Senin, 09 Januari 2012

Titik Kegagalan Suatu Bangsa


Titik Kegagalan Suatu Bangsa
Edi Sugianto, MAHASISWA DAN AKTIVIS, UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH, JAKARTA
Sumber : SINAR HARAPAN, 9 Januari 2012


Masih hangat dalam ingatan kita. Beberapa hari lalu, dunia tak terkecuali bangsa kita sudah mengakhiri catatan akhir tahunnya. Itu berarti secara otomatis memasuki lembaran baru 2012, dengan segudang harapan akan kesejahteraan.

Di bumi pertiwi misalnya, pesta akhir tahun sekaligus menyambut tahun baru tampak begitu meriah dengan berbagai macam hiburan, seakan-akan bangsa ini sudah berada di semenanjung kesuksesan. Padahal, jutaan jiwa penduduknya masih banyak yang berada di bawah garis kemiskinan, dan pembangunan manusianya pun masih sangat memprihatinkan. 

Terlihat dari jumlah orang miskin 2011 mencapai 30,02 juta atau sekitar 12,49 persen dari total penduduk Indonesia 240,35 juta jiwa, tahun 2010 jumlah orang miskin 13,33 persen dan 14,15 persen di tahun 2009.

Meskipun jumlah kemiskinan tersebut mengalami penurunan dari tahun-tahun sebelumnya, namun ironisnya setiap tahun, rata-rata orang yang keluar dari garis kemiskinan tersebut kurang dari 1 juta.

Padahal, anggaran untuk pengentasan kemiskinan itu setiap tahun selalu mengalami kenaikan, misalnya pada 2009 anggarannya mencapai Rp 70 triliun, Rp 80 triliun (2010), dan naik lagi menjadi Rp 86,1 triliun pada 2011. 

Jika anggaran kemiskinan pada tahun-tahun terakhir tersebut dijumlahkan, berarti lebih dari Rp 200 triliun, kemudian dibagikan kepada 31,02 juta orang miskin, maka per orang miskin akan mendapatkan bagian Rp 7 juta.

Pertanyaannya, mengapa orang yang keluar dari garis kemiskinan masih kurang dari 1 juta setiap tahun, ke manakah uangnya? Tentu pemerintah yang bisa menjawab itu semua. (Republika, 30/12/2011:7).          

Begitu juga dengan perkembangan pembangunan manusia. Indeks pembangunan (IPM) Indonesia pada 1980, 0.423. Kemudian 2011 meningkat menjadi, 0.617.

United Nations Development Program (UNDP) mencatat, IPM Indonesia (2011) berada pada peringkat 124 dari 187 negara yang disurvei. Hal tersebut menunjukkan bahwa kualitas hidup masyarakat Indonesia masih berada di bawah rata-rata dibanding masyarakat dunia (Indopos, 5/12/2011:4).       

Peta bangsa yang kian runyam dan tak bertepi itu tentu tak diragukan merupakan akibat yang harus didiagnosis dan dicarikan obatnya. Jika tidak, harapan untuk keluar dari multikrisis hanya akan menjadi angan-angan belaka, tak ubahnya seribu lamunan anak muda. Apa sebenarnya akar dan sumber runyamnya bangsa kita ini?

Sumber Petaka

Hemat saya, multikrisis yang melanda negeri kita, seperti krisis ekonomi, politik sehat, pendidikan, pelayanan sosial, dan hukum. Semua itu sejatinya adalah dampak dari krisis kepemimpinan (crisis leadership) itu sendiri, yang menjadi titik hitam sejarah perjalanannya.

Berapa banyak bangsa kaya dengan sumber daya alamnya (SDA) yang melimpah ruah, namun manusia-manusia yang hidup di dalamnya kering kerontang dengan ilmu pengetahuan dan kearifan, karena krisis kepemimpinan bangsanya sendiri, sehingga pada akhirnya mereka mati dengan kekayaan yang tak berguna itu.

Memang tak bisa dielakkan, absennya pemimpin yang jujur, adil, amanah, visioner, kompeten, dan memiliki integritas tinggi, merupakan malapetaka besar sebuah bangsa. 
Padahal, pemimpin yang berhak duduk di singgasana kekuasaan itu, seharusnya memenuhi beberapa syarat kepemimpinan. Dalam teori kepemimpinan Stephen Covey misalnya, sebagaimana dikutip Syafi’i Antonio (2012) dalam tulisannya, seorang pemimpin harus mau dan mampu menjalankan empat fungsi kepemimpinan (the 4 roles of leadership).

Pertama, fungsi sebagai perintis (pathfinding), artinya pemimpin harus memahami dan memenuhi kebutuhan rakyatnya, misi dan nilai-nilai yang dianutnya, visi dan strategi, yaitu ke mana bahtera bangsa akan dibawa dan bagaimana caranya agar sampai di dermaga harapan, bernama “kesejahteraan”. 

Kedua, fungsi penyelaras (aligning). Kearifan pemimpin akan tercermin dari kemampuannya menyelaraskan keseluruhan sistem dalam organisasinya, agar terjalin sebuah sinergitas kinerja yang solid, sehingga tujuan bersama akan mudah dicapai. 

Ketiga, fungsi pemberdayaan (empowering). Hal ini berhubungan dengan kejeniusan seorang pemimpin bagaimana menciptakan suasana yang penuh kegairahan dan romantika kerja, sehingga komitmen yang kuat (committed) akan tumbuh berkembang secara berkesinambungan. Keempat, fungsi panutan (modeling).

Pemimpin yang karismatik akan selalu menjadi teladan bagi rakyatnya karena ia senantiasa melakukan apa yang dikatakan (walk the talk). Kebijakan-kebijakan yang dibuatnya akan selalu dijalankan dengan baik oleh bawahan dan rakyatnya.                

“Self Leadership”

Keempat hal di atas tentu hanya ada pada pribadi yang memiliki self leadership dan berintegritas tinggi. Oleh sebab itu, hanya pribadi yang demikianlah yang layak memimpin sebuah bangsa.  

Dalam dinamika globalisasi, banyak teori leadership yang lahir, namun anehnya hal itu tidak membuat dunia semakin tenteram, adil dan sejahtera, begitu juga bangsa kita. Syafi’i Antonio (2009) menegaskan, sejatinya penyakit yang menimpa kepemimpinan bukan krisis “teori”, melainkan krisis “keberanian” (courage) untuk mewujudkannya.
Jika dalam jiwa pemimpin sebuah negeri tuna keberanian, tidak bisa diharapkan untuk membawa kesejahteraan. Oleh karena itu, kemampuan memimpin diri sendiri (self leadership) merupakan syarat mutlak yang harus dimiliki siapa pun yang ingin menjadi pemimpin ideal masa depan. 

Akhirnya, jika bangsa ini mengimpikan suatu perubahan yang berarti ke depan, tak ada jalan, kecuali memperbarui dan membenahi terlebih dahulu mental para pemimpinnya. Ini karena kemampuan memimpin diri sendiri merupakan kunci utama keberhasilan dalam memimpin keluarga, bangsa dan bahkan dunia. Semoga!  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar