Senin, 19 Maret 2012

BBM dan Warga Miskin


BBM dan Warga Miskin
Khudori, PEGIAT ASOSIASI EKONOMI POLITIK INDONESIA (AEPI),
ANGGOTA POKJA AHLI DEWAN KETAHANAN PANGAN PUSAT (2010-2014)
SUMBER : REPUBLIKA, 19 Maret 2012



Kenaikan harga BBM bersubsidi per 1 April barulah rencana, namun kehidupan warga sudah terguncang. Ke tenangan masyarakat terganggu sejak pemerintah melansir rencana kenaikan harga BBM. Hampir setiap hari terjadi aksi demonstrasi di banyak tempat. Ketika aksi mengalami eskalasi, kehidupan masyarakat terganggu. Rencana yang dibiarkan mengambang terlalu lama membawa dampak sosial, ekonomi, dan bahkan politik. Kenaikan harga BBM baru rencana, namun eksesnya buat rakyat sudah pasti.
Jauh sebelum 1 April, warga, terutama yang miskin, sudah diguncang berbagai kesulitan ekonomi. Mereka tak hanya didera harga-harga pangan (beras, kedelai, jagung, gula, terigu, minyak goreng) yang terus melangit, tapi juga direpotkan oleh kelangkaan BBM. Di tengah ketidakpastian, semua orang mencoba mencuri kesempatan. Harga BBM belum lagi naik, harga-harga kebutuhan masyarakat sudah lebih dulu dinaikkan.

Sekarang bahkan mulai muncul ekses negatif lain: sebagian kelompok masyarakat mencoba mengeruk keuntungan. Mereka mulai menimbun BBM.
 
Akibatnya, Pertamina terpaksa memasok kebutuhan yang lebih banyak.
Namun, banyaknya orang yang hendak berspekulasi, membuat kebutuhan BBM ikut meningkat. Untuk mengurangi ekses penimbunan, Pertamina menjatah kuota BBM di SPBU. Eksesnya, terjadi kelangkaan di banyak tempat. Aparat kepolisian pun dibuat repot menangkapi para penimbun BBM.

Secara politik, rencana kenaikan harga BBM pun tidak sepi dari berbagai manuver. Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Persatuan Pembangunan yang menjadi partai koalisi pemerintah tidak setuju kenaikan harga BBM. PKS dan PPP berada satu kubu dengan PDI Perjuangan, Partai Gerakan Indonesia Raya, dan Partai Hati Nurani Rakyat yang menolak rencana kenaikan BBM karena akan memberatkan rakyat. Berbagai manuver politik itu semakin menyulitkan pemerintah untuk mengambil keputusan.

Jika rencana saja sudah membuat repot luar biasa, bagaimana jika harga BBM sudah naik? Untuk mengurangi dampak negatif kenaikan harga BBM pada warga miskin, pemerintah memberikan empat kompensasi. Pertama, bantuan langsung tunai (BLT) Rp 150 ribu kepada 18,5 juta rumah tangga (74 juta jiwa) selama sembilan bulan. Kedua, penambahan subsidi siswa miskin. Ketiga, penambahan jumlah penyaluran beras untuk warga miskin (raskin).
 
Keempat, subsidi pengelola angkutan masyarakat. Dibandingkan kompensasi pada 2008, ada perubahan sasaran. Saat itu, kompensasi difokuskan dengan merancang strategi stabilisasi harga kebutuhan pokok. Selain ada BLT, raskin dan kredit usaha, minyak goreng dan terigu disubsidi, dan pengrajin kedelai dapat potongan harga.

Meskipun strategi stabilitas harga kebutuhan pokok sudah dirancang, harga kebutuhan pokok tetap liar. Pemerintah boleh mengklaim kompensasi bisa mencegah warga jatuh miskin, namun berbagai upaya itu tidak dirasakan manfaatnya oleh warga. Berbagai strategi survival dipilih sebagai jalan keluar: memangkas keranjang makan, jadi pekerja serabutan, beralih ke pangan alternatif atau menempuh jalan pintas dengan mencuri. Tatkala cara survival of fittest menemui jalan buntu, sebagian warga mengakhiri hidup dengan cara tragis: bunuh diri. Akankah kejadian tragis itu bakal berulang?

Kompensasi kenaikan harga BBM hanya diberikan sampai akhir 2012.
Jika pun ekonomi warga miskin tertolong, itu hanya sampai akhir tahun ini.
Bagaimana setelah itu? Padahal, saat ini warga sudah didera berbagai kesulitan memenuhi kebutuhan dasar.

Kesulitan itu paralel dengan penciutan dan bangkrutnya beberapa sektor ekonomi rakyat yang selama ini menjadi gantungan dan sumber hidup.
 
Data BPS beberapa tahun terakhir cukup miris: lebih separo dari 60 kota di Indonesia inflasinya di atas rata-rata nasional. Kelompok makanan berperan paling besar dalam bobot inflasi (BPS, 2012).

Ini membuat tekanan ekonomi kian berat. Tekanan begitu terasa bagi petani, terutama petani pangan. Kenaikan harga BBM akan membuat berbagai sarana produksi dan ongkos usaha tani meningkat. Bagi buruh tani, kenaikan harga BBM yang diikuti kenaikan harga kebutuhan pokok membuat mereka terpukul dua kali. Sejak 2008, upah riil buruh tani terus menurun, dan kini hanya Rp 28.582 per hari (BPS, 2012).

Padahal, pertanian masih menjadi gantungan hidup 41% warga. Di sisi lain, nilai upah riil buruh informal di kota yang menjadi katup penyelamat ekonomi keluarga petani, terutama di Jawa, sejak 2008, stagnan. Inflasi yang tak terkendali, harga pangan serta energi yang meroket membuat tekanan hidup petani, buruh, dan warga miskin kota kian berat. Kenaikan harga BBM 33,3% membuat ekonomi mereka jatuh ke tebi jurang.

Mau tidak mau, mereka harus merealokasi keranjang pengeluaran. Pertama, dana pendidikan dan kesehatan dipangkas, lalu dialihkan ke pangan. Ini terjadi karena 60-80% pengeluaran keluarga miskin tersedot untuk pangan. Atau, kedua, jumlah dan frekuensi makan dikurangi. Jenis pangan inferior (murah dengan kandungan energi-protein rendah) jadi pilihan. Dampaknya, konsumsi energi dan protein menurun. Bagi orang dewasa, ini berpengaruh pada produktivitas kerja dan kesehatan. Buat ibu hamil/menyusui dan anak balita akan berdampak buruk pada perkembangan kecerdasan anak. Terbayang akan lahir generasi IQ jongkok dan SDM yang tak bisa bersaing dalam kompetisi yang kian ketat. Inilah yang kita dikehendaki? Bukankah konstitusi menjamin setiap warga berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan serta hak atas jaminan sosial?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar