Hukum
di Negeri Otopilot
Yonky Karman, PENGAJAR DI SEKOLAH TINGGI TEOLOGI JAKARTA
SUMBER : KOMPAS, 13 Maret 2012
Singapura sebuah contoh negara yang memiliki
desain besar penegakan hukum. Penegakan hukumnya tidak parsial. Tegak di jalan
ini, juga tegak di jalan lain. Tegak di jalan, juga tegak dalam gedung.
Negara hukum memang bukan soal banyaknya
hukum, tetapi tegaknya hukum. Sanksi hukum menimbulkan efek jera. Tebang pilih
penegakan hukum tak terjadi. Salah dan benar, siapa salah dan siapa benar,
terang benderang. Mekanisme penanganan dan solusi hukum efektif. Kasus hukum
tak perlu menjadi bahan pergunjingan di warung kopi.
Di negara hukum, untung diraih bukan karena
melanggar hukum. Rugi diderita bukan karena patuh hukum. Hak orang lain
dihormati. Yang lemah maupun yang kuat tak perlu main hakim sendiri untuk
memperoleh haknya. Silang kepentingan di antara sesama warga diselesaikan dalam
kerangka hukum. Orang tidak mudah melanggar hukum sebab hukum secara tak
langsung merupakan produk kesepakatan politik demi kebaikan hidup bersama.
Tak ada fenomena orang kuat yang sulit
tersentuh hukum. Penyelenggaraan negara dapat dikoreksi jika inkonstitusional.
Tidak perlu izin atasan untuk memeriksa penyelenggara negara yang terindikasi
korupsi. Tidak ada mobil warga bersemat emblem angkatan. Tak perlu polisi
militer hanya untuk mengamankan jalur transjakarta dari mobil milik angkatan
yang menerobos masuk.
Hukum Tanpa Moralitas
Potret penegakan hukum kita antara ada dan
tiada. Hukum tidak perkasa. Kekacauan hukum paling kasatmata terjadi di ruang
publik. Banyak rambu dan aturan lalu lintas kini seperti tiada arti. Bukan
hukum yang berkuasa di jalan, tetapi manusia: pelanggar aturan; polisi yang
membiarkan pelanggaran; preman yang melakukan pungutan liar bagi kendaraan yang
berhenti atau parkir sembarangan. Oknum penegak hukum diam-diam menerima
setoran. Merasa telah membayar, pemilik kendaraan merasa berhak melanggar
peraturan.
Berkendaraan melawan arus tetap dibiarkan
tanpa pengumuman resmi bahwa suatu jalan kini boleh dilalui dua arah. Kekacauan
di jalan mengganggu kelancaran lalu lintas, menimbulkan kemacetan yang tidak
perlu, menimbulkan kerugian ekonomis dan waktu. Bahkan, orang yang berusaha
tertib berlalu lintas malah jadi korban keteledoran pengemudi. Pemerintah masih
bergeming dengan jalan raya kita yang kini jadi ladang pembantaian.
Di dunia politik, penegakan hukum berjalan
terseok-seok karena tarik ulur dengan kepentingan penguasa. Alih-alih politik
penegakan hukum, yang terjadi adalah politisasi hukum. Penegak hukum
mempelajari reaksi penguasa atas tebang pilih penegakan hukum. Ketika penguasa
menjadikan hukum sebagai komoditas politik, penegakan hukum pun menjadi bagian
transaksi politik di belakang layar.
Penegak hukum pun berpikir praktis. Cara
terbaik untuk mengamankan kedudukan adalah memihak dan mengamankan kepentingan
penguasa. Itu sebabnya, banyak putusan hakim tak memahkotai pengadilan. Hamba
hukum mengibaskan pedang keadilan yang hanya benar secara prosedur hukum, tetapi
hampa moralitas. Penegak hukum jadi hamba kekuasaan.
Korupsi tergolong kejahatan luar biasa.
Namun, putusan pengadilan untuk koruptor (pencuri uang rakyat) lebih rendah
daripada vonis hukuman untuk pencuri milik pribadi. Belum ada komitmen politik
pemerintah untuk memiskinkan koruptor guna menimbulkan efek jera. Akibatnya,
korupsi kian sulit diberantas. Regenerasi koruptor menurut deret ukur, tetapi
pemberantasannya menurut deret hitung.
Penyelenggara negara yang korupsinya
terungkap dipastikan kasusnya tidak bersentuhan dengan kepentingan penguasa.
Banyak kasus rekening gendut tak tersentuh hukum karena menyentuh kepentingan
penguasa. Kalaupun ada orang penting terjerat hukum, itu bukan hasil mekanisme
internal bersih-bersih diri. Mekanisme yang dipersiapkan justru melindunginya
dari jerat hukum. Pemberantasan korupsi pun hanya tontonan pelipur lara, untuk
konsumsi media.
Negara dalam Negara
Di negara otopilot, penguasa merasa keadaan
masih terkendali. Fenomena negara dalam negara dibiarkan. Efektivitas hukum
diragukan. Profesionalisme penegakan hukum dipertanyakan. Penegak hukum
menggantung perkara dan menjadikan orang beperkara sebagai mesin ATM berjalan.
Di pengadilan justru berkeliaran makelar hukum. Pencari keadilan dapat
mengendus ketidakadilan, bahwa uang yang berbicara dan berkuasa.
Di negara otopilot, wibawa pengadilan merosot
karena tuntutan jaksa dan putusan hakim diatur di luar sidang. Pengawasan dari
atasan pun longgar. Proses hukum tak transparan. Penegakan hukum memihak yang
kuat, memihak yang dapat membeli keadilan. Hukum tak berhasil melindungi yang
lemah dari keganasan hukum rimba dalam masyarakat.
Masyarakat wajib taat hukum, tetapi negara
wajib menindak pelanggar hukum, bukan melakukan transaksi penegakan hukum.
Ketika cara-cara di luar hukum ditempuh, termasuk jalan kekerasan, terjadi
pelemahan negara hukum, transaksi ilegal penegakan hukum, dan keadilan yang
bertentangan dengan hukum (illegal
justice). Keadilan bergerak liar.
Imbauan petinggi kepolisian agar masyarakat
turut membantu aparat menanggulangi premanisme adalah sebuah imbauan kosong.
Bagaimana mungkin masyarakat yang menjadi korban justru diminta menanggulangi
premanisme? Suburnya premanisme, terorganisasi maupun tidak, adalah potret
negara yang gagal memonopoli penegakan hukum dan mengelolanya dengan baik.
Negara terpaksa berbagi otoritas dalam menegakkan hukum dan ketertiban.
Di negeri otopilot, hukum dibiarkan
mengambang sebagai bagian dari politik pembiaran. Elite politik tidak mengawal
negara hukum, tetapi sibuk mempertahankan dan bertarung untuk kekuasaan. Komisi
Pemberantasan Korupsi paling banyak digrecoki politisi karena hanya institusi
penegak hukum ini yang dapat bergerak liar di luar politik kekuasaan. Belum
jelas arah politik hukum kita. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar