Selasa, 13 Maret 2012

Akuntabilitas Kenaikan Harga BBM


Akuntabilitas Kenaikan Harga BBM
Yudi Latif, PEMIKIR KEBANGSAAN DAN KENEGARAAN
SUMBER : KOMPAS, 13 Maret 2012



Masih ingat kebijakan ”Gunting Sjafruddin”, bukan? Dihadapkan pada kesulitan perekonomian pascarevolusi, ditandai oleh inflasi yang mencapai 500 persen, peredaran jumlah uang yang kelewat banyak dibandingkan dengan pasokan barang, disertai beredarnya macam-macam uang, Menteri keuangan pada Kabinet Hatta II, Sjafruddin Prawiranegara, mengeluarkan kebijakan yang mengejutkan: menggunting uang negara menjadi dua bagian.

Yang membuat namanya legendaris, Sjafruddin menjaga kerahasiaan rencana pemotongan uang itu, bahkan kepada istrinya sendiri, hingga kebijakan tersebut diputuskan 10 Maret 1950, pukul 20.00. Ia juga berani mengambil tindakan yang ia sadari bisa menyulitkan kehidupannya sendiri. Dampak buruk dari kebijakan itu membuatnya terpaksa mengambil pinjaman ke kantornya untuk dapat menghidupi delapan anaknya.

Berbeda dengan kearifan Sjafruddin, rencana kenaikan harga BBM diocehkan pemerintah kelewat lama di ruang publik, yang membuat harga-harga segera meroket sebelum kenaikan harga BBM efektif diberlakukan. Konteks politik memang telah berubah, ketika pemerintah tak bisa mengambil keputusan tanpa persetujuan DPR. Meski begitu, mestinya bisa dicari modus pendekatan lain, antara pemerintah dan DPR, yang dapat menghasilkan keputusan tepat dan cepat guna mengurangi risiko yang harus ditanggung oleh rakyat kebanyakan.

Hendaklah diingat, setidaknya ada tiga fungsi utama politik, yang harus dipenuhi rezim liberal sekalipun: membela yang lemah, menjaga iklim kompetisi yang fair, dan menyediakan public goods (sarana publik).

Dalam konteks rencana kenaikan harga BBM, bagaimana pemerintah melakukan akuntabilitas dalam pembelaan kepada yang lemah? Bahkan sebelum kenaikan harga BBM efektif diberlakukan, pendekatan pemerintah yang kurang tepat dengan menggembar-gemborkan rencana kenaikan harga telah mengabaikan pembelaan terhadap orang-orang lemah. Setelah kenaikan harga diberlakukan, skema pemerintah untuk mengompensasikan kesulitan rakyat kecil juga belum jelas. Program Bantuan Langsung Tunai merupakan populisme yang sesat arah dan rawan penyalahgunaan di masa lalu, dan semestinya pemerintah tidak mengulangi kesalahan yang sama.

Bagaimana pula konsekuensi kenaikan harga BBM itu terhadap keadilan dalam iklim kompetisi? Gembar-gembor rencana kenaikan telah merangsang para spekulan menimbun bahan bakar, yang dapat merusak pasar. Belum lagi masalah daya survival pelaku usaha menengah-kecil dan sektor informal, yang merupakan porsi terbesar pelaku usaha di Indonesia, yang akan mengalami kesulitan memasuki pasar persaingan akibat lonjakan biaya transportasi dan harga-harga lainnya. Dalam buruknya sistem transportasi umum, pelaku usaha lebih mengandalkan transportasi pribadi yang ongkosnya akan membengkak seiring dengan kenaikan harga BBM. Nasib para nelayan juga terbayang kian tercekik. Bukankah sebelum ini mereka telah kesulitan melaut karena mahalnya harga bahan bakar?

Akhirnya, bagaimana akuntabilitas kenaikan harga BBM itu dalam kaitannya dengan investasi pemerintah dalam sarana publik. Masalah BBM bukan melulu masalah harga, melainkan juga masalah melajunya tingkat konsumsi. Buruknya pelayanan sistem transportasi umum membuat banyak orang beralih ke moda transportasi pribadi. Akibatnya, nyaris tak ada kota di Indonesia yang tidak dilanda kemacetan. Dalam kemacetan yang akut, pemborosan energi menjadi tak terhindarkan.

Subsidi BBM sering dituding sebagai penyebab kesulitan pemerintah untuk melakukan investasi dalam pelayanan publik. Argumen ini jelas suatu sikap apologetik. Masih banyak sumber keuangan negara lain yang tak diurus secara akuntabel oleh pemerintah. Di hulu, sektor pajak merupakan sumber kebocoran negara yang tak kunjung ditambal. Di hilir, korupsi makin menggila, dengan korupsi politik yang makin menguras dana pembangunan. Pemborosan keuangan negara juga terjadi akibat gaya hidup para penyelenggara negara yang bersikap aji mumpung. Di luar itu, sumber keuangan negara dari sektor BUMN dan kontrak-kontrak karya di bidang pertambangan juga tak pernah dipertanggungjawabkan secara transparan.

Apabila masalah korupsi dan perilaku boros penyelenggara negara terus dibiarkan, bagaimana publik bisa yakin bahwa pengurangan subsidi BBM akan dikompensasikan oleh perbaikan investasi dalam pelayanan publik?

Perbaikan pelayanan publik bukan hanya masalah dana, melainkan juga masalah komitmen. Komitmen politik inilah yang selama ini bagaikan ”hangat-hangat tahi ayam”, cuma berhenti sebagai pemanis pencitraan, tetapi tak secara konsisten dibumikan dalam kenyataan. Berulang kali publik dininabobokan wacana pemerintah tentang pemindahan ibu kota negara, pengembangan energi alternatif, dan efisiensi pengelolaan energi? Tak satu pun di antara rencana-rencana itu yang ditindaklanjuti secara sungguh-sungguh.

Singkat kata, meskipun rencana kenaikan harga BBM memiliki basis argumentasi, publik harus menekannya secara keras. Pemerintah jangan hanya menempuh jalan mudah menaikkan harga, tetapi harus diminta akuntabilitasnya dalam membela yang lemah, menjaga persaingan yang fair, dan memperbaiki pelayanan publik.
 
Tanpa akuntabilitas politik, kenaikan harga BBM seakan-akan merupakan ekspresi kebuasan pemerintah yang menjadikan rakyat sebagai mangsanya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar