Jumat, 09 Maret 2012

Renegosiasi Kontrak Pertambangan


Renegosiasi Kontrak Pertambangan
Marwan Batubara, DIREKTUR EKSEKUTIF INDONESIAN RESOURCES STUDIES (IRESS)  
SUMBER : SINDO, 9 Maret 2012



Pada akhir Desember 2011, International Chamber of Commerce (ICC) yang berkedudukan di Paris memutuskan perusahaan minyak Venezuela, Petroleos de Venezuela S.A. (PdVSA), harus membayar ganti rugi USD907.588.000 kepada Exxon karena Presiden Chavez menasionalisasi proyek minyak Cerro Negro pada 2007.

Pada proyek tersebut, Mobil (Exxon) menguasai 41,6% saham, PDVSA 41,6% dan Veba Oel 16,67%. Nasionalisasi (41,6%) dilakukan guna meningkatkan pengendalian dan pendapatan negara. Atas tindakan Chavez, Exxon mengajukan gugatan arbitrase ke ICC dan International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID) Bank Dunia.

Meskipun Venezuela masih menghadapi pengadilan ICSID beberapa bulan ke depan dan sejumlah gugatan lain, keputusan ICC ini patut disambut baik oleh negara pemilik sumber daya alam (SDA) yang banyak mengalami ketidakadilan. Proyek Cerro Negro ditandatangani 28 Oktober 1997 untuk masa kontrak 35 tahun dan target produksi 120.000 barel per hari.

Cerro Negro merupakan satu dari sekian banyak wilayah kerja eksploitasi minyak yang berlokasi di Orinoco Oil Belt (OOB, Sabuk Minyak Orinoco).Potensi yang terkandung di OOB, cekungan seluas 50.000 km2 di Venezuela timur, diperkirakan sekitar 1 triliun barel minyak dengan kandungan cadangan sekitar 500 hingga 600 miliar barel. Berdasarkan informasi OPEC Juli 2011, cadangan terbukti minyak OOB Venezuela adalah 296,5 miliar barel, terbesar (20%) di dunia.

Cadangan Venezuela ini melampaui cadangan Arab Saudi yang selama ini dikenal sebagai pemilik cadangan terbesar dunia, 264,5 miliar barel (18%). Hugo Chavez menasionalisasi puluhan perusahaan asing berbagai sektor pada tahun 2000-an dalam rangka mendapatkan kontrol dan peningkatan pendapatan negara untuk kepentingan publik dan menyejahterakan rakyat miskin.

Sektor-sektor utama yang dinasionalisasi adalah migas, pertanian, keuangan, industri berat, tambang mineral, baja, telekomunikasi, listrik, transportasi, pariwisata, dll. Untuk mewujudkan niatnya Chavez memulai dengan mengubah konstitusi Venezuela pada 1999, setahun setelah terpilih.

Setelah itu dilanjutkan dengan penetapan berbagai peraturan operasional yang relevan. Dengan dua landasan hukum itu, Chavez memimpin langsung program nasionalisasi secara konsisten dan mendapat dukungan mayoritas rakyat, bahkan dukungan atau rasa simpati dari rakyat negara-negara berkembang di seluruh dunia.

Mengalahkan Gugatan

Exxon menggugat Chavez ke arbitrase ICC pada akhir 2007 dengan klaim ganti rugi sebesar USD12 miliar. Belakangan klaim turun menjadi USD7 miliar. Pada saat pengambilalihan aset produksi tersebut, cadangan terbukti Cerro Negro adalah 425 juta barel dengan nilai pasar USD38 miliar.

Klaim Exxon sebesar USD7 miliar didasarkan pada potensi pendapatan yang akan diperoleh sesuai nilai pasar jika minyak dijual.Adapun Pemerintah Venezuela (PDVSA) bersedia memberikan ganti rugi sesuai nilai buku (book value) aset, yakni total dana yang telah dikeluarkan Exxon sampai saat nasionalisasi dilakukan. Gugatan Exxon ini dianggap sangat berlebihan, arogan,dan di luar akal sehat. Selama pertarungan berlangsung, Exxon berhasil mengupayakan pembekukan dana milik PDVSA sebesar USD305 juta di sebuah bank di New York.

Di sisi lain, PDVSA pun mengklaim-balik Exxon sebesar USD161 juta. Ternyata ICC mendukung sikap Venezuela, bahwa perusahaan yang bisnisnya dinasionalisasi hanya dibayar ganti rugi sesuai nilai buku. Berdasarkan nilai buku, Venezuela hanya wajib membayar sekitar USD 908 juta atau hanya 11% dari klaim Exxon. Keputusan mahkamah ICC disambut gembira oleh Chavez dan rakyat Venezuela sebagai kemenangan nasional.

Ternyata ICC juga mengabulkan counter-claim USD161 juta yang diajukan PDVSA. Selain itu Exxon mempunyai kewajiban utang kepada PDVSA sebesar USD191 juta. Dengan demikian, secara keseluruhan, PDVSA hanya perlu membayar kepada Exxon sebesar USD 251 juta dolar AS. Dengan hanya membayar USD 251 juta, bangsa Venezuela pantas bergembira.

Langkah nasionalisasi—hak legal melakukan expropriation, mengambil alih aset demi kepentingan publik—ternyata berhasil mengalahkan argumentasi keharusan “penghormatan kesucian kontrak”, contract sanctity, yang sering diusung dan diancamkan oleh para investor/ MNC.

Selain itu, Chavez juga cukup yakin mempertahankan kebijakannya karena ternyata investor seperti BP, Total, dan Statoil yang asetnya dinasionalisasi tetap bertahan. Chevron dan Repsol justru melakukan kontrak dengan PDVSA tahun 2010. Sejumlah perusahaan China dan Rusia semakin aktif berpartner dengan PDVSA.Ternyata investor asing tidak lari seperti yang sering diancamkan kepada negara berkembang.

Ironi Indonesia

Sebagai bangsa pemilik SDA yang sudah berkontrak dengan asing puluhan tahun, kita pantas bergembira sekaligus berintrospeksi atas kemenangan Chavez. Selama ini Indonesia tidak menerima porsi yang adil atas SDA yang dimiliki sehingga kemiskinan tetap tinggi.Padahal konstitusi Pasal 33 mengamanatkan hak rakyat untuk memperoleh kesejahteraan dari SDA.

Sejumlah peraturan pun telah diubah agar hak publik tersebut dapat diraih, misalnya UU No 4/2009 tentang Minerba atau PP No. 45/2003 tentang Penerimaan Negara dan Royalti. Ternyata Indonesia hanya jalan di tempat. Meskipun konstitusi dan UU menjamin, perbaikan kontrak tak kunjung terwujud. Renegosiasi kontrak, walau sudah berlangsung lebih 2 tahun, belum juga berhasil.

Pemerintah selalu tunduk kepada investor yang kerap mengancam mencabut investasi dan menggugat ke arbitrase. Padahal investor justru membutuhkan eksploitasi SDA, seperti terjadi di OOB, sehingga investor bukan lari, tetapi berganti. Tampaknya kegagalan kita terutama terletak pada lemahnya sikap pemimpin, tidak adanya persatuan nasional, serta kuatnya pengaruh asing dan pemburu rente.

Jika di Venezuela Chavez memimpin langsung nasionalisasi, di Indonesia tampaknya SBY hanya beretorika dan tidak konsisten ketika berhadapan dengan penolakan asing dan perusahaan swasta yang besar. Sebagai bangsa, kita pun tidak bersatu dan berkomitmen menjaga martabat, harga diri dan kemandirian bangsa.

Sebagian elite bangsa telah kehilangan moralitas dan bersedia berkolaborasi dan berkonspirasi dengan asing menggagalkan renegosiasi kontrak. Chavez membuktikan nyali pemimpin, landasan legal, persatuan bangsa, dan perjuangan untuk kepentingan publik mampu mengalahkan arogansi investor. Semoga SBY sebagai pemimpin bersama para elite negeri ini bersedia dan berani melakukan hal yang sama untuk rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar