Bantuan
Langsung Tekor
Susidarto, ANGGOTA MASYARAKAT BIASA YANG AKAN
TERKENA DAMPAK KENAIKAN HARGA BBM
SUMBER : REPUBLIKA, 13 Maret 2012
Kalau
ada beberapa pihak yang sinis dan kemudian memelesetkan BLT dengan kepan jangan
bantuan langsung tekor (langsung habis, bahkan cenderung kurang), memang tidak
terlalu salah. Maklum, rencana pemerintah untuk menggelar operasi bantuan
langsung sementara mas yarakat (BLSM), pengganti BLT, sebagai bentuk kompensasi
kenaikan BBM per1 April 2012 mendatang adalah sesuatu yang tidak mendidik sama
sekali. Pemerintah tampaknya menempuh jalan pintas (instan) dan tidak pernah
mau belajar dari pengalaman masa lalu.
Pengalaman
selama ini dengan BLT tidak pernah menyelesaikan masalah kemiskinan yang dihadapi masyarakat
Indonesia. BLT adalah skema bantuan jangka pendek yang mungkin lebih cocok
untuk mengatasi keadaan dan situasi darurat, seperti menghadapi terjadinya
bencana alam atau situasi darurat lainnya. Bersifat sangat pendek (short term), bukan bantuan terencana
jangka panjang (long term). Padahal,
kenaikan har ga BBM yang akan mendongkrak kenaikan harga-harga merupakan rea litas kehidupan
yang akan dihadapi dalam jangka panjang.
Kegagalan
akan program BLT, dari sisi keadilan, mulai dari data sensus penghitungan orang miskin yang tidak valid
lagi karena menggunakan sensus 2005, hingga kemanfaatannya, tidak pernah
dipelajari dan dijadikan rujukan di kemudian hari. Padahal, kenaikan har
ga BBM tidak hanya terjadi sekarang ini.
Puluhan
kali pencabutan subsidi yang berefek pada kenaikan harga BBM sudah dilakukan. Akan
tetapi, ‘ritual’ BLT yang sama ternyata masih diulang-ulang. Pemerintah
semestinya belajar untuk menciptakan jaring pengaman sosial lain sehingga akan
dapat dinikmati masyarakat secara jangka panjang.
Jebakan Konsumtivisme
BLT
selama ini diberikan dalam bentuk uang tunai. Menurut rencana, pemerintah akan
membagikan dana sebesar Rp 150 ribu untuk setiap keluarga miskin. Untuk
pembagian kali ini, selain memberikan uang tunai kepada 18,5 juta keluarga,
pemerintah akan memberikan bantuan tambahan dalam bentuk beasiswa serta
tunjangan kemiskinan lainnya. Bantuan semacam ini dikenal sebagai BLSM.
Sayangnya,
bantuan tunai semacam ini sering kali disalahgunakan penggunaannya oleh
sebagian besar masyara kat. Mengingat sifatnya tunai, mereka akan dengan
mudahnya membelanjakan untuk berbagai keperluan konsumtif, bukan untuk
kebutuhan hidup yang vital dan mendesak.
Bahkan,
sebelum BLSM dibagikan, konon sudah ada beberapa keluarga miskin yang berencana
membeli barang konsumsi secara cicilan sesuai dengan dana yang akan diterimanya
setiap bulan. Pengalaman selama ini juga memprihatinkan di mana banyak keluarga
miskin yang akhirnya membelanjakan sesuatu yang berbau konsumtif.
Jadilah
akhirnya bantuan itu sama sekali tidak membekas dan menolong banyak kelompok
sasaran yang dituju. Ingat bahwa semangat konsumtivisme ini tidak hanya berlaku
bagi golongan masyarakat menengah ke atas, tetapi bagi kaum duafa, masyarakat
miskin pinggiran. Mereka juga tidak rentan terhadap virus konsumtivisme.
Nah,
kalau ini yang terjadi, BLT te lah berubah menjadi bantuan langsung tekor
(amblas tanpa berbekas, bahkan kurang). Bahkan, mungkin menorehkan mimpi-mimpi
yang belum terwujudkan. Hampir mustahil mendapati keluarga miskin yang
menggunakan dana BLSM untuk memulai modal usaha atau menciptakan lapangan kerja
baru.
Boro-boro
ditabung, uang ini akan amblas hanya dalam hitungan hari, bahkan mungkin jam.
Begitu menerima BLT, akan langsung amblas untuk membayar utang atau kegiatan
lain yang se benarnya bersifat konsumtif. Kalau fenomena itu yang terjadi, BLSM
menjadi sesuatu yang tidak produktif. Dana-dana BLSM justru menjadi pemancing
bagi masyrakat mis kin untuk terjebak dalam budaya konsumtif di tengah-te ngah
kepungan arus besar konsumtivisme.
Oleh
sebab itu, masyarakat miskin yang menerima bantuan harus memahami bahwa bantuan
langsung sesungguhnya ditujukan untuk meringankan beban (berat) yang harus
ditanggung se bagai akibat kenaikan barang dan jasa. Konsekuensinya, dananya
harus bisa dipakai untuk sesuatu yang sifatnya jangka panjang.
Dalam
konteks ini, barangkali peme rintah juga perlu mengkaji, perlukah
mempertahankan keberadaan skema BLSM atau harus menggantinya dengan model lain.
Misalnya, dalam bentuk pem berian modal kerja, dukungan pendidikan dan
kesehatan, atau skema lainnya yang bersifat lebih jangka panjang? Seperti
operasi pasar sembako dengan semacam smart
card khusus untuk orang miskin (semacam kartu kemiskinan).
Hanya
mereka yang memiliki kartu ya ng bisa membeli sembako dengan harga murah
meriah. Atau, skema-skema cerdas lainnya sehingga dana yang disalurkan bisa
dirasakan manfaatnya dalam jangka agak panjang. Terakhir, pilihan harga BBM
yang mahal sekarang ini sangat bersifat stuktural. Karena itu, manfaatnya
apabila ditarik subsi dinya, semestinya harus bersifat struktural pula. Untuk
itu, pemerintah perlu menciptakan skema yang benar-benar bisa mereformasi orang
miskin.
Tidak sekadar menghilangkan kemis kinan
fisik, tetapi kemiskinan mental yang bersifat struktural harus bisa di kikis
habis. Misalnya, banyak dilakukan pelatihan-pelatihan praktis memulai usaha
sendiri (mandiri) sehingga mereka tidak terus-menerus terjebak dalam kemiskinan
yang akut dan sistemis. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar