BBM
dan Warga Miskin
Khudori, PEGIAT ASOSIASI EKONOMI POLITIK INDONESIA (AEPI),
ANGGOTA POKJA AHLI DEWAN KETAHANAN PANGAN PUSAT (2010-2014)
SUMBER : REPUBLIKA, 19 Maret 2012
Kenaikan
harga BBM bersubsidi per 1 April barulah rencana, namun kehidupan warga sudah
terguncang. Ke tenangan masyarakat terganggu sejak pemerintah melansir rencana
kenaikan harga BBM. Hampir setiap hari terjadi aksi demonstrasi di banyak
tempat. Ketika aksi mengalami eskalasi, kehidupan masyarakat terganggu. Rencana
yang dibiarkan mengambang terlalu lama membawa dampak sosial, ekonomi, dan
bahkan politik. Kenaikan harga BBM baru rencana, namun eksesnya buat rakyat
sudah pasti.
Jauh
sebelum 1 April, warga, terutama yang miskin, sudah diguncang berbagai
kesulitan ekonomi. Mereka tak hanya didera harga-harga pangan (beras, kedelai,
jagung, gula, terigu, minyak goreng) yang terus melangit, tapi juga direpotkan
oleh kelangkaan BBM. Di tengah ketidakpastian, semua orang mencoba mencuri
kesempatan. Harga BBM belum lagi naik, harga-harga kebutuhan masyarakat sudah
lebih dulu dinaikkan.
Sekarang
bahkan mulai muncul ekses negatif lain: sebagian kelompok masyarakat mencoba
mengeruk keuntungan. Mereka mulai menimbun BBM.
Akibatnya, Pertamina terpaksa memasok kebutuhan yang lebih banyak.
Namun, banyaknya orang yang hendak berspekulasi, membuat kebutuhan BBM ikut meningkat. Untuk mengurangi ekses penimbunan, Pertamina menjatah kuota BBM di SPBU. Eksesnya, terjadi kelangkaan di banyak tempat. Aparat kepolisian pun dibuat repot menangkapi para penimbun BBM.
Namun, banyaknya orang yang hendak berspekulasi, membuat kebutuhan BBM ikut meningkat. Untuk mengurangi ekses penimbunan, Pertamina menjatah kuota BBM di SPBU. Eksesnya, terjadi kelangkaan di banyak tempat. Aparat kepolisian pun dibuat repot menangkapi para penimbun BBM.
Secara
politik, rencana kenaikan harga BBM pun tidak sepi dari berbagai manuver.
Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Persatuan Pembangunan yang menjadi partai
koalisi pemerintah tidak setuju kenaikan harga BBM. PKS dan PPP berada satu
kubu dengan PDI Perjuangan, Partai Gerakan Indonesia Raya, dan Partai Hati
Nurani Rakyat yang menolak rencana kenaikan BBM karena akan memberatkan rakyat.
Berbagai manuver politik itu semakin menyulitkan pemerintah untuk mengambil
keputusan.
Jika
rencana saja sudah membuat repot luar biasa, bagaimana jika harga BBM sudah
naik? Untuk mengurangi dampak negatif kenaikan harga BBM pada warga miskin,
pemerintah memberikan empat kompensasi. Pertama, bantuan langsung tunai (BLT)
Rp 150 ribu kepada 18,5 juta rumah tangga (74 juta jiwa) selama sembilan bulan.
Kedua, penambahan subsidi siswa miskin. Ketiga, penambahan jumlah penyaluran
beras untuk warga miskin (raskin).
Keempat, subsidi pengelola angkutan masyarakat. Dibandingkan kompensasi pada
2008, ada perubahan sasaran. Saat itu, kompensasi difokuskan dengan merancang
strategi stabilisasi harga kebutuhan pokok. Selain ada BLT, raskin dan kredit
usaha, minyak goreng dan terigu disubsidi, dan pengrajin kedelai dapat potongan
harga.
Meskipun
strategi stabilitas harga kebutuhan pokok sudah dirancang, harga kebutuhan
pokok tetap liar. Pemerintah boleh mengklaim kompensasi bisa mencegah warga
jatuh miskin, namun berbagai upaya itu tidak dirasakan manfaatnya oleh warga.
Berbagai strategi survival dipilih
sebagai jalan keluar: memangkas keranjang makan, jadi pekerja serabutan,
beralih ke pangan alternatif atau menempuh jalan pintas dengan mencuri. Tatkala
cara survival of fittest menemui
jalan buntu, sebagian warga mengakhiri hidup dengan cara tragis: bunuh diri.
Akankah kejadian tragis itu bakal berulang?
Kompensasi
kenaikan harga BBM hanya diberikan sampai akhir 2012.
Jika pun ekonomi warga miskin tertolong, itu hanya sampai akhir tahun ini.
Bagaimana setelah itu? Padahal, saat ini warga sudah didera berbagai kesulitan memenuhi kebutuhan dasar.
Jika pun ekonomi warga miskin tertolong, itu hanya sampai akhir tahun ini.
Bagaimana setelah itu? Padahal, saat ini warga sudah didera berbagai kesulitan memenuhi kebutuhan dasar.
Kesulitan
itu paralel dengan penciutan dan bangkrutnya beberapa sektor ekonomi rakyat
yang selama ini menjadi gantungan dan sumber hidup.
Data BPS beberapa tahun terakhir cukup miris: lebih separo dari 60 kota di
Indonesia inflasinya di atas rata-rata nasional. Kelompok makanan berperan
paling besar dalam bobot inflasi (BPS, 2012).
Ini
membuat tekanan ekonomi kian berat. Tekanan begitu terasa bagi petani, terutama
petani pangan. Kenaikan harga BBM akan membuat berbagai sarana produksi dan
ongkos usaha tani meningkat. Bagi buruh tani, kenaikan harga BBM yang diikuti
kenaikan harga kebutuhan pokok membuat mereka terpukul dua kali. Sejak 2008,
upah riil buruh tani terus menurun, dan kini hanya Rp 28.582 per hari (BPS,
2012).
Padahal,
pertanian masih menjadi gantungan hidup 41% warga. Di sisi lain, nilai upah
riil buruh informal di kota yang menjadi katup penyelamat ekonomi keluarga
petani, terutama di Jawa, sejak 2008, stagnan. Inflasi yang tak terkendali,
harga pangan serta energi yang meroket membuat tekanan hidup petani, buruh, dan
warga miskin kota kian berat. Kenaikan harga BBM 33,3% membuat ekonomi mereka
jatuh ke tebi jurang.
Mau
tidak mau, mereka harus merealokasi keranjang pengeluaran. Pertama, dana
pendidikan dan kesehatan dipangkas, lalu dialihkan ke pangan. Ini terjadi
karena 60-80% pengeluaran keluarga miskin tersedot untuk pangan. Atau, kedua,
jumlah dan frekuensi makan dikurangi. Jenis pangan inferior (murah dengan
kandungan energi-protein rendah) jadi pilihan. Dampaknya, konsumsi energi dan
protein menurun. Bagi orang dewasa, ini berpengaruh pada produktivitas kerja
dan kesehatan. Buat ibu hamil/menyusui dan anak balita akan berdampak buruk
pada perkembangan kecerdasan anak. Terbayang akan lahir generasi IQ jongkok dan
SDM yang tak bisa bersaing dalam kompetisi yang kian ketat. Inilah yang kita
dikehendaki? Bukankah konstitusi menjamin setiap warga berhak atas pekerjaan
dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan serta hak atas jaminan sosial? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar