Jumat, 09 Maret 2012

Integritas Departemen “Suci” Dipertanyakan


Integritas Departemen “Suci” Dipertanyakan
Biyanto, DOSEN IAIN SUNAN AMPEL; KETUA MAJELIS DIKDASMEN PWM JATIM
SUMBER : SINDO, 9 Maret 2012



Transparansi pengelolaan dana tabungan calon jamaah haji oleh Kementerian Agama (Kemenag) sedang menjadi sorotan. Persoalan transparansi tabungan haji ini penting karena berkaitan dengan dana umat yang menurut hitungan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menembus angka Rp38 triliun.

Dana sebesar ini jelas sangat berpotensi untuk diselewengkan. Karena itulah,KPK mengusulkan untuk menghentikan sementara waktu (moratorium) pendaftaran haji. Sayang, usulan KPK itu ditolak Kemenag dengan alasan belum memiliki mekanisme selain sistem antrean bagi calon jamaah haji.Apalagi tren pendaftaran haji terus meningkat sehingga menyebabkan antrean yang sangat lama.

Di sejumlah daerah daftar antrean haji bahkan telah mencapai 10 tahun. Kalau ada orang mendaftar tahun ini, 10 tahun mendatang baru bisa menunaikan ibadah haji. Karena pendaftar haji semakin meningkat, tantangan Kemenag adalah memberikan laporan yang well auditeddalam mengelola dana haji yang kian menggunung. Ini penting agar label “agama”yang melekat dalam Kemenag benar-benar menjadi spirit. Dengan memberikan laporan yang transparan terhadap pengelolaan dana haji, Kemenag benar-benar akan menjadi de-partemen berwajah agama, bukan agama yang berwajah departemen.

Transparansi

Persoalan transparansi tampaknya harus menjadi perhatian karena menurut survei integritas yang dilakukan KPK pada November 2011, Kemenag diposisikan pada peringkat paling buncit. Survei integritas yang dilakukan KPK itu dilakukan di 88 instansi; 22 instansi pusat, 7 instansi vertikal, dan 69 instansi pemerintah daerah. Hasilnya, nilai indeks integritas Kemenag hanya 5,37, jauh di bawah integritas pusat yang mencapai 7,07.

Dengan nilai integritas yang sangat rendah, budaya suap berarti masih banyak terjadi. Tidak hanya tingkat pusat, di level kecamatan pun praktik gratifikasi dengan mudah dapat dijumpai. Di antara indikatornya dapat diamati dari besaran biaya administrasi pernikahan di Kantor Urusan Agama (KUA) yang seringkali tidak menentu. Dana jamaah haji yang melimpah sejauh ini telah menjadikan Kemenag sebagai sorotan publik.

Apalagi jika menengok biaya haji yang ditetapkan pemerintah ternyata paling tinggi jika dibandingkan negara lain. Padahal pelayanan yang diberikan masih sangat standar sehingga banyak dikeluhkan jamaah. Jika melihat jumlah biaya haji dan pelayanan yang diberikan,berarti ada yang salah dengan pengelolaan dana haji. Bermula dari sinilah dugaan penyelewengan dana haji terus menggelinding.

Pemanfaatan DAU

Dugaan penyelewengan dana haji dan hasil survei integritas KPK itu tentu saja telah mencoreng institusi Kemenag. Sebagai institusi yang menekankan motto “Ikhlas Beramal”, Kemenag sesungguhnya diharapkan banyak pihak dapat menjadi benteng dari kebobrokan moral bangsa.Tetapi, fakta malah menunjukkan terjadi beberapa kasus korupsi di lingkungan Kemenag.

Akibat itu, perspektif publik pada Kemenag pun turut berubah. Orang-orang di Kemenag yang setiap hari mengurusi agama ternyata tidak mampu menjadi agen pemberantasan korupsi. Mereka justru terlibat dalam banyak kasus suap dan korupsi. Menurut catatan almarhum Rosihan Anwar, mantan menteri yang pertama kali berstatus terpidana dalam kasus korupsi adalah Wahib Wahab.

Pada Oktober 1962, mantan menteri agama dan putra sulung Abdul Wahab Hasbullah ini dituntut hukuman 10 tahun penjara dan denda Rp15 juta. Publik juga masih ingat kasus penyelewengan Dana Abadi Umat (DAU) yang menyeret mantan Menteri Agama Said Agil Hussein al-Munawar.Menteri di era Presiden Megawati Soekarnoputri ini pun dinyatakan bersalah di depan pengadilan sehingga dijatuhi hukuman lima tahun penjara dan denda Rp200 juta.

Sejauh ini keberadaan DAU yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2001 telah menjadi kontroversi. Bagi yang setuju menyatakan bahwa DAU dapat menjadi sumber dana yang sewaktu-waktu bisa dimanfaatkan untuk perbaikan kesejahteraan umat.Tetapi, justru di sinilah sumber persoalannya karena pemanfaatan DAU seringkali tidak disertai pertanggungjawaban yang memadai.

Karena itulah, pihak-pihak yang tidak setuju menuntut agar keppres yang mengatur keberadaan DAU dicabut. Lebih dari itu, DAU dianggap tidak produktif. Selama menjadi dana abadi, akan sulit dimanfaatkan sebagai dana bergulir untuk kepentingan pengembangan usaha dalam rangka meningkatkan kesejahteraan umat.

Dana triliunan rupiah DAU yang dihimpun dari efisiensi Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) itu pun sangat rawan disalahgunakan.Apalagi mekanisme pertanggung jawaban penggunaan DAU belum jelas. Sebagai dana umat, pertanggungjawaban DAU juga seharusnya kepada umat. Namun, hal itu tidak pernah dilakukan Kemenag. DAU juga seharusnya lebih banyak dimaksimalkan pemanfaatannya untuk perbaikan pelayanan ibadah haji.

Tetapi, fakta menunjukkan pelayanan ibadah haji dari tahun ke tahun terus menjadi sorotan jamaah. Pertanyaan nya,mengapa di Kemenag yang sejatinya dihuni oleh orang-orang yang berlatar belakang pendidikan agama masih muncul budaya korup sehingga integritasnya dianggap rendah? Salah satu jawaban yang sangat mungkin relevan adalah karena mereka belum sepenuhnya memahami kriteria tindakan yang dapat dikategorikan korupsi. Apalagi modus operandi korupsi sangat bervariasi.

Di tengahtengah masyarakat praktik korupsi telah disamarkan dengan banyak istilah seperti uang administrasi, uang tip,angpau, uang diam, uang bensin, uang pelicin, uang ketok, uang kopi, uang makan, uang pangkal, uang rokok, uang damai, uang di bawah meja,tahu sama tahu, dan uang lelah. Karena itu, Mochtar Lubis dalam Bunga Rampai Korupsi (1988) menyebut fenomena korupsi sebagai perilaku yang berwajah banyak (multi faces).

Untuk itulah,Kemenag harus terus berkaca sehingga budaya integritas dapat melekat dalam diri setiap pegawai dan pejabatnya. Jika budaya integritas ini telah tumbuh, pada saatnya kita akan menyaksikan Kemenag benar-benar menjadi departemen “suci”. Kemenag bahkan bisa menjadi pelopor dalam gerakan pemberantasan korupsi dan perwujudan nilai-nilai integritas di negeri ini. Karena itu, jangan menunggu KPK untuk menjadikan Kemenag sebagai institusi yang berintegritas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar