Ihwal
UU Pemilu
Hamid Awaludin, DOSEN FAKULTAS HUKUM, UNIVERSITAS HASANUDDIN
SUMBER : KOMPAS, 13 Maret 2012
Indonesia adalah sebuah negeri pemecah rekor.
Bukan sekadar rekor biasa, tetapi layak tercantum dalam Guinness Book of
Records. Rekor itu bisa lahir dari lapangan hijau maupun dari gedung beratap
hijau.
Rekor dari lapangan hijau tercipta ketika tim
nasional sepak bola Indonesia dibantai Bahrain dengan 10 gol tanpa balas. Rekor
dari gedung beratap hijau (baca: DPR) lahir ketika untuk kesekian kalinya DPR
bersama pemerintah hendak merevisi Undang- Undang Pemilu ketika pemilihan umum
tinggal dua tahun lagi. Rasanya tak ada negara di dunia ini yang selalu
mengubah UU Pemilu setiap kali hendak menggelar pemilihan umum.
Tak pernah jelas apa gerangan mengapa UU
Pemilu diubah tiap kali menjelang pemilu. Alasan resminya tentu dapat ditebak:
karena dinamika masyarakat yang berkembang di seputar masa menjelang
penyelenggaraan pemilu. Tapi kita tentu mafhum, alasan kepentingan masyarakat
itu hanyalah jubah penutup tubuh berupa kepentingan politik yang tumpang
tindih.
Kita semua, terutama para politisi, seperti
dihinggapi amnesia bahwa penyelenggaraan Pemilu 2004 nyaris kedodoran gara-gara
UU Pemilu terlambat dikeluarkan. Persiapan logistik pemilu terhambat, dan
akhirnya Pemilu 2004 pun diselenggarakan berdasarkan peraturan pemerintah
pengganti undang-undang.
Kita semua—dan lagi-lagi, terutama para
politisi—rupanya hendak menuliskan sejarah yang sama. Kita tak sadar bahwa
keterlambatan UU Pemilu berakibat panjang dan berangkai ke banyak urusan: dari
persiapan logistik pemilu, penyelenggaraan pemilu, sampai ke legitimasi sistem
dan stabilitas politik.
Debat yang Tak Bernas
Mari lupakan sejenak cerita mengenaskan dari
lapangan hijau dan menengok hiruk-pikuk di gedung beratap hijau di Senayan. DPR
dan pemerintah tampak sibuk berdebat hal-hal menyangkut daerah pemilihan,
metode penghitungan suara, dan sebagainya. Tapi kita tidak pernah mendengar
debat bernas soal tata cara mengefisienkan penyelenggaraan pemilu, misalnya
soal tempat pemungutan suara (TPS) yang berkaitan dengan jumlah pemilih di
setiap TPS.
Sebagai pembanding, pada Pemilu 2004, tiap
TPS maksimal untuk 300 pemilih. Saat itu kita memiliki 571.000 TPS di seluruh
Indonesia. Dapat dibayangkan pada Pemilu 2014, berapa banyak TPS yang kita
butuhkan karena jumlah penduduk yang kian meningkat. Kalau saja pemilih di
setiap TPS dinaikkan jadi 1.000 orang atau lebih, maka akan terjadi efisiensi
yang luar biasa untuk semua pihak.
Bagi pemerintah, 1.000 pemilih atau lebih per
TPS berarti pengurangan biaya penyelenggaraan pemungutan suara karena adanya
pengurangan jumlah petugas pelaksana pemilu dan petugas keamanan, dan
kemungkinan kotak dan bilik suara. Sementara bagi partai politik, berarti
mengurangi biaya untuk saksi dan lain-lain. Tentu saja angka ini harus
dikecualikan di Papua yang bermedan amat berbeda dengan wilayah Indonesia
lainnya.
Tidak terdengar juga debat dari Senayan
menyangkut pengaturan penggunaan wilayah publik untuk kampanye, bukan sekadar
asal muasal dan jumlah dana kampanye. Ihwal wilayah publik ini penting
mengingat tak semua politisi dan partai punya akses media massa yang sama.
Seharusnya, UU Pemilu juga mengatur secara
rinci durasi waktu bagi setiap calon anggota legislatif atau partai tampil di
media elektronik. Prinsip equality for
all berlaku bagi siapa pun, termasuk politisi atau partai yang terkait
media elektronik yang dimaksud, karena media penyiaran elektronik adalah ranah
publik yang di dalamnya terdapat hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang
berimbang.
UU Penyiaran memang mengatur penggunaan
durasi di media elektronik ini, tetapi masih bersifat umum. UU Pemilu-lah yang
seharusnya secara spesifik mengatur batasan durasi waktu yang adil bagi para
calon anggota legislatif dan parpol, karena kampanye adalah bagian integral
dari pemilu. Mekanisme pengawasan tentang hal ini, secara institusional, ada
baiknya diserahkan kepada Badan Pengawas Pemilu dan Komisi Penyiaran Indonesia
Perdebatan Serius
Selain itu, masih banyak isu menyangkut
penyelenggaraan pemilu yang seharusnya diperdebatkan dengan serius dan
dicarikan jalan keluarnya demi kepentingan yang lebih besar. UU Pemilu yang
lahir dari perdebatan yang bernas akan menjadi UU yang mengikuti arus dan
perubahan zaman dan tidak harus diutak-atik setiap kali menjelang
penyelenggaraan pemilu.
Pada akhirnya, UU Pemilu seperti yang kita
idam-idamkan akan berdampak penyelenggaraan pemilu yang lancar dan bersih,
hasil pemilu yang legitimitas, dan terhindar dari bangsa pemecah rekor yang
buruk. Apa pun itu, kita tak akan pernah lelah mencintai negeri ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar