Kamis, 15 Maret 2012

Bantuan Langsung Tekor


Bantuan Langsung Tekor
Susidarto, ANGGOTA MASYARAKAT BIASA YANG AKAN TERKENA DAMPAK KENAIKAN HARGA BBM
SUMBER : REPUBLIKA, 13 Maret 2012



Kalau ada beberapa pihak yang sinis dan kemudian memelesetkan BLT dengan kepan jangan bantuan langsung tekor (langsung habis, bahkan cenderung kurang), memang tidak terlalu salah. Maklum, rencana pemerintah untuk menggelar operasi bantuan langsung sementara mas yarakat (BLSM), pengganti BLT, sebagai bentuk kompensasi kenaikan BBM per1 April 2012 mendatang adalah sesuatu yang tidak mendidik sama sekali. Pemerintah tampaknya menempuh jalan pintas (instan) dan tidak pernah mau belajar dari pengalaman masa lalu.

Pengalaman selama ini dengan BLT tidak pernah menyelesaikan masalah kemiskinan yang dihadapi masyarakat Indonesia. BLT adalah skema bantuan jangka pendek yang mungkin lebih cocok untuk mengatasi keadaan dan situasi darurat, seperti menghadapi terjadinya bencana alam atau situasi darurat lainnya. Bersifat sangat pendek (short term), bukan bantuan terencana jangka panjang (long term). Padahal, kenaikan har ga BBM yang akan mendongkrak   kenaikan harga-harga merupakan rea litas kehidupan yang akan dihadapi dalam jangka panjang.

Kegagalan akan program BLT, dari sisi keadilan, mulai dari data sensus penghitungan orang miskin yang tidak valid lagi karena menggunakan sensus 2005, hingga kemanfaatannya, tidak pernah dipelajari dan dijadikan rujukan di kemudian hari. Padahal, kenaikan har ga BBM tidak hanya terjadi sekarang ini.

Puluhan kali pencabutan subsidi yang berefek pada kenaikan harga BBM sudah dilakukan. Akan tetapi, ‘ritual’ BLT yang sama ternyata masih diulang-ulang. Pemerintah semestinya belajar untuk menciptakan jaring pengaman sosial lain sehingga akan dapat dinikmati masyarakat secara jangka panjang.

Jebakan Konsumtivisme

BLT selama ini diberikan dalam bentuk uang tunai. Menurut rencana, pemerintah akan membagikan dana sebesar Rp 150 ribu untuk setiap keluarga miskin. Untuk pembagian kali ini, selain memberikan uang tunai kepada 18,5 juta keluarga, pemerintah akan memberikan bantuan tambahan dalam bentuk beasiswa serta tunjangan kemiskinan lainnya. Bantuan semacam ini dikenal sebagai BLSM.

Sayangnya, bantuan tunai semacam ini sering kali disalahgunakan penggunaannya oleh sebagian besar masyara kat. Mengingat sifatnya tunai, mereka akan dengan mudahnya membelanjakan untuk berbagai keperluan konsumtif, bukan untuk kebutuhan hidup yang vital dan mendesak.

Bahkan, sebelum BLSM dibagikan, konon sudah ada beberapa keluarga miskin yang berencana membeli barang konsumsi secara cicilan sesuai dengan dana yang akan diterimanya setiap bulan. Pengalaman selama ini juga memprihatinkan di mana banyak keluarga miskin yang akhirnya membelanjakan sesuatu yang berbau konsumtif.

Jadilah akhirnya bantuan itu sama sekali tidak membekas dan menolong banyak kelompok sasaran yang dituju. Ingat bahwa semangat konsumtivisme ini tidak hanya berlaku bagi golongan masyarakat menengah ke atas, tetapi bagi kaum duafa, masyarakat miskin pinggiran. Mereka juga tidak rentan terhadap virus konsumtivisme.

Nah, kalau ini yang terjadi, BLT te lah berubah menjadi bantuan langsung tekor (amblas tanpa berbekas, bahkan kurang). Bahkan, mungkin menorehkan mimpi-mimpi yang belum terwujudkan. Hampir mustahil mendapati keluarga miskin yang menggunakan dana BLSM untuk memulai modal usaha atau menciptakan lapangan kerja baru.

Boro-boro ditabung, uang ini akan amblas hanya dalam hitungan hari, bahkan mungkin jam. Begitu menerima BLT, akan langsung amblas untuk membayar utang atau kegiatan lain yang se benarnya bersifat konsumtif. Kalau fenomena itu yang terjadi, BLSM menjadi sesuatu yang tidak produktif. Dana-dana BLSM justru menjadi pemancing bagi masyrakat mis kin untuk terjebak dalam budaya konsumtif di tengah-te ngah kepungan arus besar konsumtivisme.

Oleh sebab itu, masyarakat miskin yang menerima bantuan harus memahami bahwa bantuan langsung sesungguhnya ditujukan untuk meringankan beban (berat) yang harus ditanggung se bagai akibat kenaikan barang dan jasa. Konsekuensinya, dananya harus bisa dipakai untuk sesuatu yang sifatnya jangka panjang.

Dalam konteks ini, barangkali peme rintah juga perlu mengkaji, perlukah mempertahankan keberadaan skema BLSM atau harus menggantinya dengan model lain. Misalnya, dalam bentuk pem berian modal kerja, dukungan pendidikan dan kesehatan, atau skema lainnya yang bersifat lebih jangka panjang? Seperti operasi pasar sembako dengan semacam smart card khusus untuk orang miskin (semacam kartu kemiskinan).

Hanya mereka yang memiliki kartu ya ng bisa membeli sembako dengan harga murah meriah. Atau, skema-skema cerdas lainnya sehingga dana yang disalurkan bisa dirasakan manfaatnya dalam jangka agak panjang. Terakhir, pilihan harga BBM yang mahal sekarang ini sangat bersifat stuktural. Karena itu, manfaatnya apabila ditarik subsi dinya, semestinya harus bersifat struktural pula. Untuk itu, pemerintah perlu menciptakan skema yang benar-benar bisa mereformasi orang miskin.

Tidak sekadar menghilangkan kemis kinan fisik, tetapi kemiskinan mental yang bersifat struktural harus bisa di kikis habis. Misalnya, banyak dilakukan pelatihan-pelatihan praktis memulai usaha sendiri (mandiri) sehingga mereka tidak terus-menerus terjebak dalam kemiskinan yang akut dan sistemis. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar