Subsidi
BBM Versus Rakyat Miskin
Sunarsip, EKONOM THE INDONESIA ECONOMIC
INTELLIGENCE (IEI)
SUMBER : REPUBLIKA, 19 Maret 2012
Saya
melihat, banyak yang kurang tepat dalam mengaitkan kebi jakan subsidi bahan
bakar minyak (BBM) dengan pemihakan terhadap rakyat miskin. Klaim bahwa
mempertahankan kebijakan subsidi BBM yang berlaku saat ini sebagai bukti
pemihakan terhadap rakyat miskin, tampaknya perlu dikaji lagi.
Karena faktanya, jika ditelaah lebih jauh komposisi pengguna BBM bersubsidi dan
juga komposisi alokasi APBN, mempertahankan pola subsidi BBM ini justru bisa
sebaliknya: tidak memihak rakyat miskin. Sebagai penjelasan, mari kita lihat
data dan faktanya.
Data
Kementerian ESDM 2010 memperlihatkan bahwa 60 persen BBM bersubsidi berasal
dari BBM jenis Premium, selebihnya 34 persen solar, dan enam persen minyak
tanah. Bila dilihat dari penggunanya, 89 persen pengguna BBM bersubsidi adalah
transportasi darat. Sementara itu, 59 persen pengguna BBM bersubsidi berada di
JawaBali di mana 30 persennya ber ada di Jawa dan 18 per sen nya di
Jabodetabek. Yang paling mengejutkan, penikmat BBM bersubsidi ternyata 53
persen merupakan pemilik mobil pribadi, motor 40 persen, mobil barang hanya
empat persen, dan kendaraan umum hanya tiga persen.
Berdasarkan
data ini terlihat bahwa penikmat subsidi BBM sebagian besar merupakan individu
pemilik ken daraan bermotor (terutama mobil) di perkotaan yang sesungguhnya
masuk kategori masyarakat menengah atas. Dengan kata lain, klaim bahwa
mempertahankan kebi jak an subsidi BBM yang berlaku saat ini sebagai upaya
memproteksi rakyat miskin, sejatinya sudah tidak valid.
Pada
APBN 2012, subsidi BBM mencapai Rp 123,6 triliun. Itu pun dengan asumsi harga
minyak mentah masih 90 dolar AS per barel. Berdasarkan perhitungan Kementerian
Keuangan, bila tidak ada kebijakan apa-apa, di tengah harga minyak mentah yang
kini di atas 100 dolar AS per barel, subsidi BBM bisa bertambah Rp 67 triliun.
Sebagai perbanding an, dalam APBN 2012, anggaran kemiskinan Rp 99,2 triliun dan
anggaran kesehatan Rp 48 triliun. Selain itu, anggaran pertanian (baik pusat
maupun transfer ke daerah, termasuk subsidi pangan) hanya Rp 53,9 triliun dan
anggaran infrastruktur Rp 161,5 triliun.
Terlihat
bahwa anggaran subsidi BBM jauh lebih besar dibandingkan anggaran yang
sesungguhnya terkait langsung dengan kepentingan rakyat, khususnya rakyat miskin.
Pertanyaannya, apakah model subsidi seperti ini yang hendak kita pertahankan?
Seharusnya tidak. Saya berpendapat, pola kebijakan subsidi dalam rangka
keberpihakan kepada rakyat miskin semestinya diubah. Perubahan ini tidak
berarti menghilangkan subsidi, tetapi dengan mempertajam penargetan subsidi
agar tepat sasaran sekaligus untuk meningkatkan taraf hidup rakyat miskin
secara nyata dan berkelanjutan.
Salah
satu perubahan kebijakan pemihakan kita terhadap rakyat miskin adalah dengan
membalik piramida komposisi belanja APBN. Caranya adalah memperkecil subsidi
BBM, tetapi memperbesar belanja kemiskinan, pertanian, kesehatan, dan
infrastruktur. Dengan membalik piramida komposisi belanja APBN, subsidi BBM
yang tadinya memiliki porsi paling tinggi menjadi paling kecil. Konsekuensinya
ialah terdapat pengalihan anggaran subsidi BBM secara signifikan pada pos
anggaran kemiskinan, pertanian, kesehatan, dan infrastruktur (dasar) sehingga
alokasi pospos APBN ini menjadi jauh lebih besar.
Tentunya,
pengalihan alokasi anggaran ini harus didesain dengan baik dan tidak sekadar
mengalihkan kelebihan subsidi BBM pada pospos belanja lainnya. Salah satu
caranya adalah pemerintah perlu meredefinisi kembali konsep kemiskinan di
Indonesia. Untuk menjelaskan pentingnya redefinisi konsep kemiskinan ini,
berikut saya berikan beberapa ilustrasi.
Sebagai
kompensasi atas kenaikan harga BBM bersubsidi, pemerintah menyiapkan bantuan
langsung sementara masyarakat (BLSM), istilah lain dari bantuan langsung tunai
(BLT) yang diterapkan pada 2005 dan 2008. Berdasarkan pemberitaan, BLSM akan
diberikan kepada sekitar 18,5 juta keluarga miskin. Itu berarti, bila setiap
keluarga terdiri dari empat anggota, berarti BLSM akan menyasar sekitar 70-75
juta penduduk miskin.
Berdasarkan
data BPS, penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan sekitar 30 juta jiwa.
Sedangkan, penduduk dengan pengeluaran sebesar 1,5 kali dari penduduk di bawah
garis kemiskinan sekitar 62 juta jiwa. Artinya, penduduk dengan pengeluaran
sebesar 1,5 garis kemiskinan ke bawah jumlahnya sekitar 92 juta. Sementara itu,
kompensasi BLSM yang diberikan hanya untuk sekitar 75 juta jiwa. Dari
perbandingan ini, sejatinya dana BLSM tidak mencukupi.
Selain
dana kompensasi BSLM tidak cukup, sesungguhnya standar kemiskinan yang
diterapkan di Indonesia masih rendah. Untuk menentukan penduduk miskin, kita
masih menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach) yang digunakan
oleh negara-negara yang kondisi ekonominya relatif tertinggal, seperti Armenia,
Senegal, Pakistan, Bangladesh, Vietnam, Sierra Leone, dan Gambia.
Atas
dasar inilah, perlu ada perubahan mendasar dalam mendefinisikan kemiskinan.
Sebagai negara dengan kekuatan ekonomi besar, seyogianya kriteria pengukur an
kemiskinan mengacu pada best practices,
seperti acuan yang dikeluarkan Bank Dunia dengan menggunakan standar yang lebih
tinggi. Melalui pengukuran kemiskinan dengan standar yang lebih baik, kita bisa
memahami persoalan kemiskinan kita secara lebih objektif dan manusiawi. Selain
itu, juga terdapat alasan yang kuat untuk memperbesar anggaran kemiskinan,
kesehatan, pertanian, dan infrastruktur (dasar, termasuk transportasi umum).
Dengan demikian, kita pun bisa me metakan kebutuhan riil penduduk miskin kita
agar taraf hidupnya dapat ditingkatkan setara de ngan penduduk di negara lain.
Kesimpulannya,
kebijak an penurunan subsidi BBM melalui kenaikan harga BBM adalah hal yang
memang perlu dilakukan. Kita tidak bisa membiarkan APBN justru promasyarakat
yang seharusnya tidak disubsidi. Satu hal yang perlu dicatat, jika kita
membiarkan subsidi BBM membesar, seiring tingginya harga minyak mentah, itu
akan berdampak negatif pada APBN.
Berdasarkan
keterangan pemerintah, jika kebijakan kenaikan harga BBM tidak dieksekusi,
defisit APBN da pat bertambah Rp 175,9 tri liun dari perkiraan awal da lam APBN
2012 Rp 124,02 triliun (menjadi 3,6 persen dari PDB). Pertanyaannya, dari mana
defisit sebesar itu ditutupi? Jawabannya: utang! Siapa yang menanggung tambahan
utang itu? Jawabannya: rakyat, termasuk rakyat miskin.
Saat
ini, Indonesia berada dalam posisi sebagai net importir BBM. Karenanya, mempertahankan
subsidi BBM, itu sama saja kita memberikan subsidi bagi kilang minyak di luar
negeri, yang sudah pasti dampak multiplier-nya terhadap ekonomi kita akan
negatif. Hal yang berbeda bila subsidi
dialihkan pada anggaran kemiskinan, infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan
yang pasti akan memberikan dampak multiplier positif. Dan saya kira, langkah
penurunan subsidi BBM yang diimbangi dengan pengalihan subsidi secara
signifikan pada anggaran kemiskinan, pertanian, kesehatan, dan infrastruktur,
akan dapat menjadi jawaban kelompok masyarakat yang saat ini menolak kebijakan
kenaikan harga BBM bersubsidi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar