harus
dipikirkan untuk menghilangkan adanya raja kembar dalam pemerintahan daerah.
Satu raja saja sudah cukup membuat iklim birokasi menjadi kerepotan, apalagi
dua. Semakin sering rivalitas keduanya dalam perang birokrasi, semakin
membangkrutkan daerah dan sepi dari pembangunan yang berkelanjutan.
Pemerintah perlu memikirkan untuk membuat
undang-undang pemerintahan daerah baru yang mengatur bahwa sistem pilkada hanya
untuk memilih gubernur/bupati/wali kota. Peran wakil hanya akan ditentukan
ketika sang kepala daerah terpilih, apakah ia memerlukan sebagai sistem
pendukung birokrasi atau tidak.
Jika kepala daerah menganggap keberadaan
sekretaris daerah dan satuan kegiatan perangkat daerah (SKPD) telah cukup, maka
tidak diperlukan lagi penambahan jabatan wakil yang juga akan berimplikasi pada
anggaran. Logika efisiensi harus dipikirkan dengan pertimbangan kebutuhan
masyarakat yang semakin kompleks dan banyak.
Kepala daerah tidak memerlukan citra atau
gincu lebih banyak lagi di pemerintahannya hanya dengan menambah posisi wakil.
Cukuplah ia sendiri secara kesatria menanggung hasil pembangunan daerahnya,
tanpa perlu mencari-cari kesalahan dari wakil atau sebaliknya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar