Rabu, 07 Maret 2012

Superbodi dan Bodi Super


Superbodi dan Bodi Super
I Nyoman Tjager, KOMISARIS UTAMA PT BURSA EFEK INDONESIA
SUMBER : KOMPAS, 7 Maret 2012



Pendirian Otoritas Jasa Keuangan tak bisa ditawar-tawar dan diulur-ulur lagi. Dengan disahkannya UU No 21/2011 tentang OJK pada 22 November 2011, OJK harus segera dibentuk.

Presiden sudah menunjuk panitia seleksi pimpinan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Pada 30 Januari-14 Februari, panitia seleksi telah membuka kesempatan bagi masyarakat untuk melamar sebagai Dewan Komisioner OJK. Tercatat 309 orang berminat. Pada tahap pertama, dari semua pendaftar, 87 orang lolos seleksi tahap pertama, yakni kelengkapan administrasi. Kini seleksi masuk tahap kedua dan pertengahan Maret harus dihasilkan 21 calon untuk diserahkan ke presiden.

Sosok Ideal

Di tengah ingar-bingar pemilihan, berkembang berbagai wacana di masyarakat tentang sosok ideal komandan OJK. Sebagian menghendaki lembaga ini dipimpin seorang bankir karena bidang tugasnya lebih banyak berkaitan dengan kegiatan dan praktik perbankan. 

Ada yang menginginkan OJK dipimpin ”malaikat” karena OJK lembaga superbodi dengan godaan sangat besar. Ada juga yang mau OJK dipimpin sosok independen yang takut kepada Tuhan serta mempunyai integritas kuat dan nasionalisme tinggi. Singkatnya, OJK harus dipimpin orang-orang yang punya integritas, kemampuan, dan pengalaman di atas rata-rata penduduk Indonesia, bahkan manusia setengah dewa.

Berbagai wacana di atas menunjukkan harapan dan antusiasme masyarakat terhadap lembaga ini. Masyarakat menginginkan lembaga ini tampil ideal, normatif, dan mampu menjalankan misi tanpa noda. Ini harapan yang sangat wajar di tengah banyaknya kekecewaan masyarakat. Masyarakat kecewa dengan berbagai fakta korupsi yang disuguhkan setiap hari di media massa ataupun jejaring sosial.

Mereka kecewa dengan munculnya kasus-kasus penyelewengan dan penyalahgunaan yang dibuka secara telanjang. Tak masuk di akal bagaimana seorang PNS golongan IIIc memiliki deposito di atas Rp 60 miliar. Pendek kata, wacana di atas mencerminkan kuatnya harapan agar lembaga ini tidak mengecewakan publik.

Dalam Pasal 10 UU OJK disebutkan, OJK dipimpin Dewan Komisioner yang bersifat kolektif dan kolegial beranggotakan sembilan orang. Dalam Pasal 2 Ayat (2) disebutkan, OJK lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pihak lain kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam UU ini. Dalam Pasal 4 disebutkan, OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan: a) terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel; b) mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan c) mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.

Dalam Pasal 5 disebutkan, OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan sektor jasa keuangan. Dalam Pasal 6 dinyatakan, OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap: a) kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan; b) kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal; dan c) kegiatan jasa keuangan di sektor perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lain.

Kewenangan Sangat Besar

Mengacu pada tujuan, fungsi, dan tugas tersebut, OJK dilengkapi kewenangan sangat besar, diatur di Pasal 7. Dengan kewenangan sebesar itu, muncul kesan betapa besar kekuasaan dan kewenangan yang melekat di OJK. Ia tampil sebagai lembaga powerful. Karena itulah, kerap muncul istilah OJK lembaga superbodi dengan kekuasaan dan kewenangan hampir tak terbatas di sektor jasa keuangan.

Pendapat ini tak salah, tetapi tak 100 persen benar. Tidak ada lembaga di negeri ini yang memiliki kekuasaan dan kewenangan tanpa batas. Ada perangkat hukum yang memagarinya sehingga setiap kebijakan atau setiap peraturan dalam rangka pengawasan sektor jasa keuangan tidak bisa dibuat dengan seleranya sendiri.

Bisa jadi karena kesan superbodi itulah, banyak tokoh di bidang keuangan ”kepincut” ingin menjajal jadi pimpinan OJK. Demi jabatan Komisioner OJK, mereka bersedia meninggalkan jabatan prestisius dengan berbagai fasilitas aduhai yang sudah dinikmatinya. Sampai di sini, wacana tadi masih logis dan bisa dipahami. Sayangnya, wacana itu kini berkembang jadi bola liar yang menyebutkan pimpinan OJK atau Komisioner OJK harus didominasi sosok dengan latar belakang profesi tertentu, seolah-olah profesi itulah yang paling menentukan hidup matinya ekonomi negeri ini. Ini jelas cara berpikir keliru karena sudah mengarah pada egoisme profesi dan bahkan egoisme sektoral. Jika cara berpikir ini menggelinding terus, akan berpotensi memunculkan risiko organisasi yang krusial dan menciptakan bibit konflik yang semestinya dihindari.

OJK, sebagai lembaga baru dengan tujuan, fungsi, dan tugas yang begitu sarat di awal berdirinya, sebisa mungkin menghindari adanya konflik, apa pun bentuk dan latar belakangnya. Pimpinan OJK harus mampu menyatukan energi yang dimiliki dan melekat di setiap komisioner sehingga memunculkan kekuatan yang solid, kerja sama yang kompak, dan saling menutupi kekurangan yang ada, bukannya menonjolkan egoisme sektoral.

Sektor jasa keuangan sangat vital dan strategis bagi perekonomian nasional. Jika sektor ini bermasalah, hampir dipastikan akan menimbulkan masalah besar pada perekonomian Indonesia. Pengalaman krisis moneter 1997/1998 harus jadi pelajaran. Biaya untuk mengatasi krisis itu mencapai ribuan triliun rupiah dan setelah hampir 13 tahun belum terbayar semua. Krisis itu salah satunya disebabkan lemahnya pengawasan di bidang perbankan dan efeknya menjalar ke mana-mana, menjelma jadi krisis multidimensi yang menjatuhkan rezim politik. Jangan sampai pengalaman pahit ini terulang kembali.

Kelahiran OJK diwarnai pro-kontra berdasarkan pengalaman negara-negara lain. Namun, keputusan sudah diambil. Karena itu, semua pihak, kaum profesional, birokrat, politisi, pelaku usaha, cendekia, dan pemangku kepentingan, harus merapatkan barisan menjaga dan bahu- membahu agar OJK tidak gagal. Lembaga ini perlu energi besar yang dimiliki tenaga-tenaga potensial Indonesia. OJK perlu banyak karyawan—diperkirakan tak kurang dari 2.500 orang—yang punya dedikasi, komitmen pengabdian. Dengan organisasi yang melibatkan tenaga kerja sebesar itu, lembaga ini tak sekadar superbodi, tetapi juga memiliki bodi super.

Karena itulah, hilangkan segala bentuk perbedaan, latar belakang, egoisme, dan kepentingan kelompok, apalagi kepentingan pribadi. Masing-masing yang bersatu dalam payung OJK memiliki kemampuan mumpuni di bidang masing-masing, perbankan, pasar modal, dan lembaga keuangan lain. Tak perlu ada dominasi satu sama lain. Yang harus ada adalah tekad, komitmen, semangat, spirit, dan penyatuan energi untuk bersama-sama mendayung kapal besar ini agar mampu mengarungi samudra ekonomi global yang penuh tantangan. Selamat berlayar. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar