MK
dan Revisi UU Perkawinan
M Nurul Irfan, DOSEN FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN
JAKARTA,
SAKSI
AHLI JUDICIAL REVIEW UU NO 1 TAHUN 1974
SUMBER : REPUBLIKA, 13 Maret 2012
Pada
Rabu, 7 Maret 2012, Mah kamah Konstitu si memberikan keterangan resminya bahwa
MK tidak melegalkan zina. Tiga hal penting yang disampaikan dalam kesempatan
itu, pertama, setiap kelahiran, secara alamiah pasti didahului kehamilan
seorang perempuan akibat terjadinya pembuahan melalui hubungan seksual dengan
lelaki atau melalui rekayasa teknologi.
Seorang
laki-laki dan seorang perempuan yang menyebabkan terjadinya kelahiran anak
tersebut harus bertanggung jawab atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang,
serta hak anak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Hal ini
sejalan dengan Pasal 28B Ayat (2) UUD 1945.
Kedua,
putusan MK membuka kemungkinan bagi ditemukannya subjek hukum yang harus
bertanggung jawab terhadap anak dimaksud sebagai bapaknya melalui mekanisme
hukum. Itu dengan pembuktian berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi
mutakhir dan atau hukum dalam rangka meniadakan ketidakpastian dan
ketidakadilan hukum dalam masyarakat. Ketiga, terkait perspektif UU Perkawinan
yang memang memiliki karakter khas, dalam pengertian formal, merupakan hukum
yang bersifat unifikasi sehingga terdapat norma hukum yang berlaku untuk
seluruh warga negara.
Juknis dan PP
Ketiga,
pernyataan resmi tersebut di atas dirasakan perlu untuk ditegaskan kembali
mengingat polemik `serius' makin berkepanjangan di masyarakat dan di berbagai
instansi terkait akibat hukum dari putusan ini. Sebagai saksi ahli yang ikut
mengawal sebagian proses putusan kontroversi MK ini, penulis merasa perlu ikut
urun rembuk.
Akibat
hukum yang ditimbulkan oleh putusan MK itu, antara lain, adanya kesan
legalisasi perzinaan oleh MK, adanya ketersinggungan norma hukum dan norma
agama, konsep nasab dalam Islam yang bisa menjadi kacau, hubung an perdata yang
di dalamnya mencakup hak perwalian dan kewarisan bisa jadi rancu, bahkan juga
mencakup soal konsep hubungan kemahraman menurut hukum Islam.
Hal-hal
penting inilah yang secara praktis akan menjadi repot dalam pelaksanaannya jika
tidak segera dibuat pe tunjuk teknisnya di lapangan, baik berupa petunjuk
teknis (juknis) dari instansi terkait maupun berupa peraturan pemerintah.
Dengan demikian, putusan MK tetap populer dan pelaksanaan hu kum perdata Islam
di Indonesia tetap bi sa berjalan dengan baik tanpa melanggar syariat Allah
SWT.
Juknis
ataupun PP ini sangat diperlu kan dan dalam perumusannya mesti melibatkan berbagai pihak terkait, mulai
dari Kementerian Agama, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, bahkan juga Kementerian Dalam
Negeri. Tanpa dibuat juknis oleh Kemenag dan atau PP oleh be berapa kementerian
tersebut, tidak me nutup kemungkinan polemik akan te rus meluas yang justru
akan membawa mafsadat, mudharat, dan kontraproduktif.
Putusan
MK tentang status anak di luar nikah ini jika dilihat dari segi dinamisasi
hukum Islam di Indonesia memang sebagai sebuah terobosan, tetapi sayangnya
banyak menimbulkan reaksi umat. Sebab, hubungan perdata itu sangat luas,
apalagi secara tegas disebut kan pula istilah ‘hubungan darah’ dalam rumusan
pasal yang ‘harus dibaca’ itu. Hubungan darah adalah nasab yang merupakan salah
satu dari maqasid al Syaria’ah atau
pancajiwa syariat yang harus dipelihara dengan cara menikah dan menjauhi
perzinaan.
Akibat
hukum yang dapat timbul dari putusan MK ini memang sangat luas. Bisa berupa
akibat positif dan sayangnya juga menimbulkan akibat negatif. Di satu sisi, hak
anak di luar nikah dapat terpenuhi, seorang laki-laki yang terbukti secara ilmu
pengetahuan mutakhir ternyata memiliki anak di sua tu tempat bisa dituntut
tanggung jawabnya, dan poligami bisa ditekan. Atau justru malah sebaliknya,
para peminatnya makin termotivasi dan seterusnya merupakan ekses dari putusan
ini.
Wacana
untuk melakukan revisi atas UU Perkawinan juga bisa mengemuka kembali mengingat
umur UU ini hampir 40 tahun dan belum pernah diutakatik sekali pun. Tetapi, di
sisi lain, soal nasab, hak perwalian, hak kewarisan hubungan kemahraman dalam
lingkup hukum keluarga Islam juga memperoleh ekses negatif.
Memang
bisa dipahami keberatan pe merintah untuk merevsi UU Perka win an ini, antara
lain, dikhawatirkan akan banyak pihak yang berusaha memanfaatkan kesempatan dan
ikut nimbrung, mumpung-mumpung sedang ‘bongkar rumah’. Disinyalir akan ada
pihak yang menginginkan dimasukkannya pasal tentang nikah sejenis, kepentingan
pengarusutamaan gender de ngan menjadikan wanita sebagai kepala atau
setidak-tidaknya agak sejajar de ngan laki-laki, dan beberapa kekhawatiran
lain.
Namun,
sejatinya belum tentu semua ini akan terjadi. Oleh sebab itu, wacana revisi UU
Perkawinan tidak terlalu per lu dirisaukan dan membuat galau peme rintah. Bukti
konkretnya ketika peme rin tah, dalam hal ini Kemenag, merasa sangat berat
menerima wacana ini, terjadilah gebrakan dari MK. Penulis justru khawatir jika
wacana revisi UU Perkawinan ini tetap dianggap ‘tabu’, tidak menutup
kemungkinan akan muncul manuver-manuver mengejutkan dalam bentuk dan cara lain
semacam gebrakan MK ini.
Sebab, ada sebuah kaidah al-Amru idzattasa’at dhaqat wa idza dhaqat ittasa’at (sesuatu jika
dilepaskan secara luas justru akan menjadi sempit dan jika
dipersempit/diperketat justru akan mejadi bebas dan meluas). Termasuk di
dalamnya UU Perkawinan, makin dita bukan untuk direvisi, justru makin kuat
desakan untuk merevisinya, dan makin dipersilakan pasti akan banyak upaya untuk
menghambatnya. Semoga bisa men jadi bahan renungan! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar