Sabtu, 17 Maret 2012

Makna di Balik Putusan PTUN Narapidana Bebas Bersyarat


Makna di Balik Putusan PTUN
Narapidana Bebas Bersyarat
Romli Atmasasmita, DOSEN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA;
PEMERHATI HUKUM POLITIK; ADVOKAT
SUMBER : SINDO, 17 Maret 2012


 
”Duel” Yusril Ihza Mahendra dan Denny Indrayana babak keempat usai sudah dengan skor 4-0 untuk Yusril Ihza Mahendra sejak debat di Mahkamah Konstitusi (MK) yang berakhir dengan lengsernya Hendarman Supandji sebagai jaksa agung.
”Duel” ini sejatinya merupakan pertarungan dua pakar hukum tata negara; pertarungan kepiawaian menggunakan ilmu hukum tata negara dalam mempertahankan kebenaran masing-masing pihak. Sayangnya, pertarungan tersebut berakhir dengan agitasi dan stigmatisasi Denny Indrayana yang telah menyerang secara pribadi dengan tuduhan prokoruptor dan “corruptors fight back”.

Saya sependapat dengan Yusril bahwa seorang pejuang hukum adalah mereka yang tanggap dan kritis terhadap setiap langkah kebijakan negara, apa pun kebijakannya itu, apalagi yang berhubungan dengan hak asasi rakyat termasuk narapidana dan tahanan. Salah satu langkah pemerintah (negara) saat ini adalah menzalimi mereka yang disebut narapidana khususnya korupsi layaknya sebagai ”hewan peliharaan”. Pernyataan ini bukan tanpa sebab karena dalam sidang Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Timur, saya selaku ahli dari penggugat mendengar sendiri wakil pemerintah mengatakan bahwa hak narapidana bukan termasuk hak asasi manusia (HAM)!

Dalam sidang tersebut saya membantah sikap pemerintah dengan menegaskan bahwa Bab XA HAM dalam UUD 1945 berlaku untuk setiap warga negara, termasuk narapidana. Pernyataan wakil pemerintah tersebut jelas bertentangan dengan maksud dan tujuan penyusun UUD 1945. Begitupula dalam Konvensi Internasional HAM tidak tersirat maupun tersurat bahwa HAM hanya berlaku untuk manusia bebas.

Cara pemerintah memandang narapidana tidak memiliki HAM layaknya manusia pada umumnya merupakan penzaliman terhadap sesama anak bangsa.Korupsi harus diberantas dengan cara-cara penegakan hukum, bukan dengan penegakan kekuasaan. Itulah pakem suatu negara hukum demokratis. Masih ada pakem hukum lain yaitu kekalahan dalam duel tanding hukum hanya berakhir melalui upaya hukum yang diatur berdasarkan hukum acara yang berlaku, bukan dengan fitnah karena caracara tersebut mencerminkan kadar intelektualitas hukum seseorang.

Saya selakuinisiatorundangundang pemberantasan korupsi dan pembentukan KPK prihatin dengan cara-cara pemerintah mendorong gerakan pemberantasan korupsi melalui proses stigmatisasi tiada berujung terhadap pelaku korupsi dan keluarganya. Pemerintah juga sering tanpa sebab atau bukti yang cukup telah mendahului langkah lembaga penegak hukum, termasuk KPK. Putusan PTUN Jakarta Timur tersebut justru putusan yang berasal dari hati nurani majelis hakim, bukan tanpa nurani.

Putusan tersebut secara normatif merujuk pada undang-undang, bukan pada aspirasi pemerintah.Di sinilah letak independensi majelis hakim PTUN yang saya tahu dipimpin orang-orang berusia muda. Saya dukung sepenuhnya putusan PTUN Jakarta Timur karena saya tidak setuju terhadap kebijakan pengetatan remisi dan bebas bersyarat atas dasar tiga pertimbangan: Pertama, efek jera tidak hanya dapat dibebankan semata-mata pada sistem pemasyarakatan, tapi juga bergantung pada sistem politik dan sistem perundang- undangan yang tidak menimbulkan efek jera.

Contoh RUU Pemilu membolehkan mantan narapidana untuk dapat dipilih menjadi anggota Dewan; UU KUP (Perpajakan) tidak memberikan efek jera terhadap wajib pajak dengan ketentuan pembayaran kekurangan pajak plus bunga tanpa pidana; penyelesaian kasus BLBI dengan inpres; dan bailout kepada pemilik Bank Century dengan melanggar ketentuan PBI mengenai CAR di bidang perbankan. Kedua,efek jera melekat pada hukuman yang dijatuhkan oleh putusan hakim dengan konsekuensi secara implisit melekat derita narapidana baik secara psikologis maupun sosial serta aib luar biasa pada anak, istri, dan keluarganya terkucil dari pergaulan seharihari.

Sekalipun ada “kemewahan atau keistimewaan” dalam lembaga pemasyarakatan, tidak akan semewah dan seistimewa kehidupan dalam lingkungan keluarganya. Ketiga, kebijakan pemerintah tersebut menyimpang dari ketentuan konvensi internasional khusus berlaku untuk narapidana (Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners) yang dicanangkan sejak 1955.

Makna di balik putusan PTUN Jakarta Timur dalam perkara gugatan tujuh narapidana korupsi adalah: Pertama, merupakan peringatan bahwa pemerintah tidak boleh membuat dan melaksanakan kebijakan, sekalipun bertujuan baik, tetapi menggunakan cara-cara yang bertentangan dengan undangundang yang berlaku kecuali mengubah undang-undangnya.

Kedua, pejabat pemerintah harus menyadari bahwa reformasi menuntut perubahan sikap mental ke arah demokratisasi sosial, intelektual, politik, dan ekonomi. Pascareformasi, bangsa ini hidup dalam demokrasi Pancasila tanpa diwarnai perbedaan latar belakang etnis, agama dan ras, serta status sosial setiap warga negara termasuk narapidana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar