Senin, 09 Januari 2012

Sawit, Sawah, dan Sejarah Masa Depan Indonesia


Sawit, Sawah, dan Sejarah Masa Depan Indonesia
Agus Pakpahan, INSTITUTIONAL ECONOMIST
Sumber : KORAN TEMPO, 9 Januari 2012


Menurut majalah Forbes edisi Desember 2011, di antara 40 orang terkaya Indonesia, paling tidak 10 orang mengusahakan kelapa sawit. Jadi, 1 di antara 4 orang terkaya Indonesia adalah pengusaha kelapa sawit. Dari sawah? Tidak ada. Yang merata dari sawah adalah petani gurem. Padahal makanan pokok kita orang Asia adalah nasi. Mengapa demikian dan apa implikasinya bagi sejarah Indonesia mendatang?

Pemerintah kolonial Belanda merancang Indonesia sebagai sumber pendapatan bagi Holland. Pembangunan pada zaman itu bukanlah untuk memperkaya, apalagi memerdekakan, Indonesia. Usaha perkebunan, mulai dari monopoli oleh VOC, Tanam Paksa oleh Pemerintah Kolonial, hingga Pengembangan Perkebunan Swasta Besar sejak dikeluarkannya Agrarischwet 1870, merupakan rancang bangun untuk mengeruk kekayaan Indonesia sesuai dengan perkembangan zamannya. Sebagai ilustrasi, hasil Tanam Paksa pada 1860 mencapai 32 juta guilder atau sekitar 78 persen dari total pengeluaran pemerintah Belanda pada saat itu (Thee). Kopi merupakan penghasil utama pada 1800-an, kemudian gula pada 1920-an, dan karet pada 1960-an.

Kelapa sawit bertumbuh sangat pesat pada periode 1980-2000 dengan posisi awal pada 1970 hanya sekitar 200 ribu hektare dan sekarang menjadi sekitar 8 juta hektare. Nilai ekspor minyak sawit pada 2010 adalah sekitar US$ 17 miliar atau sekitar US$ 170 per ha per bulan. Mengejutkan, ternyata penerimaan devisa per hektare per bulan dari minyak sawit ini lebih rendah daripada pendapatan tenaga kerja Indonesia (TKI) per bulan, yaitu sekitar US$ 250 per bulan atau lebih.

Sawah merupakan penghasil pangan, khususnya beras. Sawah merupakan hasil proses ribuan tahun evolusi pertanian pangan di Asia, sebagaimana halnya dengan gandum di Eropa. Tujuan utama dari usaha sawah ini adalah untuk memenuhi kebutuhan pangan pokok rakyat. Sangatlah jelas bahwa, apabila beras merupakan komoditas pangan prioritas, maka sawah merupakan sarana produksi prioritas utama. Sayang sekali data tidak menunjukkan demikian. Luas lahan sawah dapat dikatakan tidak bertambah atau bahkan lebih tepatnya berkurang, khususnya relatif terhadap kebutuhan pangan rakyat yang terus bertambah sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk Indonesia, dan akibat berlanjutnya konversi lahan sawah untuk penggunaan lain. Misalnya, luas lahan irigasi teknis berkurang dari 2,21 juta ha (2000) menjadi 2,18 juta ha (2005). Total luas lahan sawah juga kurang dari luas perkebunan sawit, yaitu kurang dari 8 juta ha, sudah termasuk area sawah tadah hujan, pasang-surut, dan jenis lahan sawah lainnya.

Padahal data sejarah juga sudah menunjukkan bahwa Indonesia ini sering melakukan impor beras dalam jumlah yang relatif tinggi, misalnya mencapai di atas 10 persen dari total nilai impor komoditas utama pada 1871-73 (10,7 persen), 1901-05 (13,7 persen), 1909-13 (16,2 persen), 1973 (14 persen), dan 1977 (10,9 persen) (Kano). Pada 2009, 2010, dan 2011, FAO memperkirakan Indonesia masih mengimpor beras masing-masing 0,3, 0,6, dan 0,7 juta ton. Jadi, sudah jelas Indonesia memerlukan pelipatgandaan luas lahan sawah dan produktivitas pertanian pangan ini, tetapi kenyataan menunjukkan bahwa area yang luasnya berlipat-ganda ternyata bukan sawah, melainkan area perkebunan kelapa sawit.

Sejarah apa yang akan kita tulis pada masa mendatang, apabila pola atau tren yang terjadi selama kurang-lebih 40 tahun terakhir ini kembali berulang pada 40 tahun yang akan datang?

Tidak terlalu sulit untuk memperkirakan bahwa, pada masa mendatang, tidak perlu menunggu sampai tahun 2050, Indonesia akan dilanda berbagai kekacauan yang bersumber dari kelangkaan pangan dan ketimpangan penguasaan lahan yang makin lebar. Melanjutkan ekspor kelapa sawit, sebagaimana yang berlaku sekarang (berbasis ekspor minyak sawit), selain tidak akan mensejahterakan Indonesia, juga akan membuat ekspor kita sangat mudah diganggu oleh pasar dunia atau bahkan dapat dihancurkan sebagaimana yang telah terjadi dengan kopi, gula, atau karet pada masa lalu. Adapun bergantung pada impor beras, dengan jumlah penduduk sekitar 300 juta jiwa pada 2050, juga akan membuat Indonesia mengalami tingkat kesulitan yang tak terbayangkan.

Memang tidak mudah membalik sejarah, tetapi membiarkan masa depan yang tidak jelas atau tidak pasti dalam bidang pangan (baca: beras) dan mengharapkan yang juga sudah pasti tidak memberikan harapan besar (model sawit) bagi rakyat banyak merupakan perjudian yang harus dicegah. Di sinilah konsistensi kebijakan di bidang pertanahan dan patriotisme korporasi yang berbasis nasionalisme merupakan jawabannya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar