Senin, 09 Januari 2012

Kekerasan Agama dan Kealpaan Negara


Kekerasan Agama dan Kealpaan Negara
Joko Riyanto, KOORDINATOR RISET
PUSAT KAJIAN DAN PENELITIAN KEBANGSAAN (PUSKALITBA) SOLO
Sumber : SINAR HARAPAN, 9 Januari 2012


Negeri kita rupanya masih bersimbah kekerasan. Tindakan main hakim sendiri termasuk dalam urusan beda paham keagamaan masih menghiasi paras negeri yang dikenal multikultural ini.

Seperti peristiwa pembakaran rumah dan kompleks Pesantren Islam Syiah yang berada di Kabupaten Sampang, Madura, Jawa Timur oleh massa. Penyebabnya, pemimpin Syiah Sampang, Ustaz Tajul Muluk dan pengikutnya dituduh membawa ajaran sesat (Sinar Harapan, 30/12/2011).

Peristiwa tersebut semakin menambah daftar panjang kekerasan atas agama, seperti kasus penganiayaan pendeta dan penatua HKBP Ciketing, Bekasi, kasus Temanggung, Jawa Tengah, serta kasus penganiayaan dan pembunuhan jemaah Ahmadiyah, di Cikeusik, Banten.

Kita melihat bahwa salah satu faktor utama terjadi aksi kekerasan terhadap umat Islam Syiah di Sampang tidak lain karena absennya tangan negara mengatasi persoalan tersebut sejak dini.

Negara terkesan melakukan pembiaran terhadap aksi-aksi sepihak kelompok masyarakat yang secara sewenang-wenang mengambil alih peran negara untuk melarang orang beragama dan beribadah. 

Tidak mengherankan kalau masyarakat kita bukan saja tidak merasakan hadirnya negara, tapi lebih dari itu, mereka kian melihat negara yang alpa akan tugas-tugasnya. Rakyat tetap menjadi yatim piatu, kendati tahun lama sudah berlalu.

Perlu ditegaskan bahwa setiap individu di negeri ini memiliki kemerdekaan beragama dan beribadah. Negeri ini memang harus bebas dari intimidasi, bebas dari tindakan anarkistis, terutama yang berkaitan dengan agama. Karena itu, tidak boleh ada satu pihak pun yang memaksakan kehendak, apalagi dengan kekerasan.

Hal ini sejalan dengan semangat kebangsaan dan toleransi yang sejak bangsa ini berdiri sudah terpatri teguh. Semangat pendirian bangsa ini adalah semangat kebersamaan, di mana di dalamnya disuguhi banyak muatan budaya, agama, maupun latar belakang para pejuang.

Itu sebabnya negara perlu menjamin kebebasan memeluk agama dan beribadat menurut agamanya. UUD 1945 pun melindungi hak warga untuk beragama atau meyakini sebuah kepercayaan.

Indonesia juga telah meratifikasi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia lewat Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999. Di situ ditegaskan lagi jaminan negara atas kebebasan beragama dan berkeyakinan. Bahkan, negara kita sudah mengesahkan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik melalui UU Nomor 12 Tahun 2005, yang juga menjamin hal yang sama.

Dalam bukunya al-Islam wa al-Nashraniyah ma’a al-Ilm wa al-Madaniyyah, Muhammad Abduh (2001) mengatakan bahwa kekuasaan negara haruslah berlandas pada kedaulatan rakyat dan kebebasan sipil.

Abduh memaksudkan kebebasan sipil di sini tidak hanya sebatas kebebasan untuk menyatakan pendapat dan berijtihad, melainkan pula kebebasan setiap orang untuk berbeda agama dan menjalankan ibadah agama yang diyakininya tersebut. Gagasan Abduh ini sejalan dengan pernyataan peraturan di atas.

Negara bukanlah ciptaan Tuhan. Negara terbentuk melalui pergulatan sosial-politik manusia. Rakyat Indonesia mendeklarasikan Republik Indonesia setelah mengalami pergumulan panjang dengan penindasan kolonialisme Belanda.

Meskipun kemerdekaan tersebut diakui sebagai rahmat Tuhan Yang Maha Esa, bukan berarti menerima kedaulatan agama tertentu dalam negara. Indonesia bukanlah negara agama, tetapi juga bukan negara yang tak beragama. Agama diberikan ruang untuk hidup dan berkembang.

Kebebasan beragama adalah sesuatu yang asasi dalam kehidupan masyarakat demokratis. Ketika suatu ekspresi keberagamaan yang kritis ditekan dan dilarang oleh kelompok mayoritas, larangan dan represi tersebut telah memupuskan harapan bagi terciptanya kebaikan bersama. Kebebasan individu untuk beragama hanya bisa diwujudkan dalam sistem yang demokratis.

Maka, hak-hak asasi manusia tentang adanya jaminan beribadah secara bebas dan menyebarkan agamanya harus senantiasa dikembangkan. Jangan sampai, sebuah agama atau sekelompok tertentu dalam intern agama memaksa dan menggunakan kekerasan guna menghegemoni dakwah untuk kelompoknya sendiri.

Negara didirikan bukan hanya untuk golongan tertentu, suku, agama, melainkan negara milik semua. Semua warga negara dijamin mendapatkan perlakuan yang sama di mata hukum. Realitas para pemimpin baik yang di pusat maupun di daerah takut menjalankan konstitusi.

Itulah persoalan yang terjadi. Ketika konstitusi tidak dijalankan untuk semua warga negara, terjadi kekosongan kewibawaan publik. Hal itu dibiarkan negara dan tunduk terhadap pelaku kekerasan. Dengan begitu, keadaban publik bangsa yang menjamin keanekaragaman budaya, suku, dan agama akan dihancurkan (Benny Susetyo, 2010).

Kondisi kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia sungguh mengkhawatirkan. Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) belum menunjukkan upaya yang berarti dalam mengatasi masalah yang timbul terkait kebebasan tersebut.

Presiden SBY hanya gemar menyampaikan pesan toleransi dalam berbagai kesempatan, tetapi bertolak belakang dengan kejadian di lapangan. Politik kata-kata Presiden ditunjukkan dengan tidak tuntasnya penanganan sejumlah kasus pelanggaran hingga berlarut-larut, berulang, dan terus memproduksi kecemasan publik.  

Negara mestinya tak melakukan pembiaran kekerasan berkedok agama. Fungsi negara adalah menjamin kebebasan menjalankan agama diberikan secara sama kepada semua agama dan pahamnya.

Ini karena pada dasarnya ada hubungan yang mutlak antara kebebasan beragama, institusi, dan kebijakan yang dapat menjamin kebebasan itu. Bila salah satunya timpang maka kehidupan demokrasi dan jaminan kebebasan warganya akan terancam juga.

Kita meminta Presiden SBY bertindak tegas, jelas, dan adil atas nama konstitusi demi keutuhan Republik Indonesia. Selanjutnya, pemerintah dan masyarakat Indonesia harus mau menghargai dan melaksanakan prinsip pluralisme keagaman dan kebebasan beragama.

Soalnya, kebebasan dan pengakuan akan keberagaman merupakan potensi yang sangat bagus untuk membangkitkan negeri ini dari tirani sekelompok orang dan korupsi yang merajalela.

Prinsip kebebasan, persamaan, dan keadilan sosial mesti ditegakkan melampaui sekat-sekat golongan, agama, dan paham keagamaan. Kita semua harus berdoa dan berusaha secara maksimal agar kemelut demokrasi dan gejala otoritarianisme keagamaan ini segera berakhir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar